Setibanya di depan rumah Fiat, Selin memberanikan diri mengetuk pintu. Tidak sampai menunggu lama hingga Fiat membukakan pintu dan ia keluar bersama wanitanya. Fiat langsung tersenyum saat Arion menyapa dan seketika berubah sinis ketika melihat kehadiran Selin.
“Sorry ganggu. Gue lagi gabut banget di rumah, Fi. Tadinya mau ke Fantopia tapi ga jadi. Makanya main ke sini aja. Boleh, kan? Boleh dong? Masa tetangga sebelahan ngga boleh main?” tanya Arion sambil tertawa di akhir kalimat. Fiat menggeser pandangannya pada Arion lalu kembali tersenyum. “Ya boleh dong. Boleh banget. Masuk, masuk.”
Selin dan Arion pun mengikuti langkah Fiat bersama wanitanya yang kini sudah duduk di ruang tamu. Arion langsung pamit masuk ke kamar Fiat. Ketika Selin hendak menyusul, Fiat tiba-tiba menahan dan mencengkram lengan Selin kuat-kuat. Hal itu sontak membuat Selin meringis kesakitan.
“Jangan berani lo masuk kamar gue sebelum lo layanin gue!” Selin hanya bisa menatap Fiat dengan gemetar. Janhae—kekasih Fiat—yang menyadari kejanggalan itu langsung menghampiri. Ia melebarkan matanya sambil berusaha melepaskan tangan Fiat. “Fi! Ugh!” Tangan Fiat berhasil ditarik oleh Janhae dengan sedikit paksaan. “Apa-apaan sih? Kasian Selin.”
Tidak menggubris perkataan Janhae, Fiat justru memerintahkan Selin ke dapur untuk membereskan semua piring kotor dan memasak untuk makan siang. “Jangan kira lo bisa enak-enakan main ke rumah gue. Sana cepet!” Mau tidak mau, Selin menurut. Janhae memukul lengan Fiat sambil merengut. Ia tidak suka melihat sikap kekasihnya yang kejam seperti itu.
“Gila kamu, Yang.” “Bodo.”
Sementara itu, Arion di dalam kamar sedang duduk di atas karpet di depan tempat tidur Fiat. Drrrrrrt Ponsel milik Arion tiba-tiba bergetar. Ia meletakannya di atas ranjang. Arion meraih ponsel itu dan melihat sebuah nomer privasi menghubunginya. “Siapa nih?” tanya Arion, kemudian menggeser tombol hijau di layarnya untuk menjawab panggilan tersebut.
“Halo? Siapa ya?” “SIAPA, SIAPA!” Arion langsung menjauhkan ponsel itu dari telinga dan menempelkannya kembali perlahan. Tidak terlalu dekat, takut kalau yang di seberang telepon kembali berteriak. “I-ini Tante Jennie.. Jennie Panhan?” tanya Arion. “JENNIE BLACKPINK! YA IYALAH TANTE JENNIE PANHAN!” “O-oh. Kenapa, Tan?” tanya Arion. “Ngga usah sok bego. Mana katanya mau dateng Fantopia? Kok tante ngga liat kamu?” “M-maaf, Tante. Arion ngga jadi dateng. Soalnya sama Ayah Gun, Kak Awin, Arion ngga boleh ke sana.” “Bener? Bukan kamu males ke sini?” “I-iya, Tante. Beneran kok. Nanti coba tanya Ayah Gun sama Kak Awin. Arion juga pengin banget dateng sebenernya. Cuma ngga boleh. Ini sekarang lagi main ke rumah tetangga. Udah ya, Tan. Nanti abis acara aja telfon Arion lagi. Oke?” “Eh, eh—” “Daah.” Tut
Arion memutuskan sambungan lalu mengembuskan hela nafas dan melempar ponselnya begitu saja di atas kasur. “Ada-ada aja Tante Jennie ihs.”
Arion pun menghabiskan waktunya di kamar Fiat. Bermain PS dan menonton film. Sampai akhirnya waktu menjelang sore, Arion berniat mengajak Selin untuk pulang. Namun, Arion terpaksa harus pulang sendiri ketika melihat Selin yang sepertinya sedang ada sedikit selisih paham dengan Fiat. Arion enggan ikut campur.
“Yuk, Kak Selin. Pulang.” Selin menoleh dan langsung berdiri. Ia sudah bahagia karena Arion mengajaknya pulang saat tiba-tiba tangannya ditarik sehinga membuat Selin kembali duduk. “Enak aja main pulang! Belum beres urusan lo di sini, tau!” ucap Fiat. Selin menatap Fiat sambil menelan salivanya. Arion pun akhirnya pamit dan meninggalkan sang kakak di sana.
“Jangan berharap lo bisa kabur! Lo bakal jadi pelayan gue hari ini!” Selin hanya memandang Fiat yang menatapnya dengan bengis. Selin merasakan matanya mulai perih hingga sebuah cairan bening yang menggenang di pelupuknya menetes keluar. Selin menangis terisak-isak.
Janhae lagi-lagi memukul Fiat. Kali ini lebih kencang. Kemudian, ia berpindah posisi duduk di sebelah Selin dan memeluknya erat. Selin menangis di sana. Sementara Fiat menahan emosi. Ia tidak mungkin memukul, menarik paksa. Pasti akan menyakiti pacarnya juga, pikirnya.
“Kak Fiat kenapa sih? Hiks.. segitu bencinya sama mamaku sampe harus aku yang jadi pelampiasan kayak gini. Kenapa, Kak? Hiks hiks.. m-mama juga udah jelasin semua, kan? Kita sekeluarga udah minta maaf.” “M-mama ngga ada maksud buat selingkuh sama Om Singto. Mama.. hiks.. mama khilaf waktu itu, Kak. Mama bener-bener khilaf. Tolong maafin mama kak.. hiks.. maafin mama aku. Aku kangen sama Kak Fiat yang dulu. Kak Fiat yang perhatian sama aku kayak adik sendiri.” Janhae terus mengusap punggung Selin selama ia berbicara. Janhae sangat tidak tega melihat Selin seperti ini. Jujur, Fiat memang sudah kelewatan.
“Kamu tega, Yang!” Fiat menatap Janhae. “What?” “Tega!” Janhae meninggikan nada bicaranya. Selin lalu membenamkan kepalanya kembali dalam pelukan Janhae. “Aku ngga suka liat kamu kayak gini!” “Jan, tapi—“ “Kenapa jadi orang harus dendam sih?! Masalah udah clear, kan?! Toh, mamanya Selin juga udah minta maaf dan ngaku salah. Dia khilaf. Aku tau keresahan kamu. Takut orangtuamu cerai. Tapi kejadian ngga sekarang, aku tanya!” Fiat terdiam dan melengos.
“Kejadian ngga?!” “Ck, iya engga! “ “Nah, kan? Terus kenapa? Ya, okelah. Kalo kamu emang ngga bisa terima perbuatan mamanya Selin, oke. Cuma ngga Selin juga kamu siksa kayak gini, Fiat! Ngga gini caranya!” Janhe menekan nada bicaranya di akhir kalimat.
Fiat kembali terdiam. Melihat wajah Selin yang nampak pias karena terlalu menangis terasa ada sedikit penyesalan dalam hati Fiat. Janhe membantu Selin mengusap air matanya lalu kembali fokus berbicara dengan Fiat. Kini, ia menajamkan tatapannya. Tidak peduli kekasihnya itu terima atau tidak. Marah atau tidak.
“Sekarang aku mau kamu minta maaf.” Fiat langsung melebarkan matanya sambil mengerutkan dahinya. “Minta maaf, Fiat.” “Kok—” “Minta maaf atau besok ngga usah ketemu aku?”
Akhirnya Fiat pun menuruti kemauan Janhae dan meminta maaf pada Selin. Walau sebetulnya lima puluh lima puluh perasaan Fiat karena terpaksa tapi juga ia sadar sikapnya memang agak sedikit berlebihan.
“Maafin gue, Sel.” “I-iya, Kak. Maafin Selin juga.”
Sejak hari itu, mereka mencoba untuk berdamai dan memperbaiki hubungan. Sementara itu, Arion yang sudah di rumah—kini ia sedang duduk di ruang tamu—tercengang melihat Metawin juga sudah ada di rumah.
Bukankah seharusnya ia ada di acara Fantopia? Sebentar itukah acaranya? Atau Metawin pulang karena ada sesuatu yang tertinggal? Arion juga masih kagok lantaran pertengkaran mereka siang tadi. Arion tidak percaya melihat kakaknya sudah pulang. Apakah benar secepat itu acaranya?
“Ar!” “Eh-iya? Gimana?” Ttakk “AKH! WIN SAKIT!” Arion mengusap kepalanya yang dipukul oleh sang kakak sambil ia mengerucutkan bibirnya. “Lo tuh jadi kakak tukang nyiksa banget sih?! Udah kang nyiksa, ngeselin! Kok ada manusia kayak lo idup di bumi? Heran gue!” “Terus, terus. Mau gue gampar?” “Gampar kalo berani! Nih!” Arion menunjukkan pipinya. “Ayo, gampar! Besok gue minggat dari rumah tanggung jawab lo kalo ayah sama bunda marah!” Metawin tersenyum miring lalu meraih kedua pipi Arion dan mencubitnya dengan gemas membuat Arion meringis kesakitan. Ia memukul-mukul tangan Metawin. “Sakit, sakit! METAWINNNN!”
Suara gelak Metawin terdengar puas menertawakan Arion. Kemudian, Arion mengambil sesuatu dari dalam saku bajunya dan memberikannya pada Arion, yakni sebuah liontin perak dengan hiasan gantungnya bertuliskan FANTOPIA. “Nih, kado buat lo.” Arion menerimanya dengan perasaan bingung tapi juga senang. Walaupun songong dan menyebalkan, tapi Metawin begitu perhatian. Hal-hal kecil tentang dirinya Metawin selalu ingat.
“Gue tau lo pasti suka.” Arion tidak menjawab. Metawin meminta liontin itu dari Arion lalu memakaikannya padanya sambil tersenyum lebar. “Bagus, Ar.” Arion melihat liontin itu sambil mengusap-usap tulisannya. Ia mendongak menatap Metawin, kemudian memberikan senyum termanisnya untuk sang kakak.
“Makasi, Kak Win.” “Udah ngga marah? Ngga ngambek lagi?” Arion hanya tertawa kecil. Yah, walaupun hari itu ia tidak jadi datang ke Fantopia setidaknya liontin ini—liontin yang memang sejak awal menjadi incarannya di Fantopia—sudah cukup mengobati kesedihan Arion. Tidak sepenuhnya memang karena Arion masih rindu dengan keluarga jauh dan sahabat-sahabatnya yang sudah sukses menjadi artis sekarang. Jarang sekali mereka bisa berkumpul apalagi bertemu face-to-face jika tidak ada acara seperti ini. Tapi, ya sudah. Apa yang sudah terjadi biarlah terjadi.
Lucu ya. Hanya gara-gara Fantopia bisa merusak hari Arion dan Selin.
Fantopia, oh Fantopia.
THE END
Cerpen Karangan: Ciaaa