Pagi hari adalah saat yang sangat tidak kusukai. Kalau biasanya orang normal sangat suka embun di daun dan menghirup segarnya udara sehat ini, namun itu semua tidak berlaku untukku. Bangun terlalu pagi membuatku sakit kepala. Seperti sekarang ini, tanpa perlu membuka mata, aku sudah tahu siapa orang gila yang dengan seenak jidat membuka jendela kamar dan menarik lepas selimut yang membungkus tubuhku seperti kepompong. “Bangun pemales! Lihat jam, dong! Ini udah siang, mau sampe kapan kamu tidur kayak orang mati, hah?!”
Biar saja dia teriak-teriak begitu, nanti kalau lelah juga berhenti sendiri. Kupeluk erat guling di bawah kaki. “Hei, cepet bangun!” aku tak bergeming. Justru semakin menyusupkan kepala di bantal. Kurasa emosinya sudah sampai diubun-ubun, karena geraman kekesalannya terdengar jelas di telinga.
“Aku itung sampe tiga, kalau gak bangun juga, jangan salahin kalau kamu aku tarik ke bawah!”
Hmhm…, coba saja. Dia pasti hanya menggertak, kuacuhkan kembali. Tepat saat dihitungannya yang ketiga, aku merasakan sesuatu menggenggam kakiku erat. Spontan aku membuka mata, namun belum juga sepatah kata keluar dari bibirku, tubuhku sudah melayang bebas dan jatuh menghantam ubin yang demi apapun, ini luar biasa dingin. Astaga! Bokongku rasanya kebas. Aku mendelik pada Aska yang berdiri menjulang sambil bersedekap. Lelaki itu menatapku datar tanpa berniat menolong sedikitpun. Kurang ajar!
“Gimana rasanya? Seru, kan?”
Seru jidatmu! Aku berusaha bangun sambil mengusap-usap bokong. Huh, untunglah bokongku yang tak seberapa ini masih pada tempatnya. Kukira dia hanya menggertak saja tadi, rupanya benar-benar serius. Memang ya, sekali iblis tetap saja iblis.
Tak kupedulikan tatapannya, aku justru penasaran melirik jam dinding, sontak saja mataku melotot. Hell! Ini masih jam empat subuh! Apa lelaki gila ini ingin membunuhku?! Astaga, kepalaku mendadak pening, padahal aku baru tidur jam satu hanya untuk mencari lowongan pekerjaan di internet. Dan sekarang, lelaki dengan tampang menjengkelkan ini sudah membangunkanku jam segini?!
“Cuci muka sana, kita jogging sekarang.”
Aku benar-benar ingin melempar bantal ini ke wajahnya, tapi sayang dia sudah keluar duluan. Menggertakkan gigi, aku menjerit sekuat tenaga sampai tiba-tiba sebuah bantal terdampar keras di wajahku.
“Jangan teriak-teriak, suara cempreng kamu tuh bisa bangunin semua orang. Kasian mereka lagi pada tidur, tau.”
Ya terus, dia tidak kasihan padaku begitu?! Dengan cepat aku menghampirinya, memukulkan bantal sekuat tenaga ke tubuhnya yang tinggi. Aku benar-benar ingin menangis.
“Oi oi, apa-apaan nih, berhenti, gak!” bodo amat! Tak kuhiraukan pekikkannya itu. Kekesalanku sudah memuncak diubun-ubun. Namun tiba-tiba dia meraih tanganku dan menggenggamnya jadi satu, lalu meraih bantal yang tadi kugunakan untuk memukulnya, melemparnya ke kasur dan menatapku dengan seringai menyebalkan. “Kamu harus olahraga biar tinggi. Lihat, tuh badanmu pendek banget kayak anak SD.”
Setelah insiden pagi itu, atau lebih tepatnya saat Aska mengatakan tubuhku pendek, aku menerjang dan memukulkan lagi bantal ke kepalanya, lalu menendang-nendang tubuhnya dengan brutal, sampai Bulik Tuti terkejut dan berteriak histeris memisahkan kami, dan akhirnya jogging itu tidak terlaksana sampai detik ini.
Sekedar informasi, besok aku akan mulai bekerja. Seminggu lalu, saat membantu bulik di butik, aku tak sengaja melihat seorang wanita menggendong anaknya—yang sepertinya usianya baru 5 bulanan—duduk di sofa butik dan membaca selebaran. Karena aku penasaran, akhirnya aku bertanya. Rupanya ibu muda ini sedang mencari Daycare untuk anaknya, karena si ibu ternyata sibuk bekerja. Berhubung aku terlanjur penasaran, jadi kupinjam selebaran itu dan membacanya. Sebenarnya memang tempat ini tidak sedang membuka lowongan pekerjaan, tapi saat kulihat—lokasinya lumayan dekat dengan butik bulik—jadi aku iseng-iseng mencoba. Dan, keberuntungan rupanya berpihak padaku kali ini. Aku diterima dengan senang hati oleh si pemilik Daycare Ceria ini.
Tentu saja aku menyombongkan diri pada Aska kalau aku sudah dapat pekerjaan. Awalnya dia tidak menyangka kalau akhirnya aku bisa mendapat pekerjaan. Tapi begitu kuberitahu di mana aku bekerja, Aska—yang saat itu sedang minum air putih—langsung menyemburkan minumannya tepat di wajahku lalu terbahak heboh. Tentu saja aku berteriak murka dan langsung beranjak pergi meninggalkannya yang masih terbahak di tempat. Lihat saja! Akan kubuktikan kalau aku juga bisa bekerja dengan baik. Dia pasti akan bertekuk lutut padaku.
—
Huaaaaa!!! Ini neraka! Neraka! Ternyata mengurus bayi tidak se-menyenangkan bayanganku. Sikap manis dan manja mereka rupanya hanyalah bayangan semu semata yang kuimpikan sebelumnya. Mereka benar-benar seperti iblis kecil versi Aska dulu. Kalian mau tahu bagaimana rasanya? Hm…, biar kujelaskan. Setiap makan siang, aku harus berlari mengejar mereka dulu, malah kalau mereka menangis karena tidak mau, aku harus mencari cara kreatif supaya mereka mau makan.
Belum lagi kalau tidur siang, ini sama nerakanya dengan menyuruh mereka makan. Sulit sekali! Bukannya tidur, mereka malah sibuk berguling ke sana kemari dengan teman lainnya. Dan yang paling membutuhkan tingkat kesabaran ekstra adalah saat memandikan mereka. Demi Tuhan! Rasanya aku ingin menangis setiap jadwal rutin ini berlangsung. Jika saat makan dan tidur mereka benar-benar sulit diurus, saat mandi justru berlipat-lipat sulitnya.
Rambutku pernah ditarik kencang sampai rasanya mau copot dari kulit kepala hanya gara-gara mereka minta sabun Superhero—padahal di sini hanya ada satu sabun saja, mana beraroma strawberry pula. Lagipula memangnya ada, ya sabun Superhero? Sabun macam apa itu? Astaga, miris sekali hidupku. Sepertinya janjiku untuk membuat Aska bertekuk lutut musnah sudah. Padahal baru tiga hari bekerja, tapi tulangku seperti dicabut dari tempatnya.
Sudah tepat lima bulan aku tinggal di rumah bulik. Pekerjaanku di Daycare Ceria, juga baik-baik saja. Yah…, walau diawal rasanya aku ingin hilang saja dari peradaban, tapi semakin ke sini, aku semakin bisa memahami bayi-bayi ini. Malah jika tidak bertemu sehari saja dengan mereka, rasanya ada yang kurang dari hari-hariku. Mengobrol dan bergosip dengan sesama pekerja di sini juga sudah menjadi hal rutin. Sekarang aku benar-benar menikmati pekerjaan ini.
Bulik juga tidak keberatan aku berlama-lama di sini, karena senang punya teman mengobrol. Aku juga senang berada di sini, hanya saja, Aska yang membuatku sedikit tidak nyaman. Lelaki itu belakangan ini bersikap aneh sekali. Setiap berpapasan denganku, dia pasti langsung melengos seolah aku tak di sana. Kalau kami bertiga sedang berkumpul—makan atau menonton televisi—dia lebih banyak diam.
Tingkahnya itu persis seperti orang banyak hutang yang sedang memikirkan nasibnya. Kami juga hampir tidak pernah bertegur sapa. Aku tidak mau memulai tentu saja, toh, dia sendiri juga tak pernah menyapaku, bahkan tingkah usilnya tak pernah lagi dia tunjukkan. Tidak seperti di awal, atau saat aku masih baru bekerja, dia pernah menyembunyikan seragamku di mesin cuci. Mana saat itu aku sudah benar-benar terlambat. Asal tahu saja, aku langsung berlari ke kamar Aska dan melempar sepatu kesayangannya itu ke dalam selokan. Yah, alhasil kami sama-sama bertengkar dulu baru berangkat kerja. Aku dimarahi habis-habisan oleh si pemilik Daycare Ceria—karena kukira awalnya seragam yang Cuma satu itu hilang, tapi ternyata tidak—lalu gajiku terlanjur dipotong setengahnya. Entah kalau Aska, padahal harapanku dia langsung dipecat dari sana, tapi sepertinya harapanku tak terkabul, karena saat dia pulang, wajahnya biasa-biasa saja. Tak se-menyedihkan diriku yang menangis meraung-raung ketika tiba di rumah, bahkan bulik saja sampai kelimpungan mendiamkanku.
~ Bersambung …
Cerpen Karangan: Permaisita TiaraS Blog / Facebook: siaramoon.blogspot.com
Halo, salam kenal! Terima kasih sudah membaca cerita saya, semoga kalian suka, ya. Ingin kenal saya lebih dekat? Let’s check this out! IG: permaisita_tiaras Wattpad: Tiarapermai
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 5 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com