Selembar kertas dengan tinta merah yang bertuliskan nilai 64 baru saja diberikan Bu Dewi kepada Naya. Siswi dengan rok biru itu memasang raut masam. Sementara itu, seorang anak laki-laki yang duduk tak jauh darinya tertawa cekikikan. Naya bertambah kesal menatapnya. “Jangan tertawa!” Naya berucap kesal. Ia mendesis pelan lalu menghentakkan salah satu kakinya ke lantai, kebiasaan itu sudah ada sejak Naya kecil.
Setelah Bu Dewi keluar, anak laki-laki itu menghampiri Naya. “Boleh lihat kertasmu?” “Buat apa? Nggak penting,” kata Naya. Tetapi anak laki-laki dengan nama Rayan itu tetap kukuh meminta kertas milik Naya. Alhasil Naya pun memberikannya. “Ck ck ck, kali kalian aja kamu masih salah, gimana mau dapat seratus. Awas sebentar lagi ujian semester, mana yang katanya usaha belajar sampai malam?” kata Rayan. “Ya kan aku lagi usaha! Cuma nggak tau kenapa bisa gagal lagi.”
“Kalau usaha kamu cuma mentok di mulut ya jelas gagal,” kata Rayan. Kemudian anak itu menaruh kertas milik Naya di meja. “Nilai memang bukan tolak ukur kesuksesan, tapi nilai bisa jadi berharga kalau kita bisa memperjuangkannya dengan usaha, bukan dengan cara yang instan.” Naya tertawa hambar sambil memasukkan ponselnya ke dalam tas, ia merasa perkataan Rayan barusan itu ditujukan dengannya. Memang selama ini Naya hanya mengandalkan Google untuk mencari jawaban, apalagi saat pandemi ini. kalau tidak ada, tinggal dijawab asal. Toh itu lebih baik daripada tidak mengumpulkan tugas.
“Oh iya, sepertinya dua minggu lagi ada offline.” Naya melotot mendengarnya, jelas ia terkejut karena selama ini ia jarang mengikuti pelajaran daring, bahkan materi yang disampaikan guru pun ia tak paham. Rayan geleng-geleng melihat Naya yang menggigit jari gelisah. “Mau belajar bareng?” Tawar Rayan. Naya mengangguk semangat. Kapan lagi ia bisa belajar ditemani seorang juara kelas. Ganteng pula!
Rayan menepati janjinya, sepulang sekolah ia langsung pergi ke rumah Naya untuk belajar bersama. “Hari kan ada PR matematika, gimana kalau itu diselesaikan dulu?” tanya Rayan yang dibalas anggukan oleh Naya. Mereka mulai fokus belajar dan memang benar bahwa Naya terbilang lemah di matematika. Buktinya mengerjakan perkalian saja ia kesusahan. Untungnya Rayan selalu sabar mengajari gadis itu.
Mereka jadi sering belajar bersama karena permintaan Naya. Dan entah sihir darimana kini Naya yang semula malas belajar bahkan sekedar membuka buku pun kini selalu menyempatkan diri untuk belajar di malam hari walau hanya sebentar. Dan pagi harinya ia habiskan untuk berhitung matematika agar tidak lemot seperti kata Rayan kemarin. Sekarang Naya juga jarang melewatkan daring dan mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru. Benar-benar perubahan yang drastis.
“Akhirnya aku dapat seratus!” seru Naya heboh sambil memandangi ponselnya. Hari ini ia sedang belajar bersama Rayan di rumah Naya. Rayan turut senang mendengarnya, namun senyumnya perlahan redup. “Naya, dua hari lagi ayahku pindah ke Sulawesi, jadi aku nggak bisa belajar bareng kamu lagi.” Kata Rayan. “Maksudnya? Kamu mau pindah? Pindah sekolah juga?” Tanya Naya yang diangguki oleh Rayan. “Sebenarnya aku juga nggak mau pindah Naya, tapi mau gimana lagi?” Mata Naya mulai berkaca-kaca ketika Rayan menyodorkan beberapa lembar kertas putih kepadanya. “Nanti pas ujian, jadikan ini coretan buat hitung jawaban. Jangan dibuang, biar nanti kalau kita bertemu lagi, kasihkan ke aku.”
“Tapi kapan kita bertemu lagi?” Rayan menggeleng lemah. “Aku juga tidak tahu. Tapi aku yakin kalau suatu hari nanti kita pasti bertemu lagi,” ucap Rayan sambil tersenyum.Rayan membereskan buku-bukunya lalu berpamitan. “Kalau gitu aku pulang dulu, kamu nggak boleh malas belajar lagi, supaya dapat nilai bagus, oke?” Kata Rayan saat berada di teras rumah. Naya mengangguk lalu melambaikan tangan ke arah Naya. Rayan tersenyum kecil walau sebenarnya ia juga sedih.
“Sampai bertemu lagi Naya.”
Dua hari kemudian, tepat di hari senin. Ujian akhir semester sedang berlangsung. Naya tampak serius mengisi jawaban di kertas yang disediakan guru. Ia mengeluarkan dua lembar kertas putih pemberian Rayan, lalu mulai mencoret-coret kertas itu dengan angka. Setelah selesai, Naya kembali memasukkan kertas itu ke dalam tas.
Waktu kembali bergulir, kini tiba saatnya ia melihat hasil ujiannya selama seminggu. Dan seluruh siswa kelas 8.3 terkejut melihat nilai Naya. Siswi yang biasanya selalu mendapat nilai di bawah 80 itu kini tidak menjalani remedi lagi. Bahkan kebanyakan nilai Naya adalah 90. Naya sangat senang, senyumnya tak henti-hentinya terbit sampai ia pulang sekolah. Malam harinya, ia kembali mengeluarkan dua lembar kertas yang berisi coretan untuk menghitung soal matematika itu. Naya menuliskan beberapa kalimat di bagian bawahnya.
Omo! Omo! Daebak! Aku dapat peringkat tiga di kelas! Makasih banyak ya udah ajarin aku, sampai bertemu lagi Rayan.
Cerpen Karangan: Meyssa Lestari
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 7 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com