Mentari bersinar cemerlang pagi ini, namun aku tak perlu lama-lama mengaguminya karena aku bisa tertinggal bus. Kupercepat langkah menuju halte terdekat dan untung saja, tak lama kemudian busku datang. Aku segera masuk ke dalam dan kendaraan beroda empat ini melaju.
Akhirnya saat sampai di sekolah, gerbang terkunci menyambutku. Astaga… apa karena aku tak melihat jam, jadi aku terlambat, sesalku dalam hati.
“Hai, Dela. Terlambat lagi?” seseorang menepuk bahuku. Aku menoleh, kaget. “Kukira siapa, ternyata Kak Qomar. Kakak juga telat?” “Iya. Aku tadi menunggu ibuku mengantar adik ke sekolah dulu.”
Kak Qomar ini teman laki-laki sebayaku, kelas 8, yang sudah kuanggap kakak sendiri. Dia kakak yang perhatian dan peduli, juga kadang sangat menyebalkan. Kakak pernah membuatku marah hanya karena dia mengambil sandwichku, padahal itu untuk sarapanku. Aku mogok bicara dengannya seharian setelah kejadian. Walaupun begitu, Kak Qomar selalu menawarkan diri saat aku membutuhkannya, seperti menjelaskan kembali materi pelajaran yang belum kumengerti sampai aku memahaminya. Tetapi aku tak suka sikapnya yang terlalu mengaturku, seperti pada percakapan di depan gerbang terkunci ini.
“Kalau perempuan itu sebaiknya tidak melipat lengan seragam, Dela. Terserah alasanmu apa, namun jangan sampai pergelangan tanganmu terlihat.” Aku mendengus. “Teman-temanku juga begini. Memangnya kenapa?” “Ini cuma sedikit nasihat, agar pakaianmu terkesan lebih sopan.”
Kemudian Pak Haqi, satpam sekolah, keluar dari posnya dan membukakan pintu gerbang. “Ayo masuk, Dela. Atau kau hanya akan berdiri di situ terus?” ajaknya. Aku mengikutinya dengan lesu. Kami menuju kelas masing-masing.
Saat aku sampai, ternyata belum ada guru yang mengajar, para siswa juga asyik mengobrol. Dengan bertanya-tanya dalam hati, aku melangkah ke kursi di samping Wafiq, temanku sebangku.
“Aku biasa melihatmu telat, tapi lengan seragammu yang tidak biasa.” “Kak Qomar yang memanjangkannya,” aku bergumam. “Jadi, Bu Mira belum datang?” “Ketua kelas bilang kalau Bu Mira sakit, lalu ada tugas buat kita buku paket Seni Budaya hal.56, tapi tidak dikumpulkan.” “Tak usah dikerjakan, kalau begitu,” kataku santai.
Sore ini, aku dalam perjalanan pulang ke rumah. Aku berjalan melewati toko-toko, counter pulsa, dan bangunan tua di pinggir jalan. Sekarang saatnya aku menyeberang, setelah itu tinggal masuk gang kecil dan akhirnya sampai. Terlihat seorang laki-laki menunggu di depan pintu rumahku. Aku melangkah mendekatinya dan bertanya, “Permisi, Mas. Mencari siapa, ya?” Laki-laki itu menoleh. Aku kaget saat mengenalinya. Kak Qomar… “Dela, kupikir kau sudah pulang sejak tadi. Ada hal penting yang akan kusampaikan,” katanya serius. “Busnya tadi lama, jadi aku baru pulang sekarang. Kenapa, Kak?” Qomar menarik napas panjang. “Aku… Aku dan keluargaku akan pindah ke desa sebab nenek sakit dan tidak ada yang merawatnya. Kami berangkat malam ini. Jadi, aku pindah sekolah juga, Dela.” Aku terdiam sejenak, berusaha mencerna penjelasannya. Mataku mulai berair. “Tidak usah bersedih, Dela. Mungkin kita akan bertemu di lain kesempatan.” “Tapi kalau secepat ini aku tak sanggup, Kakak.” Qomar tersenyum. “Kau lupa pernah marah dan tak mau bicara padaku saat aku mengambil sandwichmu dulu. Mestinya kau senang tak ada lagi yang akan mencuri sarapanmu.” Kakak benar, tapi entah kenapa aku merasa ada yang kurang jika tak ada Kakak. “Dan siapa yang akan bersukarela menawarkan diri saat aku kesulitan?” tanyaku. “Pasti ada yang menggantikan posisiku, jangan khawatir.”
Aku mengusap wajah. Mendongak menatap langit yang semakin gelap. Bulan dan bintang mulai bermunculan. “Qomar dalam Bahasa Arab artinya bulan, kan? Jadi kau bisa menatap bulan meskipun tak lagi bertemu denganku. Oh ya, jangan lupakan aku, ok? Dan yang lebih penting, lakukan nasihatku agar tak melipat lengan seragammu.” Aku tersenyum.
Qomar mengecek jam tangannya, “Aku berangkat sebentar lagi. Orangtuaku tahu kalau aku sedang di rumahmu, jadi mereka akan menjemputku di sini, lalu segera berangkat ke rumah nenek.”
Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan gang, lantas mengklakson. “Itu mobil keluargaku. Aku harus pergi, Dela. Sampai jumpa…” “Sampai jumpa, Kak Qomar,” aku melambai. Qomar bergegas ke mobil dan masuk ke dalamnya. Mobil hitam itu melaju menjauh.
Aku kembali mendongak ke langit malam yang cerah. Terlihat bulan purnama yang memancarkan sinar keperakan. Indah sekali, dengan taburan bintang di sekelilingnya. aku teringat ucapan Kakak sebelum pergi “Qomar dalam Bahasa Arab artinya bulan, kan?” Ketika menyadarinya, astaga… aku merindukan sang bulan.
Cerpen Karangan: Fatiha Wardiya