“Tania, nanti aku jemput ya pulang sekolah..” Pesan dari Dimas. Seperti biasa Dimas selalu menjemput aku saat jam sekolah selesai. Aku dan Dimas bersekolah di sekolah yang sama, tetapi di kelas yang berbeda. Di SMA Pelita Nusa. Saat ini aku dan Dimas menginjak kelas 2 SMA. Kami menjalin hubungan sudah hampir 1 tahun. Dimas baik, perhatian, Dimas juga selalu ada untukku setiap waktu.
“Dimas, nanti sore aku ada belajar kelompok di rumah Cika.” “Ada siapa saja?” Jawab Dimas sambil melihat sepion sebelah kiri yang sengaja diarahkan ke wajahku. “Dila, Mila, Cika dan Mahendra. Kami satu kelompok untuk membuat laporan praktikum biologi” Jelasku pada Dimas sambil melihat wajah Dimas yang ada di sepion “Aku antar kamu nanti, aku tungguin sampai pulang. Aku ngga mau kamu kenapa-kenapa.” “Tania bisa sendiri Dimas.” “Gapapa Tania, aku ngga mau kamu kenapa-kenapa. Sore jam berapa? Nanti aku ke rumahmu.” “Aku sendiri saja Dim, aku nggapapa, aku mohon” Rintihku pada Dimas, supaya Dimas mengijinkan aku pergi ke rumah Cika sendiri. “Ya sudah sekali ini saja ya, kamu hati-hati. Kalau ada cowok yang ganggu kamu, kamu kabarin aku.” Segera kulepas helm yang kukenakan, lalu Dimas berlalu pergi dengan motor vespanya.
Hari Sabtu. Pukul 10.05 WIB.. Tingg… “Tania, kamu siap-siap ya. Sebentar lagi aku jemput kamu” Ya, Pesan dari Dimas yang akan menjemputku. Di sekolah kami memberlakukan sistem 5 hari sekolah, hari Senin sampai Jumat. Setiap hari Sabtu kami selalu pergi untuk menghabiskan waktu berdua, entah hanya sekedar makan, nonton film – Romantis, horor, komedi – atau pergi ke puncak, ke mall untuk melepas penat karena pelajaran yang rumit di sekolah.
Hari ini kami memutuskan untuk pergi ke kebun teh yang ada di Puncak. Tepatnya 1,5 jam dari rumahku. Aku memakai celana jeans, baju bergaris horizontal warna tosca dengan balutan cardigan warna putih hari ini. Seperti biasa aku lebih suka mengenakan flatshoes karena simpel dan tidak butuh waktu lama untuk mengenakannya.
Aku menunggu Dimas di depan rumah, dan akhirnya vespa biru Dimas kelihatan di depan gang. “Hai Tania, sudah siap?” “Sudah. Ayo berangkat!” Ajakku dengan antusias.
Di sepanjang jalan kami menikmati pemandangan yang asri nan sejuk. Jalanan yang ramai dengan pengendara lain tidak mengurangi rasa kagumku terhadap ciptaan Tuhan yang indah ini. Dari jalan yang landai ini, aku bisa melihat perkebunan dengan sayur mayurnya yang subur dan hijau, pepohonan rindang yang senantiasa menghantar kami sampai ke tempat tujuan. Kebun Teh Puncak Bogor.
Kebetulan waktu itu sedang musim teh. Jadi setiap pengunjung diperbolehkan untuk memetik teh yang sudah siap panen. Sebelumnya kami diberi caping dan keranjang untuk tempat tehnya, kami diajarin untuk memilih dan memetik teh yang baik dan benar. Untuk masuk ke kebun teh cukup membayar Rp 10.000 per orang. Aku dan Dimas memetik teh dengan senang hati dan menikmati kesejukan udara disini.
Aku dan Dimas berjalan menyusuri setiap sudut kebun teh ini. Di sini juga disediakan spot untuk berfoto. Kami berfoto dengan handphone kami, menangkap setiap momen yang kami alami. Kami melihat hasil tangkapan foto kami. “Kamu gendutan ya ternyata, aku baru sadar. Sepertinya kemarin masih kurus badannya” Ucap Dimas tiba-tiba, yang membuat aku tidak percaya diri dengan pakaian yang aku kenakan. “Iyakah? Pasti ini gara-gara baju aku yang bergaris horizontal jadi kelihatan gendut” Belaku “Enggak kok, pipi kamu juga agak chubby sekarang.” Jelas Dimas “Ah iya kah?” Jawabku dengan melihat-lihat badanku yang kata Dimas gendutan “Iya, gapapa. Masih bisa diet kok” Jawab Dimas. “Ayo jalan lagi, di depan masih ada teh yang harus kita petik.” Ajak Dimas, dan ia beranjak untuk meneruskan kegiatan kami.
Aku mengikuti Dimas dengan perasaan yang sedih, kecewa dengan badanku, dan tidak percaya diri dengan diriku sendiri. Aku takut Dimas tidak menyukaiku lagi dan pergi meninggalkan aku. Aku memutuskan untuk diet supaya tubuhku menjadi bagus lagi, apapun caranya. Aku dan Dimas kembali memetik teh yang ada di dekat kami.
“Kriingggg… Kriiing…” Suara yang mengganggu telinga dan moodku dipagi hari. Suara yang menandakan bahwa waktu libur telah usai. Suara yang memberi tanda bahwa aku harus bangun, memulai hari-hariku sebagai murid SMA Pelita Nusa. Hari Senin. Hari yang membosankan. Hari yang sangat padat dan berat – Kimia, Biologi dan matematika. – membuat aku malas beranjak dari tempat tidur dan selimutku yang nyaman.
Kumatikan jam beker ku dan meraba-raba meja di dekat tempat tidurku untuk mencari handphone. “Selamat pagi Sayang, nanti aku jemput kamu ya. Seperti biasa, jam setengah 7 aku sampai rumah kamu.”- Dimas “Tania, ke Sekolah sama aku yuk. Ada beberapa hal yang mau aku ceritakan ke kamu Tan karna kamu sahabat baik aku.” – Mayang “Iya May boleh, lagian aku kangen banget nih sama kamu.” Aku menjawab pesan dari Mayang dengan antusias. Semenjak pacaran dengan Dimas kami jarang sekali bertemu. Aku selalu menghabiskan waktu dengan Dimas. Aku dan Mayang beda sekolah. Sekolah kami hanya berjarak 2 km.
“Dimas nanti aku berangkat dengan Mayang ya.” “Kenapa begitu, bareng sama aku saja. Kita kan satu sekolah. Kamu sama Mayang beda sekolah. Lagian aku pacar kamu.” Jawab Dimas melarang aku berangkat dengan Mayang. “Iya Dimas. Aku berangkat sama kamu saja.“ Aku nurut sama Dimas.
“Mayang, maaf hari ini aku berangkat sama Dimas. Nanti lain kali ya kita ketemu.” Aku menyusulkan balasan pesanku ke Mayang. “Iya tidak papa Tania, Mayang ngerti. :’), Semoga Tania tidak lupa ya kalau masih punya sahabat seperti Mayang” Aku membaca balasan dari Mayang, ada perasaan kecewa disana. Sebenarnya aku ingin sekali bertemu Mayang, tapi aku takut Dimas marah kepadaku.
Aku bangkit meninggalkan kenyamananku, siap-siap menyambut hari dengan semangat. Setelah rapi, aku turun ke meja makan untuk sarapan bersama keluargaku. Ketika aku hendak mengambil nasi, aku teringat kata-kata Dimas tentang tubuhku. Kuurungkan niatku untuk sarapan pagi. Aku tidak mau terlihat gendut didepan Dimas. Lalu aku berdiri dan pamit kepada kedua orangtuaku.
“Lo, kenapa nggak sarapan dulu? Sarapan itu penting nak.” Ucap mama kebingungan “Iya ma, aku buru-buru harus berangkat ke sekolah. Ada tugas yang harus aku selesaikan.” Jelasku pada mama yang sebenarnya tidak ada tugas sama sekali. “Ya sudah aku berangkat ya ma pa.” Lalu aku berjalan keluar rumah menunggu Dimas datang.
“Selamat pagi Tania, sudah siap? Ayo berangkat” Ucap Dimas sambil menyodorkan helm kepadaku. “Tania, tunggu sebentar deh. Sepertinya warna lipstik kamu hari ini agak gelapan ya, ngga kaya biasanya?” Aku kaget mendengar ucapan Dimas. Aku memang memakai lipstik yang berbeda dengan biasanya. “Iya Dim, suka ngga?” Tanya ku penasaran “Sedikit aneh. Aku lebih suka yang kaya biasanya. Besok jangan pakai itu lagi ya. Tidak cocok.” Hatiku berkecamuk. Usahaku untuk membuat Dimas suka kepadaku berakhir sia-sia. Dimas tidak menyukai warna lipstikku.
Di sepanjang jalan aku hanya diam, memikirkan setiap kata-kata Dimas yang akhir-akhir ini membuatku merasa aku adalah perempuan yang paling buruk di dunia. Mulai dari tubuhku yang gendutan katanya, Mayang, hingga warna lipstik yang aneh.
Saat berhenti di lampu merah, tiba-tiba ada motor scoopy warna putih berhenti disamping motor yang aku dan Dimas tumpangi. Aku tidak asing dengan motor itu. Ya benar, pemiliknya adalah Mayang. Aku menyapa Mayang. Tapi Mayang hanya tersenyum kecut membalas sapaanku. Tidak sempat kutanya lagi, lampu sudah berganti menjadi hijau, bersamaan dengan Mayang yang melaju tanpa meninggalkan sepatah katapun. Hanya senyum kecut yang terngiang dalam pikiranku.
“Kamu nggak lihat tingkah laku Mayang tadi? Sahabat macam apa yang bersikap seperti itu ke sahabat baiknya? Sudah jangan dipikirkan. Mayang memang seperti itu, nggak baik buat kamu.” Kata Dimas seakan-akan tahu kalau aku sedang memikirkan Mayang. Aku tidak membalas perkataan Dimas. Walaupun begitu, Mayang adalah sahabat baikku. Pasti ada alasan kenapa Mayang bersikap begitu kepadaku. Atau mungkin Mayang marah kepadaku karena aku menolak ajakannya tadi pagi. Entahlah.
Setelah sampai di Sekolah aku dan Dimas masuk ke kelas kami masing-masing. Sebelum pelajaran dimulai, aku membuka handphone. “Mayang, kamu kenapa? kamu marah sama aku?” Tidak ada balasan dari Mayang, Mayang hanya membacanya saja.
“Mayang nanti ketemu di tempat kita biasa nongkrong yuk, Kitten Caffe. Aku tunggu disana setelah jam sekolah ya. Aku harap kamu datang ya. See you Mayang”. Mayang tidak membalasnya lagi. Walaupun begitu aku harap Mayang bisa datang menemuiku.
“Selamat pagi anak-anak. Silahkan keluarkan buku Biologi kalian. Hari ini kita akan membahas tentang asam dan basa.” Suara Pak Aris guru Kimia yang lantang membuatku kaget, aku langsung memasukkan handphoneku ke dalam tas dan siap mengikuti pelajaran untuk hari ini.
“Teeeeeetttt… Teeeetttt…” Suara bel yang memberi tanda bahwa jam pelajaran hari ini telah usai. Dimas sudah menungguku di depan kelas, untuk pulang bersama. “Dim, kamu duluan saja ya pulangnya. Aku ada janji dengan Mayang di Kitten Caffe. Nanti pulangnya diantar sama Mayang.” “Kamu kenapa sih masih berhubungan sama Mayang? Kamu lupa sikap Mayang tadi pagi ke kamu? Mayang tidak peduli sama kamu Tania.” Jawab Dimas dengan nada agak tinggi. “Tapi Dim, pasti Mayang punya alasan kenapa dia begitu ke aku.” Jawabku yakin membela Mayang kalau dia sebenarnya tidak salah. “Udanlah Tan. Kamu pilih Mayang apa aku?” Aku hanya terdiam. Aku tidak bisa memilih dari keduanya. Dimas dan Mayang adalah orang yang penting dalam hidupku. Dimas pacarku, dan Mayang sahabatku dari kami masih SMP.
“Kamu tidak bisa jawab kan? Ayo kamu pulang sama aku saja.” Sambung Dimas “Tapi Dim aku sudah jan…” Belum selesai aku bicara, Dimas sudah hengkang pergi menuju ke parkiran.
Aku mengikuti Dimas menuju ke parkiran. Seperti biasa Dimas mengantarku pulang. Kitten Caffe letaknya tidak jauh dari SMA Pelita Nusa. Saat perjalanan pulang, kami memang melewati caffe itu. Dan yang membuat aku kaget adalah aku melihat Mayang yang memakirkan motornya dan hendak masuk ke Kitten Caffe. Oh Tuhan, maafkan aku Mayang untuk kesekian kalinya. Walaupun Mayang marah kepadaku tapi Mayang masih mau menemuiku. Aku bukanlah sahabat yang baik untuk Mayang. Setelah sampai rumah aku langsung mengirim pesan kepada Mayang.
“Mayang, maafkan aku untuk kesekian kalinya aku tidak menepati janjiku. Maaf telah membuatmu menunggu dan kecewa.” “Karena Dimas?” Balasan pesan dari Mayang, seakan-akan ia tahu bahwa Dimas yang melarang aku bertemu dengan Mayang. “Iya Mayang. Maafkan aku.“ Setelah itu tidak ada balasan lagi dari Mayang. Aku tahu Mayang marah kepadaku.
15 menit kemudian ada suara ketukan pintu di kamarku. Aku buka pintu dan… “Mayaaaaanggg…” segera kupeluk mayang erat. Tanda aku menyesal karena telah ingkar janji dan aku juga sangat merindukan Mayang. “Miss you Taniaaa” Mayang membalas pelukanku. Akhirnya kami mengobrol di dalam kamarku sambil makan kentang goreng dan minum es coklat yang dibeli Mayang di Kitten Caffe.
“Tania, sudah lama aku ingin cerita banyak ke kamu, tapi kamu terlalu sibuk dengan Dimas.” “Maafkan aku ya May, aku tidak bermaksud untuk menjauhimu atau melupakanmu.” “Tania aku paham kok. Pasti semua karena Dimas kan? Dimas yang sudah membujuk kamu supaya kamu tidak dekat-dekat aku lagi?” Jelas Mayang “Iya May, tapi nggak semua salah Dimas kok.” Ucapku membela Dimas
Tiba-tiba Mayang menunjukkan beberapa foto. Kusandarkan kepalaku di pundak Mayang. Air mataku jatuh di pundaknya. Tania menjelaskan semua kepadaku tentang Dimas. Aku jadi tahu kenapa Dimas selalu melarangku untuk ketemu Mayang, karena Mayang beberapa kali memergoki Dimas bahwa ia punya pacar lain di belakangku.
“Tania, kamu nggak perlu mempertahankan cowok seperti Dimas. Dia nggak baik buat kamu. Kamu baik, kamu pintar dan cantik, kamu layak mendapat cowok yang lebih baik dari Dimas.” Ucap Mayang menghiburku.
Kuambil handphoneku di atas meja, “Dimas, kamu yang selalu baik sama aku, tapi kamu juga yang menyakiti hatiku. Kita cukup sampai disini. Kamu berhasil menutupi kebusukan kamu dengan kebaikanmu.”
Cerpen Karangan: Charissa Christiasari Blog / Facebook: ruangrahasia