Zahra menahan napas ketika sampai di depan pintu kelasnya. Pak Rafi pasti sudah masuk. Matilah dia. Lalu, dengan pelan, ia membuka pintu kelas. Bersamaan dengan itu, seisi kelas menjadi hening. Ia mengernyit tak mengerti. Pintu sudah terbuka sepenuhnya. Mata Zahra langsung berkeliaran mencari guru dan menemukan Pak Rafi yang sedang bersidekap dan menatapnya tajam. Zahra meringis kemudian melangkah masuk.
“Maaf pak, saya telat.” “Dari mana kamu?” “Dari toilet pak.” Mata Pak Rafi menyipit. Berusaha mencari kebohongan di matanya. “Ya sudah, duduk.” Zahra menghela napas lega. Pikirnya Pak Rafi akan menghukumnya di depan kelas seperti yang dilakukannya pada Tama kemarin.
Zahra segera mengambil buku catatannya ketika sudah duduk di kursinya. Membuka lembar demi lembar kertas di bukunya sebelum berhenti di materi pertemuan terakhir.
“Aji Maulana Pratama.” “Hadir.” “Arif Jailani.” “Hadir.” “Azzahra Levina.” Sontak, Zahra mengangkat tangannya. “Hadir.” Namun, Pak Rafi mengerutkan keningnya. Mendongakkan kepalanya beberapa kali seakan mencari seseorang. Zahra dan teman-teman kelasnya pun kebingungan.
“Azzahra Levina.” Ulangnya dengan suara yang cukup keras. Zahra dengan wajah herannya mengangkat tangan ragu. Bukankah dia sudah menjawabnya tadi? Tapi kenapa Pak Rafi memanggilnya lagi? Apa suaranya kurang keras? Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepalanya.
“Tolong dinyalain lampunya.” Seisi kelas makin bingung. Namun tak urung, Jaya yang dekat dengan saklar lampu bergerak memencetnya dan kelas menjadi lebih terang karena di luar memang agak mendung. Mungkin akan turun hujan setelah ini dan Zahra tidak membawa payung. Ia mendesah dalam hati. Zahra tak suka hujan. Meski ia tak mengelak kalau dia suka dengan bau petrichor. Rasanya menenangkan sekali.
“Nah, kalau begini kan terang.” Pak Rafi mengambil kembali buku absen kelas, melanjutkan mengecek daftar hadir kelas. “Azzahra Levina.” Pak Rafi memanggilnya, lagi. Bahkan ini sudah ketiga kalinya. Akhirnya karena kesal, Zahra mengacungkan tangannya dan berteriak. “Hadir!” Lalu Pak Rafi melihatnya dengan wajah terkejut. “Oh.. Di sana toh ternyata.” Tanpa bisa dicegah, Zahra bertanya. “Kenapa pak?” Pak Rafi tertawa kemudian berkata. “Maaf, habis mendung. Jadi ngga kelihatan.” Sontak semuanya langsung tertawa, kecuali Zahra. Gadis itu justru sangat marah. Saking marahnya, ia sampai ingin menangis. Namun sebisa mungkin Zahra menahannya. Ia tak ingin mereka semakin puas menertawainya.
Zahra memilih memalingkan mukanya ke jendela. Muak melihat Pak Rafi dan teman-temannya yang terpingkal-pingkal dengan ia sebagai bahan tertawan. Hanya karena ia hitam, mereka seenaknya mengolok-oloknya. Ini bukan pertama kalinya Zahra mendapat perlakuan seperti itu. Namun, ia tak bisa berbuat banyak dan hanya diam menyimpan semua amarahnya.
Bertepatan dengan matanya yang menatap langit abu, hujan turun tanpa gerimis. Seakan langit sedang menumpahkan semuanya. Tak peduli dengan orang-orang di bawah sana yang merutukinya karena kedatangannya yang tiba-tiba. Ia hanya sedang bersedih dan menumpahkan segalanya. Kaca jendela di hadapannya menjadi berembun. Mengaburkan pandangannya yang masih asyik menatap hujan. Tak peduli kalau di depannya, Pak Rafi sedang menjelaskan materi. Ia hanya sedang berpikir mengenai segala hal yang terjadi di kehidupannya hingga saat ini.
Melihat hujan dengan derasnya mengahantam bumi, Zahra jadi ingin seperti hujan yang menumpahkan segala perasaannya tanpa peduli orang-orang di sekelilingnya.
Ternyata saat bel pulang sekolah sudah berbunyi, hujan di luar sana masih tetap berlanjut. Bahkan makin deras. Zahra hanya diam sambil menatap hujan. Teman-teman sekelasnya sudah pulang. Di depan sekolah hanya tinggal dirinya dan beberapa anak yang bernasib sama sepertinya.
Zahra masih diam berdiri menatap rintik hujan. Hingga tangannya terulur menyentuh rintik itu. Ia memejamkan matanya. Menikmati sensasi dingin di telapak tangannya sebelum merambat naik dan menyebar ke seluruh tubuhnya. Ini menyegarkan. Zahra tersenyum.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Zahra menerobos hujan. Membiarkan rintik demi rintik air menimpa kepalanya. Membasahi tubuhnya. Mengalirkan hawa dingin yang menyejukkan. Ini sedikit menghiburnya. Ia pun memejamkan matanya sekali lagi. Merasakan hujan merasuki tubuhnya. Menguak lukanya. Membuatnya menumpahkan segala perasaannya di bawah hujan. Ikut menangis bersama hujan.
Hari sudah malam. Bulan sudah menggantung di langit. Tak lupa bintang-bintang yang berpendar di sekelilingnya. Membuat malam menjadi sedikit gemerlap. Di kamarnya yang temaram, Zahra terdiam di atas kasur. Berbaring telungkup sambil menyembunyikan wajahnya di bantal. Sejak pulang dari sekolah ia tak keluar dari kamar, kecuali mandi, makan, dan salat.
Suara ketukan pintu menarik perhatiannya. Ternyata itu ibunya yang datang mengabarkan kalau temannya, Wati datang ke rumah. Dengan malas, Zahra turun dari kasur minionsnya. Mengambil jaket yang tersampir di dinding lalu memakainya. “Ada apa Ti?” tanyanya ketika sampai di depan rumahnya. Wati tersenyum. “Ngga ada. Aku cuman mau ngajak kamu lihat kembang api.” “Hah? Emangnya udah lebaran ya?” Wati tertawa. Tangannya melambai. “Bukan. Anak-anak beli kembang api. Jadi aku ngajak kamu daripada di rumah mulu.” Zahra mengangguk paham. “Oh..”
“Jadi, gimana? Yuk langsung aja. Kasihan anak-anak sudah pada nunggu.” “Eh.. gimana ya Ti.” “Udah ikut aja. Lagian kamu ngga ngapa-ngapain kan di rumah? Mending main sama kita aja. Apalagi sejak masuk SMA, kamu jadi sering ngurung diri di rumah. Jarang main lagi sama aku dan anak-anak yang lain.” Zahra yang mendengarnya terkejut. Pasalnya Wati ini sangat terang-terangan mengatakan kalau dirinya itu sombong, meski dengan cara halus. Padahal Wati yang dikenalnya sangatlah pemalu dan pendiam. Tapi sekarang, mengkritik sikapnya pun ia sangat berani. Zahra jadi kesal sendiri. Memang, ia banyak mengurung diri semenjak menginjak bangku SMA. Tapi, itu wajar bukan? Karena menurutnya, bermain dengan teman-temannya hanya membuang waktu saja. Lebih baik ia di kamar dan belajar atau bermain game di gadgetnya. Yang tentunya lebih seru dan menghemat tenaga.
“Gimana Ra?” tanya Wati tidak sabaran. Zahra tersadar dari lamunannya. Ia meringis. “Em.. ayo.” Setelah berpikir untuk yang kesekian kalinya, Zahra memilih bermain di luar bersama temannya karena ia bosan di kamar saja. Game di gadgetnya pun tak bisa menghiburnya. Mungkin, dengan bermain bersama teman-temannya malam ini bisa membunuh rasa bosannya. Semoga.
Bermain bersama teman-temannya ternyata sangatlah menyenangkan. Itu membuat Zahra senang sekaligus merasa bersalah karena selama ini ia berpikir kalau apa yang dilakukannya sekarang hanya membuang-buang waktu. Ia juga dengan jahatnya selalu menolak ajakan Wati yang senantiasa datang ke rumahnya. Zahra tak habis pikir kalau ia jadi Wati. Pasti sekarang ini, ia sangat membenci dirinya.
“Wati.” “Hm..” Wati hanya bergumam. Ia terlalu asyik dengan kembang api di tangannya. “Maaf.” ucapnya sangat lirih. Zahra bahkan tak yakin kalau Wati mendengarnya. Tapi, lagi-lagi ia salah. “Iya, ngga papa.” Zahra menoleh. Menatap Wati yang sedang tersenyum manis padanya. Seakan gadis itu baik-baik saja atas apa yang selama ini diperbuatnya. Itu membuatnya makin merasa bersalah. Zahra menundukkan kepalanya, tak kuat melihat wajah Wati.
“Tapi aku sudah egois selama ini. Aku juga menganggap kalian tidak penting. Aku berubah, Ti. Aku jahat.” “Iya, kamu memang jahat.” Zahra yang mendengarnya terkejut. Ia mendongak menatap Wati yang sedang melihat kembang api berpendar di langit. Zahra ikut memandangnya. “Tapi, aku bersyukur karena kamu sudah sadar.” Bersamaan dengan meledaknya kembang api, perasaannya menyeruak ke dada hingga membuatnya sesak. Tanpa sadar, air mata sudah mengalir membasahi pipinya.
“Terima kasih, sudah menjadi sahabatku.”
Malam semakin gelap. Teman-teman yang lain pun berangsur pamit pulang. Hanya tinggal beberapa orang saja. Termasuk dirinya dan Wati serta Oman yang masih asyik menyalakan kembang api. Zahra dan Wati duduk menatap kembang api di langit. Tak ada pembicaraan di antara mereka. Hening. Hening yang nyaman. Mereka hanya sedang menikmati indahnya malam. Zahra mengetatkan jaketnya ketika angin malam menusuk kulitnya. Sedangkan Wati nampaknya tak terusik sama sekali. Masih diam menatap langit malam yang kini tak lagi terdapat warna-warni kembang api. Melihat langit hitam di atasnya, Zahra jadi teringat sesuatu. Tanpa sadar menghela napasnya. Wati yang melihat hal itu pun bertanya, “Ada apa?” “Hah? Eh.. aku? A-aku ngga papa kok.” Zahra tersenyum kaku. “Cerita saja.” Ucapan Wati membuatnya tersentak. Ternyata Wati menyadari kegusarannya.
“Wati, aku ingin bertanya.” Wati diam mendengarkan. “Kenapa harus ada warna hitam di dunia ini?” Wati tak langsung menjawab. Bahkan sampai 3 menit kemudian, ia hanya diam menatap langit. Hingga membuat Zahra berasumsi kalau Wati tak mendengarnya atau bahkan tak mempedulikannya. Namun, dugaannya meleset ketika mendengar jawaban yang keluar dari mulut Wati.
“Kamu lihat langit itu, Ra? Dia hitam. Kamu lihat bulan dan bintang itu Ra? Mereka cerah. Mereka indah. Bahkan tampak kerlap-kerlip, mengagumkan siapa pun yang melihatnya. Nah, pertanyaannya adalah bagaimana jadinya mereka tanpa langit malam?” Zahra diam. “Mereka ngga akan pernah ada. Mereka tak nampak indah di mata orang. Mereka hanyalah sebuah benda angkasa. Tak ada istimewanya.” “Kok bisa?” Wati tersenyum sebelum melanjutkan, “Menurutmu, mengapa bulan dan bintang tampak mengagumkan?” “Karena mereka indah?” Wati menggeleng kemudian matanya kembali menatap langit malam. “Bukan. itu karena adanya langit malam. Bintang dan bulan tak akan terlihat indah bila tak ada kegelapan yang mendasarinya. Karena sesuatu yang mencolok adalah yang bersinggungan dengan apa yang menurut mereka anggap buruk, jelek, tak berguna. Tanpa adanya warna hitam di dunia ini, mungkin warna putih tak akan pernah ada. Bahkan warna lainnya sekalipun. Mereka saling berhubungan, tak dapat dipisahkan. Kalau di dunia ini hanya ada sekumpulan benda indah. Maka tak ada yang benar-benar indah. Karena semuanya sama-sama indah.” “Maksudmu, warna hitam hanyalah untuk keuntungan bulan dan bintang saja?” Wati mengangguk. “Ya. Sebenarnya di sini yang paling membutuhkan adalah bulan dan bintang. Jadi, bersyukurlah atas apa yang dianugerahkan Tuhan kepadamu. Sudah pasti itu yang terbaik untukmu.”
Malam itu, Zahra tersadar atas semua perilaku buruknya dan persepsi mengenai dirinya sendiri selama ini. Ia akhirnya mengerti makna dari kata hitam itu sendiri dan tak lagi membenci dirinya. Tak lagi marah akan perbedaan yang dimilikinya. Biarlah orang lain memandangnya remeh. Mereka tak lebih dari sekedar penonton yang tidak mengetahui keistimewaan dalam dirinya. Cukup dia dan Tuhan yang tahu betapa berharganya ia.
Cerpen Karangan: Farahdila Zulva Maulana Blog / Facebook: Farahdila Zulva Maulana