Kehidupan SMA terdengar menyenangkan untuk beberapa orang. Iming-iming masa paling indah selama hidup terus disuarakan tiap tahunnya. Orang bilang, pada masa ini remaja akan menemukan cinta sejatinya. Kalimat-kalimat itu masuk dalam hati seseorang, membuatnya sedikit menyingkirkan masa depannya untuk mendapatkan sebuah bukti. Apakah benar?
Deru bising knalpot modifikasi menarik perhatian kerumunan murid di area parkir. Seorang pemuda baru saja selesai memarkirkan kuda besinya. Satu deret lurus dengan kendaraan lain. Jemarinya merapihkan rambutnya yang berantakan. Ia terlihat mengesankan dengan jaket ripped jeans, khas anak motor.
Namanya Dirgantara, seorang murid di tahun pertama. Siapa yang tidak kenal dengan sosok itu? Namanya melambung tinggi ketika ia berhasil menjadi ketua tim futsal sekolahnya. Ia berhasil mengalahkan jajaran nominasi seniornya. Tidak bisa dipungkiri, kemampuan Dirgantara jauh di atas rata-rata. Juga, Dirgantara memiliki wajah tampan.
“Bisa engga sih jalan lihat-lihat?” Dirgantara menaikkan intonasi suaranya karena marah. Ia baru saja ditabrak gadis setinggi bahunya. Sesaat, mereka menjadi pusat perhatian sepanjang lobi masuk. Apalagi gadis itu diam dan sibuk memungut bukunya yang berserakan di lantai. Mengabaikan hal itu, Dirgantara memilih pergi tanpa berniat membantu. Pemuda itu duduk di bangku paling belakang, dekat dengan jendela. Ia membuang wajahnya ke pemandangan di luar. Kebetulan kelasnya ada di lantai dua. Pagi ini, seminggu setelah masa pengenalan sekolah, tapi Dirgantara belum memiliki seorangpun teman. Sementara di sekelilingnya, teman satu kelasnya sibuk berbincang, entah membicarakan apa.
Dalam lamunannya, Dirgantara teringat siapa yang bertanggungjawab atas kedatangannya di sini. Seorang temannya membuat janji sepuluh tahun, atau seperti itu yang ia dengar. Selama sepuluh tahun setelah kelulusan SMP, mereka tidak boleh saling mencari, tidak boleh menghubungi, bahkan tidak boleh melihat sekalipun kebetulan.
Dirgantara yakin tidak mampu melakukan itu kalau jarak mereka hanya puluhan kilometer. Ia memutuskan untuk pindah keluar kota. Meninggalkan semua hal yang pernah menjadi bagian dari masa lalunya, dan menarik diri dari kehidupan. Mungkin itu juga yang menjadikan Dirgantara dianggap sombong. Mereka tidak mengenalnya lebih jauh, tentang apa yang membuatnya seperti ini.
Sebuah tangan membantunya merapihkan buku yang berserakan. “Lo gapapa?” Ia hanya menggeleng, yang berarti jawabannya tidak apa-apa. “Gue Sabita. Nama lo siapa?” Gadis yang masih duduk bersimpuh di tanah itu diberi uluran tangan. Di depannya, Sabita berjongkok dengan senyum seakan memberinya kepercayaan. Melindunginya dari menjadi pusat perhatian sekarang.
“Arunika.” Ia mulai bangkit dibantu Sabita tanpa Arunika minta. Pertemuan singkat itu membawa mereka pada satu hubungan pertemanan. Dan, ternyata Sabita murid pindahan yang kebetulan satu kelas dengan Arunika. Pantas saja Arunika merasa asing dengan Sabita, memang gadis itu baru saja pindah. “Emangnya bisa ya?” “Bisa dong, sekarang semuanya mungkin terjadi.” Mereka terus berbincang selama berjalan ke kelas. Sabita mengira Arunika adalah gadis culun yang biasanya ditindas seperti di film-film. Asumsinya salah kaprah, Arunika adalah sosok sebaliknya. Ia periang, ramah, juga peduli terhadap orang lain. Hanya saja tadi, ia tidak bisa membela dirinya sendiri. Ada satu hal yang membuatnya diam dan tatapannya terpaku pada pemuda itu.
Bel istirahat membuyarkan lamunan Arunika. Arunika terus melamun selama pelajaran tadi. Semua materi yang dijelaskan sekedar lewat, tidak berhenti bahkan membekas. Kepalanya dipenuhi gambaran pemuda tadi. Harus ia akui, pemuda itu tampan, tapi bukan Arunika namanya kalau sekedar fisik saja membuatnya jatuh cinta.
Ada perasaan yang bergejolak dalam hatinya sekarang. Seperti sebuah kebetulan, padahal takdir itu sedang ia alami. Apakah ada sesuatu yang berhasil membuatnya terikat dengan pemuda itu? Kenapa rasanya ia adalah bagian dari pemuda itu? Arunika harus mencari tahu lebih dalam tentang hal ini, sebelum menyita jam tidurnya nanti malam.
“Uh, rasanya engga nyaman kalau terus-terusan pakai gue-lo.” Sabita mengeluh di meja kantin, karena gadis di depannya tidak menggunakan panggilan yang sama. Bukan salah Arunika, Sabita memang bukan berasal dari sini. Ia baru saja pindah dari ibu kota. Yang mana di sana mereka menggunakan gue-lo sebagai panggilan. “Aku-kamu terlalu akrab engga sih?” Arunika menggeleng. “Engga sama sekali, kamu bakal dibilang aneh kalau pake gue-lo di sini.” Kata gue-lo dari mulut Arunika terdengar aneh karena aksennya. Ia tidak benar-benar menikmati semangkuk bakso pesanannya. Pemuda itu benar-benar memporak-porandakan pikirannya yang biasa tenang tanpa beban. “Nanti gue, eh, aku coba biar terbiasa.” Anggukan Arunika tanda persetujuan. Sekarang, gadis di depannya malah menatap ke satu arah di belakangnya. Sabita mengikuti pandangannya, apa yang sedang Arunika perhatikan sejak tadi? Di belakang sana hanya ada kerumunan pemuda. Apakah temannya itu jatuh cinta pandangan pertama? “Nyari siapa?” tanya Sabita.
“Kayaknya ada yang merhatiin lo.” Bisikan itu membuat Dirgantara langsung mengikuti arah pandang Jonathan. Ia beruntung ada satu orang pindahan dari ibu kota, sama sepertinya. Jadi mereka bisa menggunakan dialek khas ibukota. Dirgantara tidak yakin, tapi yang ia lihat pertama kali adalah gadis yang menabraknya tadi pagi. “Aku pernah sekali ketemu dia waktu ngurus berkas pindahan.” Sabita memejamkan mata, berusaha meningat barangkali tidak sengaja tahu nama pemuda itu. Arunika memasang wajah serius, menunggu dan berharap Sabita ingat nama pemuda itu. Itu memberinya satu kemajuan kenapa Arunika seperti memiliki satu ikatan. “Dir-gan-ta-ra.” Sabita ragu, tapi hanya itu yang berhasil ia ingat.
Dirgantara duduk membawa pesanannya ke meja kosong. Setelah menuangkan sambal, ia mulai menjelaskan perlahan sambil mengunyah sarapannya. “Dia cewek yang nabrak gue tadi pagi, mungkin dia mau minta maaf, makanya ngelihatin gue.” Terdengar sombong memang kalimat Dirgantara barusan. “Kamu yakin itu namanya?” Sabita mengangguk. Arunika kembali melanjutkan kegiatan makannya yang kali ini terasa lebih nikmat. Itu juga karena ia sudah tahu nama pemuda yang ia tabrak tadi pagi. Atau haruskah ia meminta maaf? Kalau iya, Arunika bisa melihat name tag pemuda itu. Arunika harus memutuskannya sekarang juga, sebelum pemuda itu pergi.
“Eh, mau kemana?” Sabita hanya memperhatikan kemana Arunika melangkah. Temannya itu malah menghampiri pemuda yang ia berikan namanya barusan. Sabita mendesah kesal, ia tidak memiliki keberanian sama seperti Arunika. Selama ini perasaan sukanya terus ia pendam, takut dengan jawaban yang tidak sesuai harapannya.
“Dia dateng.” Pemberitahuan Jonathan membuat Dirgantara menghentikan kegiatan makannya. Gadis itu berdiri di samping mejanya, tangannya mengulur yang hanya ia tatap sinis sejauh ini. Dirgantara tidak menjabat tangan mungil gadis itu. Ia terpaku pada ciptaan Tuhan kali ini. Gadis itu benar-benar cantik.
Dirgantara memperhatikan penampilan gadis dengan name tag Arunika. Setelah lamunannya buyar, Dirgantara melipat tangannya di depan dada. “Kenapa? Mau minta maaf?” Gadis itu mengangguk dengan senyum simpulnya. “Bisa, tapi lo bayarin makanan gue.” Jauh dari ekspetasinya berharap gadis itu marah, ternyata Arunika mengiyakannya. “Apa semiskin itu, sampai pesenan kalian harus Arunika yang bayar?” Sabita yang tidak terima ikut campur dalam pembicaraan. “Lo siapa? Seenaknya minta orang lain yang bayar.” Arunika menarik-narik tangan Sabita, memintanya untuk tidak ikut campur urusan ini. Ada harga yang harus dibayar untuk memastikan nama pemuda itu. Sementara kejadian tadi pagi bukan sepenuhnya salah Arunika. Sama-sama tidak sengaja, berarti baik-baik saja, kan?
Dirgantara bangkit. Tatapannya tajam ke arah gadis di sebelah Arunika. Sekarang, mereka berempat menjadi pusat perhatian seisi kantin. “Gue juga engga tau lo siapa, jadi urus urusan masing-masing, paham?” Sabita meneguk ludahnya, tatapan itu siap membunuhnya. Ia tidak takut, hanya berusaha menjaga sikapnya sebagai murid pindahan. “Kita pergi aja, yuk!” Ajakan Arunika langsung disetujui Sabita. Sedangkan Dirgantara mendengus kesal. Ia kembali duduk disusul Jonathan. Nafsu makannya hilang seketika. Sekarang pikirannya dipenuhi wajah pemilik nama Arunika. Ia menyukai gadis dengan lesung pipit, dan Arunika memenuhi itu.
Dirgantara tidak akan jatuh cinta semudah itu. Sehebat apapun perasaannya nanti, Dirgantara sedang tidak ingin memiliki satu hubungan serius. Ada seseorang yang pasti akan menentangnya secara tegas. Memaksanya meninggalkan masa remaja yang seharusnya indah, menjadi lebih serius. Menyebalkan memang.
Hubungannya tidak pernah baik dengan ibunya. Ayahnya juga terus berpindah-pindah mengikuti dimana ia akan dinas selanjutnya. Dirgantara ingin sekali tinggal sendiri. Ia sudah cukup dewasa untuk menghadapi masalah seorang diri. Kalau saja ia mampu melakukannya. Sayangnya, ia tidak cukup mampu untuk itu.
“Kenapa sih kamu mau ngelakuin itu? Ada cara lain, Arunika.” Arunika dimarahi habis-habisan oleh teman barunya itu. Sabita merasa keputusan Arunika tadi nanti mengorbankan harga dirinya. Ia tidak habis pikir. Kenapa seorang Arunika yang ramah harus berjuang untuk sekedar dekat dengan Dirgantara yang rumornya dikenal sombong. “Kasih tau aku, kenapa harus dia?” “Aku ngerasa emang dia orangnya.” Sabita menghela napas kasar. Kadang intuisi harus diikuti. Baik untuk sekedar ingin tahu atau memang seperti itu takdirnya. Apapun langkah yang Arunika ambil setelah ini, Sabita tidak bisa berbuat banyak. Tapi ia akan berusaha ada untuk Arunika kalau saja gadis itu butuh bantuannya.
Hari-hari berikutnya, Arunika mulai menunggu kedatangan Dirgantara. Ia akan terus menyapa pemuda itu di lobi. Karena pembawaannya yang ramah dan periang, Arunika mulai dikenal. Mereka memanggil Arunika dengan sebutan gadis periang. Tidak masalah untuk Arunika, selama itu tidak berarti buruk, silakan saja.
Sudah memasuki bulan ketiga Dirgantara terus disapa gadis itu. Iya, gadis yang tidak sengaja menabraknya. Ia hampir saja gila karena tidak bisa menemukan cara agar namanya tidak terus disebut setiap paginya. Sampai ia menyadari ada jalan lain selain lobi ini. Dirgantara mulai berjalan memutar untuk menghindari Arunika.
Satu hari dimana ia berangkat terlambat, lobi sudah sepi. Biasanya, Arunika masih menunggunya di sana. Seminggu terakhir ini ia sengaja datang terlambat, memastikan gadis itu sudah lelah dengan usahanya. Dirgantara bisa bernapas lega walaupun mengorbankan banyak hal. Apapun itu, ia tidak ingin melihat Arunika.
“Lo nyariin siapa?” Pertanyaan itu menghentikan pencarian Dirgantara. Ia tidak berhasil menemukan gadis bernama Arunika di sini. Ia juga menyimpan gengsi tinggi untuk tidak menanyakan di kelas mana Arunika tinggal. Atau seperti itulah mereka menyebutnya. Dirgantara menggeleng, mengalihkan Jonathan dengan mengambil bakso dari mangkok pemuda jangkung itu.
Hari menjelang sore dengan wajah murung Dirgantara untuk pertama kalinya. Ia gagal menemukan Arunika seminggu ini. Apakah sikapnya terlalu berlebihan terhadap Arunika? Bukankah gadis itu hanya ingin tahu tentang satu hal mengenai dirinya? Ada rasa penyesalan dalam tubuh Drigantara sekarang.
Entah kenapa ia harus memiliki perasaan ini sekarang. Dirgantara berjalan lambat menyusuri lobi. Juga baru pertama kalinya ia harus berjalan menundukkan kepala. Ia harap bisa menemukan Arunika. Biar kali ini ia yang meminta maaf atas sikapnya tiga bulan ini. Dan selalu ada hal yang muncul selama gangguan Arunika yang terus menyapanya setiap pagi.
“Selamat sore Dirgantara.” Sapaan itu membuatnya mendongak. Itu Arunika yang selama ini ia cari. Gadis itu berdiri di lobi, memamerkan senyum simpul dengan deretan gigi kecilnya. Dirgantara memperhatikan sekelilingnya, mengusap wajahnya kasar berharap ini bukan halusinasi. Manusia bisa saja berhalusinasi karena sesuatu yang mereka rindukan. Bisa saja itu sedang terjadi sekarang, tapi Dirgantara yakin tidak sedang mengalaminya.
“Tumben murung, biasanya kelihatan biasa tanpa eksperesi, bisa sedih juga ternyata.” Kalimat itu segera disusul kekehan dari Arunika. Juga Dirgantara yang menemukan kembali senyumnya. Gadis itu menolongnya, membantunya keluar dari kenyataan bahwa ia bisa melakukan dua hal sekaligus. Menikmati masa remajanya, juga fokus pada masa depannya. Dirgantara melangkah cepat meraih tangan Arunika. “Ikuti gue!” Gadis itu tidak banyak bicara. Sepertinya Arunika mengikuti kemauannya yang membawa gadis itu ke bubungan atap gedung sekolah. Di ujung sana, matahari berbagi kehangatan. Memeluk mereka yang sepertinya kehabisan kata-kata untuk menutup hari ini.
“Arunika, gue minta maaf kalau sikap gue berlebihan ke lo. Gue engga tau tujuan lo sebenernya nyapa gue tiap pagi. Gue engga tau apa yang lo mau dari gue. Tapi selama tiga bulan itu, ada perasaan yang mulai tumbuh. Gue udah nyari lo buat ngungkapin ini, dan sekarang waktunya. Would you be mine?” Dirgantara baru saja mengungkapkan semuanya. Tiga bulan setelah Arunika berhasil membuat kepalanya dipenuhi oleh gadis itu.
“Iya aku maafin.” Arunika menjawab satu pertanyaan diawal. Dirgantara masih menunggu jawaban selanjutnya dari Arunika. Ia tidak mau perasaannya digantungkan oleh orang yang ia sukai. “Buat pertanyaanmu yang terakhir… aku engga ada maksud kalau kamu sampai naruh perasaan buat aku.” Arunika tertunduk, seiring melemahnya tangan Dirgantara yang menggenggamnya. “Aku cuma mau tau namamu, dan sekarang aku udah tau.” “Cuma itu?” tegaskan Dirgantara. Arunika menggeleng. Sejak awal bukan sekedar untuk tahu nama pemuda di depannya sekarang. Arunika memang merasa ia adalah bagian dari Dirgantara. “Yes, i will.” Arunika segera memeluk tubuh Dirgantara sebelum sempat pemuda itu melihat pipinya yang semakin memerah.
Cerpen Karangan: Muh Faddlan Blog / Facebook: Muhammad Faddlan Restu Setiawan
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 13 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com