Ada sebuah kisah di mana ada anak yang sedang menempuh pendidikan di suatu lembaga pendidikan agama yaitu pondok pesantren. Dia tidak pernah mau mengaji, oleh sebab itu dia selalu disuruh mengaji oleh pengurus pesantren namun berkali-kali pengurus menyuruhnya dengan lembut tapi dia tidak mau, ketidak mauannya bukan karena dia sudah bisa.
Pada waktu shubuh pengurus membangunkan Tama. “Tam, bangun sholat shubuh, ngaji!” Namun Tama tidak bangun bangun, pengurus terus membangunkannya sampai ahirnya dia bangun. “Iya kang” dia berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang perlu dibersihkan, dan mengambil air wudhu.
Selesai sholat tama duduk di pojok kamar, kakinya ditekuk. Melihat itu pengurus menghampirinya. “ngaji kan tam?” tanya pengurus. “iya kang” jawab Tama. Namun Tama berbohong ternyata dia tidak berangkat mengaji.
Kejadian seperti itu terus menerus terulang, setiap saat mengaji Tama tidak pernah berangkat, walupun pengurus ataupun seniornya sudah menyuruhnya. Akhirnya para senior dan pengurus menyerah memperhatikan Tama, bukan karena tidak perhatian namun Tama termasuk manusia yang langka, hidupnya seperti itu-itu saja, tak ada variasi dalam hidupnya, nakal pun tidak, dia manusia yang seolah jika dilihat tak memiliki emosional, tidak merasa apapun dalam hatinya, tak banyak omong, jika dinasihati dia hanya diam, dimarahi dia juga diam. Pokoknya tak ada perlawanan apapun. Karena itulah pengurus dan senior menganggapnya ada dan tiada.
Ada seorang senior yang bisa membuatnya berbicara, sampai-sampai Tama berdebat dengan seniornya.
“Tam ngaji kan?’ tanya senior. “Gak dulu kang” jawab Tama. “Loh kenapa?” tanya senior lagi. “Gak papa kang” jawabnya. “Kalau gak papa ya berangkat sana!” “Belum bisa kang!” “kalau belum bisa makanya kamu berngkat mengaji sana, wong karena kamu belum bisa makanya kamu mondok biar kamu bisa” “belum dulu kang lah”
“Ya udah, aku tanya, gimana caranya agar kamu bisa? Kalau menurutku kan agar aku bisa itu aku bernagkat mengaji, coba gimana?” “Ya tanya ke temen kang” “Selama ini kamu kan udah beberapa gak ikut mengaji atau kegiatan pondok, lah kamu tanya ke temen materinya gak? Belajar gak?” “Iya kang tanya” “Syukur kalau iya, tapi kapan ya, wong aku juga kan seasrama sama kamu kayaknya aku gak pernah liat kamu tanya materi ke temenmu, ataupun kamu belajar loh” dengan ucapan ini, Tama terdiam tak bisa menjawab, suasana yang tegang itu seketika hening.
“Menurut kang Udin, gimana caranya agar bisa?” Tama bertanya ke senior dengan nada yang agak keras, baru pertama kali ini si senior melihat tama berbicara penuh rasa seperti ini. “Tadi aku kan udah bilang, kalau ingin bisa ya mengaji wong sebab kita mengaji ataupun sekolah kan karena kita belum bisa, kalu ngajinya nunggu bisa, lah apa fungsi mengaji, wong mengaji itu biar bisa. Gimana jadi sekarang? Menurutmu gimana caranya agar kamu bisa?” jawaban senior yang dikahiri dengan pertanyaan balik, dan menjadi titik bali Tama. “Berangkat ngaji kang” “Yaudah ayuh berangkat, apa mau aku anter?” “Iya kang berangkat, gak usah dianter aku berangkat sendiri saja”. Akhirnya Tama mau berangkat mengaji.
Beberapa minggu berlalu Tama selalu berangkat mengaji. Namun penyakitnya kembali lagi dia tidak berangkat mengaji lagi. Melihat itu para senior dan pengurus mengulangi lagi perlakuan mereka ke Tama seperti dulu, namun hasilnya pun sama seperti dulu, hingga Kang Udin yang dulu berhasil pun sekarang gagal.
Di pesantren Tama menempuh pendidikan sangat menghindari hukuman yang keras ataupun bermain fisik. Kalau dalam psikologi pendidikan pesantren Tama menganut teori humanistik.
Sampai setahun berlalu Tama tidak pernah ikut mengaji ataupun kegiatan pesantren. Dalam satu tahun itu pengurus dan senior pesantren sudah melakukan berbagai cara agar Tama mau berangkat menaji, seperti mencari kelemahannya, menghilangkan kegiatan yang dia lakukan untuk mengisi waktu dia berangkat mengaji, mengkomunikasikan dengan pihak keluarganya, dll, itu semua tidak berhasil, paling sekali berangkat mengaji pada saat setelah dia di nasihati atau apapun yang sudah disebutkan di atas.
Puncaknya pagi hari kang Udin menuju kamar Tama, Membangunkan Tama dan menyuruhnya berangkat mengaji, namun hari pertama kang Udin merasa kasihan terhadap Tama, dan memulai memperhatikannya lagi, Tama berbohong ke kang Udin dia disuruh mengaji katanya iya namun ternyata dia tidak berangkat. Hari kedua kang Udin mengulangi perlakuannya ke Tama.
“Tam bangun tam!” dengan lembut sambul memegang kakinya kang Udin membangunkan Tama, namun dia hanya menjawab iya tanpa membuktikan. “Tam, bangun koh, sholat shubuh dulu, terus ngaji, kamu si mau ngapain di sini kalau gak mau mengaji, apa ya mau tambah satu tahun lagi gak ngajinya” Tama masih belum bangun, kesabaran kang Udin menipis, dia langsung menarik tangan Tama dan mengangkatnya, dengan begitu Tama baru bangun.
Selesai sholat shubuh Tama menempati tempat biasa, tempat yang dia tempati jika tidak bernagkat mengaji, dengan posisi yang sama juga.
“Loh kok malah duduk berangkat koh Tam!” dengan nada yang agak keras kang Udin menyuruh tama. Namun masih sama jawabannya. “Belum dulu kang lah” jawab Tama. Mendengan Jawaban Tama kang Udin mulai menambah volume suaranya. “Laaaah, kenapa si gak mau berngkat, masa kamu mau gak pernah ngaji setahun lagi apa dua tahun lagi apa mau sampai mati, kalau mau nunggu bisa, lah kapan bisanya, mbok si kamu nanti mati gak tahu, nanti kamu matipun belum bisa, udah sana berangkat lah!” panjang lebar kang Udin menasihati Tama, namun masih belum bisa membuatnya sadar berangkat mengaji. “Belum waktunya kang, nanti kalau udah waktunya” jawab Tama, mendengar jawaban itu kang Udin semakin naik suhu tubuhnya. Kang Udin mengakui bahwa jawaban Tama cukup cerdas, bukan kang Udin namanya jika tidak bisa membalas argumen semacam itu
“Kapan waktunya? Kalau kamu kasih tahu kapan waktunya, oke aku tunggu, sebab aku gak tahu waktunya, kalau kamu mati nanti gimana?” Dengan bahasa yang agak kasar kang Udin membalas jawaban Tama, kang udin meneruskan unek-uneknya dan memberi saran. “Kalau kamu mau nunggu waktu yang kamu sebut tadi mending kamu pulang aja dulu, nunggu waktunya di rumah, nanti kalau sudah pas waktunya baru kamu kembali ke sini atau pindah pondok, dari pada nunggu waktunya di sini, kamu gak pernah ngaji. Padahal keluargamu tahunya kamu lagi ngaji di sini, kalau gitu kan jadinya aku yang dosa, aku ngeliat kamu juga ngerasa bersalah, gitu aja sih mending kamu pulang aja” “… ya udah nanti pulang” jawab Tama di awali kata-kata yang tak jelas dan tak bisa didengar oleh kang Udin. “Ya udah sana pulang” jawab kang Udin dengan cool. “Iya ini sekarang pulang” Tama menggertak kang Udin, kang Udin tak termakan oleh gertakan itu.
Ahirnya kang Udin mengabari keluarga Tama, dia menceritakan yang terjadi tadi serta perdebatannya pun disampaikan ke keluarga Tama. Kang Udin sebenarnya merasa malu dan bersalah padahal prinsip pendidikan yang dia pegang adalah jangan sampai membedakan atau mengeluarkan seseorang yang sedang belajar seburuk apapun dia dan sebodoh apapun dia, sebab itu adalah tugas pendidikan untuk memperbaikinya serta mencerdaskannya. Setelah dipikir panjang lebar, menurut kang Udin dia tak salah sebab si Tama memang tidak niat memperbaiki diri serta tak berniat mencerdaskan diri, dia hanya berniat menunggu waktu untuk dia bernagkat mengaji.
Biasanya kang udin itu jago dalam mengolah rasa seseorang ataupun pikiran seseorang, serta mendekati, membujuk seseorang secara persuasif, namun kali ini dia gagal. Menurutnya kegagalan dia disebabkan oleh tidak adanya emosional di dalam diri Tama, dia tidak bisa melihat bahwa Tama sedang sedih atau bahagia, sedang marah atau senang. Setiap saat pasti flat saja.
Cerpen Karangan: eM Faozi Blog: emfaozi.blogspot.com