“Assalamualaikum, wih ada nenek, mau kemana buru-buru banget pulangnya?”.
Matahari sedang terik-teriknya, Nenek bergegas mengangkat lututnya dari lantai. Wanita ini tidak pernah sekalipun betah di tempat yang bukan rumahnya. Aku menghantarkannya, dengan jarak yang terasa lebih panjang pada siang hari kalau berjalan sendiri.
Ia bilang kakinya nyeri belakangan ini. kemarin beliau berkunjung ke daerah Tambun sendirian, berbekal uang segenggam dengan nominal tidak seberapa. Keletihan lagi, raut wajahnya mengerucut. Aku tau kesepian mendorong ia beringsut dan memungut percakapan pada orang-orang ramah, pada ruas jalan yang meneriaki gerak lambatnya menggunakan klakson berturut-turut. Ia ketakutan, namun berpengalaman lebih dari setengah abad menampar pemuda-pemuda begundal baru lahir tersebut.
Tangannya kulempar-lempar ke langit, sesekali ia mengungkapkan seberapa besar cintanya kepada Ibuku dibanding anaknya yang lain, dan aku mencintainya. Caranya tak peduli bahayanya pulang ketika menemui ibuku, caranya merengek dibelikan permen supaya tidak mual di jalan, caranya mencium ujung bibirku sebelum perpisahan kita di pintu bus nomor 49.
Saat itu do’a ku terlepas, membumbung tinggi kemudian menjelma tentara penjaga paling termashyur di kota, setidaknya begitu yang kuharapkan, dan semoga itu jadi alasan ia selamat sampai tujuan.
Ia menjadi kebiasaanku
Sekarang, kulihat senyum terakhirnya tampak lebih sumringah dibandingkan perayaan hari besar, dapat kurasakan ribuan kupu-kupu berterbangan keluar dari perutnya.
Cerpen Karangan: Elsa Fiqriah Blog / Facebook: Elsa fiqriah Elsa fiqriah biasa disebut caur.