Lirikan tajam menghunus dari mata sipit sang gadis. Suara dengkusan yang keluar dari bibir tipisnya menandakan bahwa saat ini ia sedang kesal. Bahkan keybord di depannya menjadi pelampiasan emosi yang ia rasakan. Yaa.. gadis itu adalah Adifa Adinda.
Dikenal sebagai sosok yang jutek, galak, ambisius, berjiwa pemimpin namun dingin membuat ia tak begitu disukai oleh beberapa teman di kelasnya. Namun hal itu tak menjadi masalah bagi Adinda. Dia lebih memilih menutup telinga perihal gosip maupun perkataan tentang sosoknya yang misterius. Namun bila dirasa mengganggu, tak segan segan ia balas dengan peryataan sakartis dari mulut pisaunya.
Hari ini, adalah pembagian hasil ulangan tengah semester yang telah dilaksanakan seminggu yang lalu. Adinda mendapat juara 3, hal tersebut membuat Adinda kesal setengah mati. Sedari kecil ia selalu berambisi untuk meraih posisi 1, Namun usaha yang dia lakukan dipatahkan oleh 2 kawannya yang bernama Fredy dan Selia.
“Aduh nda, lo goblok banget sih. masa dari 36 siswa, lo cuma dapet peringkat 3. Come on nda.” gerutunya saat itu. “Yaelah, mending dapet juara daripada nggak.” ucap salah seorang temanya yang mendengar gerutuan dari Adinda. Adinda hanya melirik temannya sekilas.
Ia sedang tak berminat untuk membalas ucapan orang tersebut. Karena yang pasti, akan membuatnya bertambah kesal. “Tenang nda, saingan lo cuma 2 orang kok. UAS besok lo pasti dapet juara 1.” Ucapnya untuk menyemangati dirinya sendiri. Tanpa ia sadari seseorang mengamati dan menatap Adinda secara intens. Merasa diawasi sontak membuat mata Adinda berpendar ke sekelilingya, namun perasaan tersebut lenyap seketika, Adinda kembali fokus dengan apa yang ia kerjakan di layar laptop di hadapannya, tanpa pernah menyadari siapa yang telah atau tengah mengawasinya saat ini.
Tak terasa ulangan akhir semester pun tiba. waktu belajar Adinda di tambah demi terwujudnya ambisi untuk mendapat juara 1. Suara adzan isya telah berkumandang beberapa menit yang lalu. Ibunya sudah beberapa kali menegur Adinda agar melaksanakan ibadah terlebih dahulu. Namun Adinda selalu mengatakan nanti, ia masih saja berkutat dengan buku buku yang penuh dengan coretan rumus rumus yang membingungkan. Dan selalu berakhir dengan tertidur di meja belajar.
Hari yang telah ditunggu pun tiba, Adinda optimis dengan hasil yang akan diperolehnya. Sambil menunggu ibunya yang mengambil rapor ia melanjutkan hobinya menulis cerita di laptop kesayangannya itu. “Nda, ayo pulang” suara lembut itu menghentikan aktifitas Adinda, ia pun hanya menurut. Saat di rumah tubuhnya mendadak lemas ketika melihat hasil yang tertera dalam raport semesternya. Ibunya yang mengetahui hal tersebut, mendekat dan memeluk Adinda “Ada apa?” tanya ibunya lembut. Adifa hanya menggeleng lemah “Maaf ma, aku ga bisa nurutin permintaan papa.” Ucapnya hampir menangis. “Gak papa Sayang, kamu udah berusaha yang terbaik” Ucap ibunya sambil mengelus rambut lurus anaknya.
“Tapi ma. Kata papa aku harus jadi yang terbaik karena aku adalah pemeran utama” ucapnya saat tenggelam dalam bahu ibunya “Dan aku gagal ma” lanjutnya. “Sayang, pemeran utama tidak harus menjadi yang terbaik. Pemeran utama adalah mereka yang mampu menjadi pengaruh besar dalam hidup orang lain” ucap ibunya meyakinkan sang buah hatinya. Adinda pun hanya mampu terisak dalam pelukan hangat ibunda “Buat mama sama papa, kamu adalah anugerah terbaik yang pernah kami miliki dan bagi mama kamu tetap akan menjadi pemeran utama buat mama setelah papamu udah ga ada.” lanjutnya “Kamu tahu kenapa peringkat kamu menurun menjadi 5, padahal kamu sudah belajar keras?” tanya ibunya lembut Adinda hanya menggeleng lemah “Karena kamu terlalu fokus dengan belajar sehingga lupa ibadah kamu, sekarang mama tanya, kamu kemarin masih sering sholat tahajud?” mendengar pertanyaan mamanya. Adinda seperti ditampar oleh tangan yang tak kasat mata. Ia hanya mengangguk pelan menyadari kesalahannya.
Pada malam harinya, Adinda kembali pada rutinitas dini harinya. Setelah melaksanakan sholat tahajudnya ia baru menyadari bahwa ia melupakan satu hal selain yang dikatakan oleh mamanya. “Oh ya dulu papa pernah bilang kamu dan setiap orang adalah pemeran utama dalam cerita yang tuhan tulis, jadi jangan pernah iri dengan cerita orang lain” tuturnya dengan dirinya sendiri. “Nda nda lo goblok banget seh. saingan lo bukan cuma Fredy dan Selia tapi 35 anak, Dan musuh terbesar lo adalah ego lo sendiri”. “Dan gue harap lo lebih bisa mengenal diri lo sendiri nda” monolongnya dengan dirinya sendiri “Terimakasih ya Tuhan, atas teguranmu kali ini” ucapnya mengakhiri kegiatannya.
Ya.. Tuhan selalu tahu cara menyadarkan hambanya, hanya kita sendiri yang terkadang tidak peka dengan kode yang diberikan oleh-NYA. Ucap Adinda dalam hati.
Cerpen Karangan: Dinda Sulistyowati Blog / Facebook: dandiadinda.blogspot.com / Dinda Sulistyowati
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 3 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com