“Syut, tunggu ya sabar” aku berbicara tanpa suara sembari memberi isyarat dengan tangan kepada murid-murid yang mengintip lewat jendela kelas. Mereka membawa carik kertas dengan wajah tak sabaran. Lucu deh pokoknya hihi.
“Oke itu saja untuk hari ini, tugasnya jangan lupa dikerjakan yaa wassalamu’alaikum wr.wb” Akhirnya Pak Yanto, guru mapel IPS ku mengakhiri pelajaran. Setelah merapikan barang bawaannya beliau berjalan keluar pintu kelas. Kemudian suatu rutinitas pun terjadi dimana anak-anak kelas lain bergerombol masuk sembari ribut men-cak antrean.
“Aku pertama!” “Aku habis fira!” “Eh gabisa lahh aku udah nge cak duluan habis Fira!” Begitu deh kira-kira keributan mereka. Beberapa dari kalian mungkin bertanya-tanya mengapa anak-anak itu berbaris di depan mejaku sembari membawa carik kertas. Aku siapa? Artis? Terus mereka ngapain? Minta tanda tangan? Hahaha bukan! Okay let me introduce my self.
Di setiap kelas pasti punya setidaknya 1-3 orang yang disebut-sebut “art master”. Yap, itulah diriku di kelasku. Aku E-N-O-L-A yang selalu merasa A-L-O-N-E. Orang yang punya teman hanya ketika ada tugas SBK. Orang yang hanya akan dapat kelompok belajar kalau tugasnya poster. Orang yang hanya dicari kalau ada lomba menghias kelas. Orang yang hanya didatangi untuk dimintai hand lettering. Ngomong-ngomong soal hand lettering, anak-anak ribut tadi bergerombol masuk karena mau membeli hand lettering dariku. Mau tau harganya? Fantastis. Di kertas A5 30.000, di kertas A4 nambah 10.000. Aku gak pernah ragu untuk tancap harga mahal di sekolah Sultan ini hahaha. Karena kebanyakan dari mereka gak akan peduli harga sih, biasalah Sultan.
“oke next” kataku “Ini kak, aku mau warna ungu gradasi sama biru ya” katanya sambil menyodorkan kertas. “Oke siap, mau apa tulisannya?” “Hwang Hyunjin ya kak, biasku hehe” “Eeetdah dekkk” “Btw kak kenapa kakak gak pake brushpen aja? Pake spidol merk Senowmun gini susah loh kak, enakan pake brushpen apalagi yang merk Lereige kemaren aku lihat di olshop cuma 400 ribuan” “Hehe gapapa dek”
Saran semacam itu sudah jadi makanan sehari-hari. Kadang orang juga bilang “Kak kenapa gak coba gambar digital aja? Soalnya sekarang digital gitu laku banget loh” “Kak cobain krayon A deh atoga yang merk B pasti nanti makin mantep gambarnya” “Kak menurutku spidol kakak kurang pigmented, coba deh merk C ada offline storenya kok di mall deket situ”
Fyuh, gimana yaa walaupun aku sekolah di sekolah sultan bukan berarti aku juga sultan seperti mereka. Aku masuk ke sini gratis, hanya bayar seragam sama buku aja karena kebetulan bapakku kerja jadi tukang cuci piring di bagian dapur. Boro-boro mau pakai alat gambar bermerek, bisa bayar seragam dan buku aja sudah alhamdulillah. Boro-boro mau gambar digital, laptop dan smartphone aja gak punya, biasanya aku ke warnet untuk cari referensi art.
Sedih sih, karena finansial itulah yang bikin aku kesulitan bersaing di perlombaan. Karena bakat itu adalah hal yang sudah dibawa sejak lahir tapi harus tetap diasah. Tetap perlu fasilitas. Dan aku ini termasuk anak yang berjuang mengasah bakat dengan fasilitas seadanya, semampunya, tapi mau latihan bagaimanapun tetap aja akan kalah sama yang pakai crayon branded dan yang pakai iPad atau pentablet. Bener kan?
Tapi mau dengan keadaan bagaimanapun, aku sudah berjanji kepada diri sendiri untuk selalu menjadi Talent Fighter. Kekurangan inilah yang membuat aku gak bisa lengah sama yang namanya nilai. Ketidakpunyaan inilah yang bikin aku peduli sama ranking. Aku rela berjuang mati-matian agar nantinya bisa diterima di universitas negeri, supaya aku bisa menggunakan fasilitasnya dengan semaksimal mungkin untuk bisa terus mengembangkan bakatku agar gak kalah lagi sama yang berfasilitas.
Sekarang aku kelas 12 semester 1. Lagi berjuang nabung dengan penghasilan jualan hand lettering supaya bisa beli laptop untuk kuliah. Do’a kan ya teman-teman, hehe.
Cerpen Karangan: Izzah Aisyah Yulis Blog / Facebook: Izzaisyah