Namaku Diana Kurnia Toni, teman-teman memanggilku Diana, Dian. Cerita ini dimulai saat aku duduk dibangku kelas X SMA. Sejak awal masuk sekolah aku selalu duduk di kursi paling depan. Suatu hari teman sekelasku bernama Doni duduk ditempat yang biasanya aku tempati. Mulai dari itu aku merasa benci kepadanya. Aku kalah cepat dengannya. Akhirnya aku duduk dibelakangnya atau di kursi nomor dua. Pada saat perkenalan yang ditunjuk oleh guruku dan tiba giliranku, aku menyebutkan nama lengkapku. Kemudian guruku pun menanggapinya.
“Kenapa nama dia belakangnya Toni? ayo mas Doni depannya dijawab,” ujar guruku. “Tidak tahu, Pak. Sepertinya itu nama Ayahnya,” jawab Doni. “Loh.. kok tahu? Pernah main ke rumahnya ya,” jawab guruku. “Ciee…” sorak teman-teman satu kelas.
Setelah kejadian itu aku semakin benci dengannya. Ditambah lagi teman-teman selalu menjodohkanku dengannya. Semenjak kejadian itu, aku menghindar darinya. Aku tidak mau di belakang, depan, samping, bahkan tidak mau berbicara dengannya.
Sekolah sudah hampir satu semester. Lama-lama aku mendapatkan banyak teman akrab. Kami memiliki tradisi yakni pada jam istirahat pertama selalu memakan bekal masing-masing di depan kelas. Tidak semuanya ikut makan bersama, bahkan laki-lakinya hanya Doni yang ikut bergabung makan dengan perempuan.
“Diana tinggal aja, dia kalau makan lama!” ujar Doni sambil menunjukku. “Apa! Aku kalau mengunyah makanan itu tiga puluh dua kunyahan. Enggak bisa seperti kamu yang sekali masuk langsung telan,” ujarku kesal.
Hari sekolah berikutnya, aku terkena musibah. Gawai yang dibelikan orangtuaku hilang di kolam renang. Aku tidak bermain hp sendirian dan sangat kesepian. Untungnya aku memiliki teman-teman yang baik dan sangat peduli denganku. Melin namanya, dia sering kali meminjamkan gawainya kepadaku. Bisa dibilang gawainya untuk kami berdua. Suatu ketika pada jam istirahat kedua, gawai Melin hilang setelah aku tinggal di atas mejaku. Dan aku panik pada saat itu.
“Teman-teman, ada yang tahu gawai diatas mejaku enggak?” ujarku kepada teman satu kelas. “Enggak tahu Dian. Terakhir kamu letakkan dimana gawainya?” tanya temanku. “Aku letakkan disini diatas mejaku, aku tadi kebelakang sebentar. Ayolah dikembalikan gawai aku habis hilang, masa aku menghilangkan gawai Melin juga?” jawabku dengan nada sedih. “Hayolo.. Melin kamu minta ganti rugi aja ke Dian. Gawaimu hilang ditangannya, makanya lain kali Dian enggak usah dikasih pinjam gawai aja,” ketus Doni. “Jangan-jangan kamu ya Don sembuyikan gawai Melin. Kembalikan dong,” tegasku. “Heh.. Jangan memfitnah ya. Kamu ada bukti apa bilang gitu!” Sahut Doni.
Aku tidak mau menanggapi perdebatan yang tidak penting dengannya. Aku dan teman-teman berusaha mencari didalam kelas dengan maksimal. Akan tetapi, hasilnya pun nihil. Aku dan teman-temanku tidak menemukan sama sekali. Aku semakin panik dan sedih, tidak tahu lagi aku akan menjadi apa setelah menghilangkan dua gawai sekaligus. Namun, gerak-gerik Doni tampak mencurigakan. Dan siapa lagi kalau bukan Doni yang selalu bikin masalah denganku.
“Doni!! Kamu kan yang menyembunyikan gawai Melin. Kamu dari tadi tenang-tenang saja di pojokan. Yang lain pada mencari gawai Melin tapi kamu malah enak-enakan di pojokan sambil main gawaimu sendiri,” ketusku. “Ih.. buat apa aku menyembunyikan gawai Melin. Melin kan teman baikku. Enggak seperti kamu!” tegas Doni. “Awas saja ya, kalau nanti kamu yang terbukti menyembunyikan, aku akan bicara keras dan kotor ke wajah kamu!” jawabku.
Pencarian gawai dilakukan hingga jam istirahat habis. Aku dan teman-teman tidak menemukannya. Aku tidak tahu lagi harus bilang apa kepada orangtuaku. Sahabat-sahabatku menenangkanku agar tidak menangis karena mata pelajaran selanjutnya akan segera dimulai.
Tak lama kemudian.. “HAHAHA ini dia gawai Melin,” ujar Doni dengan mengeluarkan gawai dari kantong belakang celana. “Astaga.. DONII!!!” ucapku dihadapannya penuh emosi.
Setelah kejadian itu, selama dua hari aku tidak bertegur sapa dengan Doni. Aku sangat, sangat membencinya. Akan tetapi teman-temanku selalu menjodohkanku dengannya. Setiap teman-temanku berbicara Doni dihadapanku aku tampak tidak menyukainya.
Tak terasa kelas X sudah berakhir dan beranjak menuju kelas XI. Pada kenaikan kelas terdapat kebijakan baru yakni merombak setiap kelas. Aku dan sahabat-sahabatku serta Doni akhirnya berpisah. Aku merasa agak lega setelah mengetahui tidak satu kelas dengannya. Akan tetapi, semenjak pisah kelas dia selalu mengontak aku dengan alasan untuk meminta atau bertukar sampul buku. Aku semakin akrab dengannya, sudah tidak tampak seperti tom and jerry lagi. Semakin lama dia semakin mendekatiku, dan aku tidak sadar akan hal itu.
Kelas XI sudah berjalan selama satu semester. Aku dan dia semakin akrab dan saling perhatian dengannya. Tidak ada angin dan hujan tiba-tiba Doni menyatakan perasaannya kepadaku melalui pesan. Akupun kaget dan tidak terbayangkan sama sekali dan aku menerimanya.
Serapat-rapatnya menutupi bangkai, pasti akan tercium juga. Akhirnya sahabat-sahabat dan juga teman-temanku mengetahui bahwa aku pacaran dengan Doni. Dan aku kini telah lulus SMA dan menjadi mahasiswa semester lima masih bersamanya selama lima tahun lamanya. Aku dengannya berkomitmen untuk saling menjaga satu sama lain dan berusaha yang terbaik untuk hubungan kami berdua hingga kelak nanti.
SELESAI
Cerpen Karangan: Cindy Afiffatus Syafi’ Blog / Facebook: Cindy Afiffatus Syafi Perkenalkan nama saya Cindy Afiffatus Syafi’. Saya mahasiswa aktif semester lima di Universitas Negeri Surabaya. Semoga suka dengan karya-karya aku yaaa..
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 7 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com