Betapapun kerasnya mencoba, tetap saja aku tidak bisa fokus pada pelajaranku, pada makan siangku, pun pada kelas musik yang biasanya sangat menghiburku. Aku terpikirkan sesuatu. Tadi pagi di dapur ketika hendak mengambil sarapan, tepatnya di almari makan, terselip di pojokan, aku melihat sesuatu. Benda yang biasa digunakan wanita dewasa untuk keperluan mengetahui apakah mereka sedang mengandung atau tidak. Ya, testpack. Masih kuingat jelas bagaimana tanganku bergetar hebat ketika meraihnya. Aku ingin penglihatanku keliru, aku ingin itu hanya mimpi. Benda itu belum digunakan, masih terbungkus rapi. Pun kalau sudah dipakai, memang belum tentu hasilnya positif. Tapi yang kutahu, perasaan wanita kuat terhadap hal semacam itu. Mereka tidak mungkin membelinya hanya untuk iseng saja. Sebelumnya mereka pasti sudah merasakan gejalanya. Atau minimal tahu kalau sudah melakukan ‘itu’.
“Heh Fir?! Kenapa sih kok diam saja? melamun terus dari tadi. Sakit ya?” Aku hanya menggeleng cepat. “Kantin yuk?” “Nggak. Kamu sendiri aja.” “Tumben gak mau. Ada apa sih? Ayo cerita.”
Setelah menimbang-nimbang, aku memutuskan bahwa tidak kuat memikirkannya sendirian. Bisa gila rasanya. Migrain yang menyerang sejak kelas pertama sudah kutahan-tahan sakitnya.
“Ra, hmm.” “Iya? Ada apa Fir?” “Sepertinya mamaku hamil (lagi).” “Huh?!” Tara menutup rapat mulutnya dengan kedua tangan. “Astaga… selamat ya Fir.”
Tidak kusangka, respon Tara justru bahagia. Tidak bisakah ia melihat bahwa aku tidak senang? Aku memalingkan muka. Tidak ingin lagi melanjutkan cerita. Percuma. Toh, dia tidak mengerti perasaanku juga.
“Kenapa? Kok kayaknya nggak bahagia?” Perih rasanya. Tenggorokanku sakit dan mataku panas menahan turunnya air mata. Aku menggeleng cepat lagi. “Loh Fir kamu nangis?” Tara panik. “Kepalaku sakit. Tolong sampaikan izin ke Bu Yani kalau aku gak bisa ikut pelajaran, ya. Aku mau tidur di UKS.” Pamitku pada Tara secepat mungkin.
Aku kesal dengannya. Tapi aku tidak mau membuat dia merasa bersalah dengan melihatku menangis. Aku harus mengerti, respon orang terhadap suatu kejadian pasti berbeda-beda.
“Seandainya, itu mamanya Tara saja yang mengandung. Bukan aku, jangan aku. Tuhan, alihkan saja nasib ini ke orang lain. Aku tidak mau, aku tidak sanggup! Kalau dia lahir, izinkan aku yang pergi. Biar dia saja yang menggantikan posisiku di rumah itu.” Batinku teriris-iris. Miris. Aku memikirkan banyak hal sambil terisak di koridor sekolah, berjalan sendirian menuju UKS. Lonceng pertanda berakhirnya istirahat kedua baru saja berbunyi. Jadi semua murid sudah masuk ke kelas lagi. Lorong sudah sepi. Aku merasa mendapat sedikit keberuntungan disini.
Aku berbaring di ranjang UKS. Penjaga UKS telah memberiku obat sakit kepala. Kuperhatikan sekeliling, hanya aku yang sakit hari ini. Sepertinya semua orang sedang bahagia. Tidak adil.
Bel pulang sekolah berbunyi. Aku mengucapkan terimakasih pada penjaga UKS dan pamit pergi. Di sepanjang koridor kembali ke kelas, teman-teman yang kutemui menyalamiku. Tara pasti sudah membeberkan semuanya. Berita yang ia sangka kabar bahagia, yang olehku sebenarnya ingin kututupi saja. Tapi semuanya sudah terjadi. Tidak mungkin menyalahkan Tara juga. Aku hanya bisa pasrah dan memaksakan senyum setiap kali ada yang memberi ucapan selamat. Sesampainya di kelas, aku membereskan buku-buku. Kelas sudah tak berpenghuni. Aku menjerit sekeras mungkin. Puas. Aku akan menunggu sepi untuk menghindari kerumunan di pintu parkir.
Aku melepas sepatu. Meletakkannya di rak samping pintu. “Baru pulang Fir? Mama punya kabar baik. Kamu mau punya adik!” Deg!
Aku membanting pintu. Menguncinya. Kemudian melemparkan diri ke atas kasur. Menangis sejadi-jadinya. Aku sudah besar. Sebentar lagi lulus SMA dan ingin melanjutkan kuliah. Kalau punya adik, apakah cukup biayanya? Aku sudah belajar dengan keras untuk mempersiapkan ujian masuk Perguruan Tinggi incaranku sejak kelas sepuluh! Aku tidak mau bekerja dulu. Pun kalau harus bekerja, aku tidak mau gajiku dipakai untuk membesarkan adikku. Aku tidak ingin mengalah. Tentu saja aku ingin membeli mobil, merenovasi rumah, mendirikan usaha. Bukannya aku tidak mencintainya, bukan pula aku membencinya. Tapi aku tidak ingin menjadi sosok orangtua kedua. Apalagi ayah selaku tulang punggung keluarga usianya tak lagi muda. Sudah tahu keadaan susah, malah menambah susah lagi! Ngapain sih pakai acara hamil segala? Aku ingin kamu gugur, dik. Pun lahir, aku yakin kamu tidak akan bahagia; memiliki kakak yang tidak ridho seperti aku, keadaan ekonomi kami juga tidak bagus. Intinya, aku merasa kami tidak mampu menyediakan kehidupan yang layak untukmu. Sepanjang hidup saja aku sudah menahan banyak keinginanku. Apalagi kalau harus ditambah kehadiranmu. Berapa banyak lagi cita-citaku yang harus dipaksa pupus haaah?! Aku yakin segalanya di rumah ini nanti akan jadi tentang kamu, cuma kamu. Ditambah dalih kalau aku sudah bisa mengurus diriku sendiri. Sebenarnya kamu boleh saja lahir. Tapi aku tidak ingin kamu tidak bahagia. Aku tidak ingin kamu merasakan jadi aku. Kalau tinggal bersama Tuhan, sepertinya lebih baik bagimu. Atau setidaknya lahirlah di tempat keluarga yang berada.
Selisih usia kami juga terpaut jauh; 18-19 tahun. Bahkan kamu pantas jadi anakku. Daripada punya adik, lebih baik setelah lulus aku menikah dan punya anak. Aku maluuu.
Aku juga tidak ingin mengambil peran dalam pengasuhan. Aku tidak mau kena getah dari apa yang tidak kulakukan. Ayah dan mama harus bertanggungjawab sendiri atas perbuatannya. Aku enggan nanti disuruh menggantikan popoknya. Aku enggan harus menungguinya. Aku enggan dilimpahkan tugas cucian. Aku enggan nanti disuruh mengajari PRnya. Aku tidak mau dibatasi aktivitasku untuk keluar rumah bersama temanku, entah sekedar main atau untuk mengerjakan tugas. Aku tidak akan membantu. Aku tidak bersedia direpotkan dengan semua itu.
9 bulan. 9 bulan lamanya aku merasakan penderitaan itu. Aku memendamnya dalam diam. Aku jadi tidak bicara dengan orang rumah jika tidak perlu. Kalau aku buka mulut, aku tahu ucapanku akan sangat tajam dan menyakitkan, lebih sarkas dari tulisan karena aku masih bisa menyuntingnya. Aku juga benci melihat perut yang kian membesar itu. Aku tidak pernah membantu di acara syukuran. Seharusnya uang itu milikku untuk membeli buku, atau bersosialisasi dengan temanku. Kamu merebut bagianku.
Tapi semuanya berbeda. Saat kulihat ayah menggendongnya. Sangat mungil, butuh perlindungan. Ayah mendekatkannya padaku. Dia mengerling dan mengerang kecil. Tangannya menggapai-gapai. Jari mungilnya bertaut dengan jari telunjukku. Saking kecilnya tidak bisa menutupi sampai tiga ruas. Malaikat imut ini, apakah aku tega menyakitinya? Apakah aku tega membuangnya, mengenyahkannya dari hadapanku? Beberapa waktu, tak sampai lama berlalu, mungkin ia akan tertawa senang hanya dengan permainan ‘ciluk ba!’. Mungkin ia akan berlari menghampiri ketika aku menginjak ambang pintu. Mungkin ia akan mengeluhkan permen yang jatuh atau minta dibuatkan susu. Semua keegoisanku seketika runtuh. Kubiarkan mimpi yang utuh pergi melayang jauh. Berubah. Menjelma menjadi keikhlasan.
Pasti Tuhan sudah memberitahumu apa yang akan terjadi saat ini. Sehingga kamu nekad memutuskan untuk tetap lahir saja. Maukah kamu memaafkan kebencianku selama 9 bulan lalu? Bagaimana aku bisa membenci sosok yang aku belum tahu wajahnya, sosok yang belum hadir di dunia? Bahkan sejak belum ditiup nyawa, juga belum memiliki nama. Wajah lugu tanpa dosa, aku yang bersalah selamanya. Adikku, aku mencintaimu!
Cerpen Karangan: Wuri Wijaya Ningrum
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 5 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com