Hari-hari terus berjalan. Sekolah juga telah aktif beberapa hari dan mulai pelajaran seperti biasa. Aku terus menghindar dari teman-temanku. Gangguan pendengaran yang aku alami membuatku merasa kesulitan untuk mendengar. Aku seringkali bertanya kepada teman terdekat agar aku mendapatkan informasi yang diberikan. Aku mulai merasa canggung ketika berada di tengah-tengah sahabat-sahabatku. Tanpa aku ketahui sahabatku yang bernama Gandhi, menyampaikan keanehanku kepada teman-temanku yang lain. Rupanya, keanehan yang Gandhi rasakan juga dirasakan oleh yang lain.
“Eh kalian ngerasa gak sih, si Hasan itu aneh banget. Dia itu beberapa kali itu Tanya-tanya kaya orang gak denger gitu lho” “Sama Gandhi. Dia itu sering banget tanya ke aku tentang apa yang diberitahu oleh Guru. Dia itu duduk depan sendiri. Masa dia gak denger. Tuh anak sebenarnya kenapa sih?” “Gak tau.” Tetapi mereka tidak menyampaikan perasaan mereka itu padaku.
Beberapa hari telah kulalui. Entah kenapa teman-temanku semakin menjauhiku. Aku merasa sendiri diantara teman-temanku yang lain. Aku juga merasa bahwa aku menjadi bahan olokkan teman-temanku. Aku pun tidak bisa bertahan dengan semua ini dan akhirnya menyendiri dan seringkali melamun dalam kamarku. Bundaku pun heran melihat kelakuanku belakangan ini.
Bunda akhirnya bertanya kepadaku “Hasan, Hasan kenapa? Coba Cerita sama bunda.” Bunda mencoba bertanya. Aku hanya terdiam dan tidak menjawab. “Kenapa kelakuan anak bunda berbeda akhir-akhir ini? Bunda tetap berharap kamu bisa beradaptasi dengan teman-temanmu yang lain. Sejak SD kau bisa, Insya Allah sekarang pasti bisa” Bunda berkata dengan penuh kebijaksanaannya. “Bunda, kenapa Hasan berbeda dengan yang lain? Kenapa Hasan tidak seperti yang lain?” aku bertanya sambil memeluk Bunda “Apa yang Hasan maksud? Hasan tidak mempunyai perbedaan dengan yang lain.” Bunda berusaha meyakinkan dan menenangkanku “Tidak bunda, Hasan berbeda dari yang lain. Kenapa Hasan berbeda?” kataku dengan keadaan emosi yang tidak terkontrol “Hasan tidak berbeda dengan yang lain. Kenapa Hasan seperti ini? Hasan, tidak ada perbedaan antara Hasan dengan yang lain.” Bunda terus meyakinkanku “Bunda, kenapa Hasan berbeda Bunda?” tangisku pecah sambil memeluk Bunda dengan erat. Bunda tidak bisa meyakinkanku bahwa aku tidaklah berbeda dengan yang lain. Bunda hanya ingin bahwa aku tidak merasa minder untuk beradaptasi di lingkunganku. Bunda terus menenangkanku dan membuatku berhenti menangis.
Melihat kondisiku yang semakin tidak terkontrol, Om dan juga Tante pun juga memberikan semangat kepadaku. “Hasan, kamu sama kok sama teman-teman Hasan yang lain. Tidak ada yang berbeda antara kamu dengan teman-temanmu yang lain.” “Hasan, kamu bisa seperti yang lain. Hasan punya prestasi yang gak kalah dengan teman-temanmu yang lain.” “Sudah, Hasan jangan menangis ya, coba Hasan tenangkan diri dulu. Hasan tidak ada yang berbeda dengan yang lain. Tidak berbeda dengan Bunda, dengan kakak, dengan saudaranya Hasan, dan juga teman-teman Hasan. Hasan tidak berbeda dari yang lain. Sudah ya, Bunda tak ingin melihat anak Bunda menangis.” Kata Bunda menenangkanku dan menghapus air mataku.
Esok harinya, tanpa aku ketahui Gandhi dan temanku yang lain merencanakan sesuatu agar bisa berbicara denganku. “Eh Gandhi, kamu mau gak sih aku ajak untuk deketin si Hasan. Aku itu Cuma ngerasa kasian gitu lho, dia itu kayak gak punya teman di Kelas ini.” “Wah iya juga ya.” “Kamu ngerasa juga kan? Dia itu selama ini kayak punya masalah tapi sama dia itu cuman dipendam gitu aja.” “Betul tuh, dan dia itu kayak… Kayak nyembunyiin sesuatu dari kita. Dia berusaha menghindar dari kita. Aku jadi ingin cerita tentang Hasan. Jadi sebenarnya kemarin itu Waktu masih masa perkenalan, aku sempat ingin mendekati Hasan Ketika pulang. Aku panggil berkali-kali dia itu gak noleh. Pas dia masang sesuatu di telinganya, aku panggil dia baru noleh.” “Benda di telinganya?” “Iya, aku rasa itu alat bantu dengan yang biasanya dipake orang-orang tuli. Saudaraku itu ada yang tuli dan pakai alat seperti itu.” “Wah gak beres. Nanti sepulang Sekolah ayo kita coba dekati dia.” Mereka berdua pun sepakat.
Sepulang sekolah. Seperti biasa aku menunggu taksi yang biasa mangkal di depan Gang Sekolah. Aku memang hari itu dalam keadaan lelah dan lapar karena sejak Pagi aku belum makan apapun dan kegiatan di sekolah yang hampir memakan waktu seharian. Aku tadi pagi bangun kesiangan dan akhirnya hanya minum Susu dan memakan Roti separuh. Gandhi dan salah seorang temanku mendekatiku. Aku tidak sadar akan kehadiran mereka di dekatku. Gandhi memegang pundakku, aku pun terkejut. Karena keterkejutanku dan kondisiku yang lemas akhirnya aku pun tak sadarkan diri. Mereka membawaku menuju pos satpam sekolah dan berusaha menyadarkanku.
Tidak lama, aku tersadar dan mereka membantuku untuk duduk. Aku terkejut dengan kehadiran mereka. Aku sadar bahwa alat bantu dengarku tidak berada di telinga dan aku melihat berada di tangan Gandhi. Aku segera mengambil benda itu dari tangan Gandhi. Aku menanyakan kenapa mereka ada disitu.
“Hasan, tadi kamu tidak sadarkan diri di jalan” temanku mulai bertanya tentang kelakuanku selama ini “Hasan, kamu kenapa sih, selama ini selalu menjauhi kami?” Tanya Gandhi “Hasan, kamu benci sama kami? Kamu marah sama kami? Kenapa Hasan?” mereka bertanya kepadaku.
Akhirnya aku menceritakan keadaanku yang sebenarnya kepada mereka. “Aku takut” aku mulai menjawabnya “Takut? Takut kenapa? Apa yang Hasan takutkan dari kami?” Gandhi bertanya dengan penasaran. “sebenarnya, aku tuli” “Ya Allah Hasan, jadi kamu tuli. Kenapa tidak cerita kepada kami? Kami… kami gak seperti itu Hasan. Kami gak beda-bedain teman. Ya Allah Hasan.” Mereka berusaha menenangkanku dan mengantarku pulang dengan Mobil Orangtua Gandhi. Aku akhirnya pulang dan beristirahat.
Gandhi sempat berbicara dengan Bunda. “Maaf Ibu, Kami ngantar Hasan pulang. Tadi sempat pingsan di jalan. Sepertinya sedang gak enak badan.” “Terimakasih ya, Sudah mau menolong Hasan. Siapa namamu?” “Gandhi Bu. Ya sudah Saya permisi pulang dulu. Sudah ditunggu orangtua.” “Iya hati-hati ya Gandhi, Terima kasih banyak sudah membantu Hasan.”
Bunda akhirnya berbicara padaku. “Tuh ada kawan yang menolong Hasan. Kamu gak Usah minder lagi. Gak ada perbedaan antara Hasan dan teman-teman Hasan yang lain. Percaya diri saja ya.” “Bunda.” Aku memeluk Bunda sambal menangis. Aku berterima kasih sudah mau menyemangatiku selalu.
Akhirnya mereka berdua menceritakan hal tentang kekuranganku itu pada yang lain. Teman sekelasku akhirnya mengerti dan memaklumi dengan kondisiku saat ini. Mereka akhirnya meminta maaf kepadaku karena telah membuatku tidak nyaman.
“Hasan.” Mereka meraih tanganku Ketika aku berusaha menghindar. “Hasan, Aku minta maaf ya. Selama ini udah buat Hasan gak nyaman. Aku gak tau tentang keterbatasan Hasan selama ini sebelum Kapten kita menceritakan ini semua.” “Hasan, Kami semua minta maaf ya.” Aku hanya membalas mereka dengan senyuman dan anggukan.
“Hasan, aku tau kamu kesulitan berkomunikasi. Sepertinya selama disini kau memaksakan diri untuk berbicara seperti teman-teman yang lain. Aku memaklumi kalau Hasan mengalami kesulitan. Aku bisa Bahasa yang biasanya dipakai orang-orang seperti Hasan ini. Nanti aku coba terjemahkan ke teman-teman yang lain. Jadi gak papa. Gak usah menjauhi teman-teman ya setelah ini.” Ucap Gandhi.
Akhirnya aku bisa memiliki teman di Sekolah baruku itu. Ternyata, dugaanku selama ini salah. Aku diterima ditengah-tengah sahabat-sahabatku yang lain. Walaupun aku mempunyai keterbatasan di pendengaranku. Aku akhirnya bisa beradaptasi dengan mereka, dan mereka sangat mendukungku. Aku merasa sangat bersyukur mereka mau menerimaku. Mulai saat itulah aku tak ragu menunjukkan kemampuan dan kelebihanku kepada teman-temanku.
Cerpen Karangan: Zainur Rifky Blog: Rifkypsikologi.blogspot.com
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 6 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com