Pagi itu, seluruh siswa MTsN Cahaya Insan tengah berkumpul di lapangan sekolah. Semula, tiada yang mengira hari itu akan menjadi hari paling bersejarah dalam catatan akademik mereka. Namun, tak lama berselang, suara wanita paruh baya mengalihkan atensi seluruh penduduk sekolah.
“Selamat pagi semuanya! Kali ini, kita akan mendengarkan berita paling besar di penghujung tahun ini. Bersiaplah!!! Rapor semester ganjil akan segera dibagikan!”
Riuh rendah suara para siswa menyeruak memenuhi lapangan sekolah. Beberapa orang merasa tidak perlu dengan hasil belajar yang akan mereka terima. Namun, sebagian yang lain justru merasa was-was jikalau hasil belajar mereka tidak sesuai dengan ekspektasi. Pun halnya dengan Anara Clarissa. Gadis bermata bundar itu mulai panik. Ia tak kunjung berhenti meremas jarinya sedari tadi.
“Ada apa, Ra? Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Ansara berusaha memastikan keadaan sahabatnya itu. “Ah, tidak. Aku tidak apa-apa, Ans.” Degupan jantung Anara kian abnormal. Meski berulang kali meyakinkan diri bahwa ia akan memperoleh hasil yang maksimal kali ini. Tetap saja, hal itu tak menepis kemungkinan bahwa ia akan sedikit kecewa pada semester ini. ‘Tenanglah, Ra! Tenang! Kamu sudah melakukan semua yang terbaik,’ batinnya.
Hari berganti hari. Kejadian itu telah tertinggal lima belas hari yang lalu. Namun, ingatan dan rasa sakitnya masih terus membayangi Anara. Bagaimana tidak? Sebab, orang yang tak disangka-sangka telah menjadi penyebab sakit hati terbesar Anara saat ini. Dia adalah Luna. Saingannya sejak duduk di bangku kelas 7. Ia dan Luna selalu berdampingan menempati peringkat tiga dan empat. Akan tetapi, yang terjadi pada semester lalu sedikit berbeda. Luna merebut posisinya tanpa permisi.
“Duh, kasihan banget ya yang peringkatnya aku rebut! Emang enak apa dapat peringkat empat? Wleeek!” Berkat ejekan Luna, Anara bertekad akan belajar lebih keras dibanding hari-hari sebelumnya. Sebab, ia percaya bahwa Allah SWT akan mengabulkan mimpinya kali ini. “…Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri….” (QS. Ar-Ra’d : 11)
Keseharian Anara berubah drastis. Jika sebelumnya, ia akan mendengarkan lagu-lagu favorit melalui pemutar musik di ponselnya saat sepulang sekolah. Maka kali ini, ia beralih pada tumpukan buku yang dulunya jarang ia sentuh. “Baiklah, Ra. Kali ini, kamu harus mendapatkan hasil yang bagus. Semangat!!!” gumam Anara sembari mengikat pita berwarna merah di dahinya sebagai pertanda semangatnya yang menggebu-gebu.
Ansara tersenyum manis memandangi sahabatnya yang mulai bangkit dari keterpurukan. Ia tahu persis, betapa hancurnya hati Anara saat menerima kabar kekalahan hari itu. “Kalau ada yang tidak kamu mengerti, kamu bisa bertanya padaku kapanpun, Ra. In syaa Allah, aku akan membantumu semampuku.”
Satu per satu buku tebal itu berhasil dipelajari Anara dengan sangat baik. Tak terasa, lima jam sudah ia berkutat di atas meja belajar. Hingga akhirnya, rasa kantuk pun datang menyerang. “Oh, ayolah, Ra! Kamu tidak boleh menyerah begitu saja. Semangat!” Anara kembali meraih buku-buku tebalnya dan mempelajari banyak hal. Semangatnya kembali membara. Ia baru saja berhasil menaklukkan rasa malasnya.
Perjuangan Anara dalam merebut kembali posisinya tidaklah mudah. Suatu ketika, ia dikucilkan oleh temannya karena tak lagi memberikan mereka contekan saat Ujian Tengah Semester (UTS). “Ssst, ssst. Ra, tunjukin jawaban nomor 5 dong!” bisik Freya pada Anara. Gadis itu menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada lembar jawabannya. Dalam hati ia berkata, ‘Lihatlah pembalasanku, Frey! Aku takkan pernah memberikan contekan lagi padamu!’ Freya mendesis sebal. Ia benar-benar kesal pada ulah Anara yang sombong minta ampun.
Tak lama kemudian, giliran Rere yang meminta jawaban pada Anara. “Ssst, ssst. Ra, tunjukkin jawaban nomor 8 ya. Plis!” pinta Rere dengan wajah memelas. Lagi-lagi, Anara mengabaikannya. Kemudian, ia tersenyum remeh. ‘Hahaha. Mari kita lihat seberapa kemampuan kalian tanpa bantuanku!’
Isu menyebar begitu cepat. Kabar Anara yang tak lagi mau memberikan contekan, membuat teman sekelasnya marah dan berniat untuk mengucilkan dirinya. “Teman-teman! Kalian udah tahu kan kalau Anara yang sekarang pelit banget sama kita pas UTS kemarin?” celetuk Freya pada anak-anak kelas 8.1. “Iya tuh, Frey! Kemarin, pas aku minta jawaban sama dia, malah dicuekin gitu aja,” timpal Rere. “Nah, kan, benar apa kataku. Gimana kalau kita musuhin aja dia sekelas? Semuanya setuju, gak?” “Setuju!”
Sejak hari itu, Anara selalu merasa tercekik saat berada di dalam kelas. Tak ada lagi yang mau berteman dengannya. Akan tetapi, hal itu tak lantas menyurutkan semangat Anara. Ia justru semakin yakin bahwa Allah memberikan ujian ini semata-mata untuk menguatkan keimanannya.
Hari-hari yang berat telah terlewati dengan baik. Anara tersenyum lega. Ia harap seluruh kerja kerasnya akan terbayarkan kali ini.
“Hei! Sendirian aja, nih. Gimana? Apa kamu yakin kali ini bisa mengalahkan Luna?” ujar Ansara mengagetkan Anara. “Hm, aku harap sih begitu, Ans. Doain ya semoga aku bisa menyusul jejakmu.” “Jejakku? Hahaha. Kamu terlalu banyak bercanda, Ra. Nilai rata-ratamu saja jauh lebih tinggi dibanding aku. Gimana ceritanya kamu mau mengikuti jejakku?” “Ya, setidaknya kan kamu dapat peringkat satu, Ans. Tapi, ya sudahlah. Sekarang, mending kita ke kantin aja, yuk!”
Saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Hari ini, seluruh siswa MTsN Cahaya Insan akan menerima rapor Ujian Tengah Semester. Freya, Rere, dan Luna sudah tak sabar menunggu hasil belajar mereka selama tiga bulan belakangan. “Aku rasa Anara dapat peringkat satu deh kali ini,” ucap Luna memecah kesunyian diantara mereka bertiga. “Hm, kalau dipikir-pikir, benar juga apa katamu, Lun,” balas Rere.
Saat sedang asyik membicarakan Anara, tiba-tiba saja Bu Eka memasuki ruang kelas mereka. “Bu, siapa yang dapat peringkat satu kali ini?” tanya Rere tanpa berbasa-basi. “Ah, kalian pasti sudah tahu kan sebenarnya. Memangnya kenapa tiba-tiba kalian menanyakan itu pada Ibu?” “Hm, kami hanya ingin memastikan saja, Bu.”
Satu jam kemudian. “Baiklah, Anak-anak. Ibu akan membagikan rapor Ujian Tengah Semester kalian hari ini.” Suasana mencekam menyelimuti kelas. Bahkan, beberapa dari mereka kesulitan dalam meneguk saliva.
“Juara satu diraih oleh … Anara Clarissa.” Sorak sorai memenuhi ruang kelas. Satu per satu dari mereka mulai menyalami Anara. Bahkan, tak jarang juga melayangkan pujian. “Kamu hebat ya, Ra. Bisa bertahan dengan kami yang jahat ini.”
Tak lama kemudian, giliran Luna, Freya, dan Rere yang meminta maaf pada Anara. “Ra, maafin kami semua ya. Pada akhirnya, kami tahu bahwa bintang akan tetap bersinar meskipun dalam kegelapan.”
Cerpen Karangan: Avika Septanora Blog / Facebook: Avika Septanora Hai, namaku Avika Septanora. Alhamdulillah, aku sudah menulis sejak tahun 2016. Oh ya, kalau kalian berminat, yuk cek novelku di aplikasi novelme.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 11 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com