Aku baru saja pulang sekolah ketika mendapati darah segar mengalir dari arah pintu masuk rumah kami. Tak jauh menuju pawon, Ibuku memegang pisau tajam yang masih berlumuran darah. Senyumnya langsung merekah tatkala aku yang muncul sambil menenteng beberapa lembar daun pisang yang kuambil di belakang rumah Wak Harun sewaktu perjalanan pulang.
“Sudah pulang, Nif?” tanya Ibu sambil meletakkan pisau dapur di atas baskom plastik warna hijau. Rupanya ibuku ini baru saja memotong daging paha kanannya sendiri.
Manik mataku kini tertuju pada bagian paha kanan Ibu yang masih terus mengucurkan darah merah segar bekas sayatan pisau. “Iya,” jawabku singkat.
“Kenapa pulangmu sedikit terlambat?” Kali ini ia berjalan tertatih ingin mengambil kain jarit di atas dipan. “Pohon pisang di belakang rumah Haji Mansyur sudah ditebang semuanya, bu. Jadi Hanif harus memutar arah jalan untuk mencari daun pisang yang lain dan ini Hanif ambil dari belakang rumah Wak Harun,” jelasku panjang dan detail. “Ya sudah. Kau ambil daging paha ibu ini terus cucilah di kali belakang.”
Aku langsung menuruti titah Ibu cepat. Setelah melemparkan tasku di atas dipan bambu dan memungut baskom tadi, aku langsung meluncur ke arah belakang rumah kami yang terdapat sungai kecil tempat biasa kami mencuci dan mandi, dan di sana pulalah aku akan mencuci daging paha ibuku yang masih berlumur darah.
Ini bukan kali pertama Ibu memotong dagingnya sendiri untuk kami jadikan santap makan. Bulan lalu ia mengerati bagian perutnya sebagai lauk di hari raya, tak lama berselang, paha ibu sebelah kiri dan kali ini paha kanannya. Perkara memotong daging ini memang sudah ibu lakukan bahkan sebelum bapak meninggal setahun yang lalu. Bicara tentang Bapakku, ia sosok yang tidak baik hati dan juga tidak bisa dijadikan panutan, maka sejak ia mati digiling mesin padi, ibuku seperti bebas dari belenggu yang selama ini merantai kakinya.
“Tak apa jika bapakmu mati, Sanan. Sekalipun ia ada di rumah, kerjanya cuma melinting rokok daun nipah dan aku masih harus memerah keringat Ibu untuk membuat kalian tetap kenyang. Tentu saja Ibu juga harus tetap menyumpal mulut bapak kalian supaya ia tidak menyulut wajah Ibu dengan puntung rokoknya,” ucap ibuku pada Sanan, adik bungsuku, yang menangisi kematian bapak kala itu.
Kembali ke sepotong daging. Aku meletakkan daging yang sudah kucuci bersih dan kukerati itu menjadi bagian-bagian kecil lalu menaruhnya di samping tungku besi peninggalan nenek. Di atas tungku priuk hitam sudah terjerang berisikan nasi yang sudah hampir matang.
Ibu masih berada di pawon seraya menyandarkan tubuh kurus kerontangnya di dinding kayu. Aku mengintip di balik celah dinding. Dalam diam aku memandangi tangannya yang ringkih membalut luka di pahanya. Sesekali ia meringis menahan sakit dan perih. Butiran keringat mengucur di dahi dan pelipisnya, melihatnya saja sudah bisa merasakan bahwa sakit yang ibu dera tak terperihkan apalagi ia yang mengalami.
“Nif!” Panggil ibu. Aku bergegas mendekat.
“Daging paha ibu tadi, kau masak pindang saja ya. Lengkuas dan kunyit sudah ibu ambil dari kebun.” “Iya,” jawabku singkat.
Di dapur aku mulai meramu bumbu pindang melayu, mengiris tipis bawang putih dan bawang merah, kunyit, lengkuas, tomat serta bumbu-bumbu lainnya lalu menumisnya hingga wangi aromanya. Di belanga lainnya, air berisi rebusan daging sudah menggelegak barulah bumbu-bumbu yang sudah kutumis tadi kutuang ke rebusan. Seraya mengaduk gulai pindang seketika terbayanglah wajah kedua adikku yakni Jati dan Sanan yang makan dengan lahap menyantap pindang daging paha Ibu dengan nasi panas, belum lagi wangi kemangi pasti akan menambah nafsu makan kedua anak kecil yang kekurangan gizi tersebut.
—
Kata orang, dulu ibuku adalah kembang desa di kampungnya bahkan anak bupati pun pernah kepincut dengan kecantikan khas melayu yang dimiliki Ibu. Namun entah mantra apa yang Bapak miliki sampai akhirnya ialah yang memenangkan hati ibu mengalahkan pesaingnya mulai dari anak bupati, anak camat, tukang koperasi, tauke beras, pedagang sayur, penjual bakso hingga kumpulan pengangguran tidak berguna yang setiap malam cuma menyanyikan lagu Bujangan milik Rhoma Irama.
Bapak merupakan salah satu dari pengangguran tersebut, wajahnya memang paling tampan ketimbang yang lain, mungkin inilah yang menjadi nilai tariknya di mata Ibu. Selain itu tidak ada, sebab bapak rupanya cuma si tampan yang pemalas dan kasar. Tidak terbayangkan oleh Ibu, adalah bahwa laki-laki yang ia pilih itu cuma seonggok manusia tidak berguna yang akhirnya menghancurkan hidup Ibu dan anak-anaknya.
Ibu bukannya tidak melawan, ia pernah minta cerai bahkan ia pernah lari dari rumah meninggalkan kami semua. Aku ingat betul kala itu umurku masih sepuluh tahun, Ibu berlari keluar rumah karena dihalau oleh bapak dengan parang. Di bawah rinai hujan menjelang maghrib, hanya mengenakan kaos partai berwarna kuning bekas pemilu, ibu melangkahkan kakinya kembali ke rumah orangtuanya. Namun sayang, kampung kami masih menganut bahwa perempuan pantang kembali ke rumah orangtua sebelum dicerai sedangkan bapak sampai mati pun tidak akan menceraikan Ibu. Jadilah, setelah melewati keputusan panjang Ibu kembali pulang meski berat hati. Lagi pula, Datuk kami bukanlah orang yang berada untuk menampung Ibu dan anak-anaknya, terlebih menjadi janda masih menjadi aib yang sebisa mungkin jangan terjadi pada perempuan-perempuan di kampung kami.
Jika aku berpikir saat ini, siapa pula yang mau menjadi janda tapi kalau punya suami seperti Bapak maka lebih baik tidak bersuami. Bapak tidak punya pekerjaan jelas. Sehari-hari ia cuma berkutat dengan tog*l, mengadu ayam, sesekali ia pergi ke sawah itu pun cuma numpang tidur, kalau pasar pekan tiba ia selalu minta dibelikan rok*k nipah, tembakau dan cengkeh supaya mulut hitamnya terus mengepul. Tidak peduli uang darimana, pesanannya harus ada. Bapak selalu memaksa dalam hal apapun sebab jika tidak maka ia akan membentak, memukul, bahkan Ibu pernah disulut wajahnya menggunakan puntung rok*k. Agak tidak tahu diri memang.
Siang itu sedang terik-teriknya, aku baru saja pulang dari sekolah dan hendak menanak nasi sedangkan Sanan tengah bermain gundu di samping rumah ketika Jati berlari-lari membawa kabar yang tidak bisa kulupakan selama aku hidup.
“Bang, tangan Bapak terluka kena gilingan mesin padi.” Jati berteriak dengan wajah pucat pasi, butiran keringat mengalir di pelipisnya kemudian tangisnya pecah.
Tak berapa lama kemudian benar saja, Bapak sampai di rumah dibopong oleh Wak Indun dan Wak Latif,. Tangan kanan Bapak mengucur darah merah segar yang hanya dibalut kain belacu yang apak dan kumal. Masih teringat dengan jelas bagaimana wajah Bapak yang meringis menahan sakit, dadanya kembang-kempis, bibirnya bergetar, suaranya meraung-raung kesakitan. Dua bulan kemudian, Bapak meninggal karena tangannya terinfeksi, membusuk dan berulat.
Kini semua tinggal kisah. Sejak Bapak mati, Ibu terlihat lebih merona meski tetap menderita. Ia sudah banting tulang sedari dulu sehingga kalau pun bapak tidak ada, itu tidak jadi masalah.
Kematian Bapak tentunya sempat membuat Ibu bersedih tapi tak berlangsung lama, karena percuma, tidak ada yang bisa mengubah apapun. Kami, ketiga anaknya, perlu makan untuk bertahan dan Ibu terlalu sibuk untuk hal itu ketimbang berduka menangisi kematian suaminya.
—
Hari-hari berlalu, mata Ibu semakin tua dan layu, daging-daging yang membungkus tulangnya sudah hampir habis guna memberi umpan untuk anak-anaknya. Tentu hal ini menjadi momok sendiri bagiku sebagai anak tertua yang masih belum mengerti banyak tentang dunia dan manusia. Kekalutan aku dan kedua adikku semakin menjadi-jadi saat tubuh Ibu meringkuk tak berdaya di atas tikar pandan yang dibentangkan di atas dipan kayu. Ini sudah hari ke-9 tapi Ibuku yang belum terlalu tua malah semakin terlihat renta.
“Bang, sudah lebih dari seminggu Ibu begini. Apa sebaiknya kita bawa saja Ibu ke rumah bidan di hulu dusun?” kata Jati dengan suaranya yang putus asa. “Ngilu sekali rasanya Bang, melihat Ibu seperti itu. Aku sangat sakit ketika Bapak meninggal tapi aku bisa mati melihat Ibu tidak berdaya seperti ini.”
Aku menghela napas. Andai saja… andai saja Jati tahu, bukan cuma dia yang tidak tega dan menderita melihat Ibu seperti sekarang. Aku pun sama bahkan merasa tidak berguna, anak tertua di rumah ini hanya bisa memangku tangan menunggu dan berharap jika hal baik terjadi pada Ibu saat ini. Aku sedang berkelahi dengan diriku sendiri. Otakku menjadi kusut. Pikiranku kalut. Setiap detik harap-harap cemas, bagaimana jika suatu hal yang buruk terjadi pada Ibu? Kalau Ibu tidak ada kami harus bagaimana? Aku bagaimana? Jati bagaimana? Sanan bagaimana? semuanya berenang di kepala menyesapi otakku hingga mau pecah.
“Besok pagi Abang akan carikan pinjaman ke rumah Pakcik Iwan, siapa tahu dia bisa membantu,” jawabku sambil menepuk pundak Jati. Jati mengangguk. “Abang tidak sekolah besok?” Aku menelan ludah tapi kerongkonganku tersendat hingga rasanya sakit minta ampun. “Jati, sepertinya sekolah akan menjadi hal mewah buat kita sekarang. Abang tidak mungkin melanjutkannya tapi kau dan Sanan…” Aku menoleh ke arah Sanan yang tertidur pulas di samping Ibu. “Kau dan Sanan harus tetap sekolah. Biarlah Abang yang bekerja menggantikan Ibu.”
“Kalau begitu biar aku turut Abang saja. Lagipula otakku tidak seencer Abang jadi tidak perlu sekolah,” tutur Jati.
“Jati, kau dan Sanan harus sekolah. Abang tidak tahu sampai mana batas kemampuan Abang nanti, tapi Abang tidak mau kau berakhir sama seperti Abang. Sekolah tidak pernah menjamin kita akan menjadi apa dan siapa, tapi dengan kita sekolah ada yang berubah dari kita, dan itu pola pikir, Jati.” Aku menatap Jati lekat, ingin sekali aku mengutuk nasib tapi sumpah serapah hanya mengotori mulutku saja.
Jadilah sejak hari itu aku memutuskan berhenti sekolah dan memulai karirku sebagai buruh sabit padi. Setidaknya upahku yang tak seberapa tapi setidaknya bisa jadi pembeli makan dan sekolah kedua adikku sebab daging Ibu habis tinggal tulang berlapis kulit.
—
Sudah hampir setahun Ibu sakit-sakitan, matanya semakin cekung, tubuhnya semakin kurus bahkan rambutnya sudah rontok semakin menipis saja. Musnah sudah sisa-sisa kembang desa yang ia miliki, tak tersisa.
Namun pagi ini Ibu rupanya sudah bangun sejak subuh, ia menanak nasi, membuat kopi dan menyiapkan bekal untukku yang akan pergi bekerja. Bukan main bahagianya aku melihat Ibu seperti sekarang. Bahkan saat aku berangkat kerja pun Ibu mengiringi langkahku dengan matanya sendu, ia melambaikan tangannya seraya tersenyum. Ibuku yang paling cantik di dunia ini, tidak peduli bagaimana rupanya sekarang. Tidak akan kutemui perempuan paling cantik dan baik selain dia. Ketika aku sedang menyabit padi pun aku masih terngiang-ngiang wajah Ibuku yang manis.
Sore harinya aku pulang ketika langit sudah menyisakan warna jingga kemerah-merahan berpadu dengan warna biru cerah. Semuanya terlihat tenang, Sanan sudah mengganti bajunya yang bersih sedangkan Jati berselendang sarung duduk di beranda. Aku berjalan gontai sambil membawa jambu air yang kubawa dari kebun untuk Ibu.
“Ibu mana?” tanyaku pada Jati. “Ada di dalam, Bang. Tadi Ibu baru menanak nasi sekarang lagi tidur di kamar.”
Aku langsung menghambur ke dalam menuju dipan tempat di mana Ibu tertidur seraya menatap punggungnya terlihat lemah dan tak berdaya. Ibu tertidur miring ke kanan menghadap arah dinding.
“Bu, Hanif pulang! Ada jambu air yang Hanif ambil ketika pulang, pohon jambu yang sering kita lalui saat ke kebun kini berbuah lebat. Buahnya ranum, rasanya manis, dan airnya banyak,” ujarku pelan.
Ibu masih bergeming.
“Bu!” panggilku sekali lagi kali ini sambil mengguncangkan punggungnya pelan.
Tapi suara Ibu tetap tak kudapati. Akhirnya aku membalikkan tubuhnya namun duniaku seketika runtuh mendapati dada Ibu yang sudah terbelah dan darah yang sudah mulai mengering. Aku menjerit. Aku menangis. Aku tidak tahu harus bagaima. Ibuku yang malang sudah tiada. Bersamaan dengan jerit tangisku yang pecah Jati dan Sanan berdatangan.
Aku menatap wajah Ibu yang tak bernyawa dengan rongga yang kosong melompong dan di samping tempatnya tidur terdapat sebuah kertas yang terlipat. Aku meraihnya seraya mengusap air mata dan tangisan kedua adikku serta azan maghrib yang saling bersahutan.
Untuk Hanif, Jati dan Sanan, anakku.
Daging terakhir yang bisa Ibu berikan kepada kalian adalah jantung dan hati. Kerati jantung dan hati Ibu sama rata lalu simpanlah baik-baik, bawa kemanapun kalian pergi, Nak. Bertebaranlah kalian di bumi manapun kalian suka, jangan takut! Doa-doa sudah Ibu panjatkan pada Tuhan, jadikanlah perisai di mana kalian berada.
Nak, saat Ibu menulis surat ini terbayang wajah kalian satu per satu. Suara Hanif saat pertama kali memanggil Ibu, Langkah pertama Jati dan tangisan Sanan. Ibu tidak lupa dan tidak akan pernah lupa bahkan jika nanti Ibu sudah bersama Tuhan.
Anak-anakku, maaf jika Ibu pergi lebih dulu, maaf pula jika Ibu tidak bisa menggenggam tangan kalian lebih lama, tapi setiap detik Ibu adalah milik kalian.
Tanggal 3 dzulhijjah Ibu meninggal, meninggalkan tiga orang anak yang belum tahu arah kemana dan tidak punya apa-apa. Tapi setiap aku ingin menyerah, aku selalu teringat bahwa doa Ibu akan menjadi perisai untuk anak-anaknya.
Dan ketika cerita ini diselesaikan aku melihat seorang wanita yang tengah duduk seraya memangku anaknya di halte, menunggu busway yang tak kunjung datang.
Cerpen Karangan: Lapia Kunchay