Semburat matahari yang terasa hangat masuk ke ruangan yang gelap itu lewat celah jendela. Andini yang sedari tadi melakukan rutinitas paginya menyadari bahwa waktu telah menunjukkan pukul enam pagi. Ia baru saja selesai menyiapkan bekal makan siangnya dan bergegas menggunakan kerudung seragam sekolah berwarna jingga. Pagi itu, seperti biasa ia berangkat ke sekolah bersama ibunya. Tampaknya ada sesuatu yang sedang Andini tunggu-tunggu, raut wajahnya berbeda dari hari-hari biasa.
Andini menatap gedung sekolah dengan tiga lantai itu sembari tersenyum manis. Hampir dua tahun ia tak menginjakkan kakinya di sana sejak pandemi mulai merajalela. Ia begitu rindu dengan suasana di dalam gedung itu. Canda tawa bersama teman-temannya, belajar tentang hal-hal baru yang luar biasa, serta senyuman dan semangat para guru yang memotivasinya untuk selalu kuat dan semangat dalam menuntut ilmu. Rupanya ini yang Andini tunggu-tunggu, sedari tadi jantungnya berdegup kencang, ia tak sabar bertemu kembali dengan teman-teman dan para guru yang ia rindukan.
Gedung dengan tiga lantai itu adalah SMPIT Putri Al-Hanif, sekolah khusus putri yang sangat Andini cintai dan banggakan. Ada begitu banyak kenangan yang telah ia rajut bersama teman-teman dan para gurunya di sana. Suka dan duka yang telah ia lalui selama dua tahun masih terbayang dalam benaknya. Kini Andini berada di ruang kelas yang berbeda, kelas yang akan menjadi akhir dari segala cerita yang akan ia kenang nantinya, dan di dalamnya ada begitu banyak hal yang harus ia hadapi sebelum mengucapkan selamat tinggal kepada adik kelas dan guru-guru di sana.
Andini duduk di bangku paling depan. Ia melihat sekeliling ruang kelasnya yang berada di lantai dua. Sepi dan sunyi. Hanya ada barisan meja dan kursi yang berjajar rapi.
“Hmm, yang lain pada belum datang ya?” gumam Andini. Ia melihat ada tas ransel berwarna abu-abu di atas kursi barisan paling belakang. “Ah, rupanya Zahra sudah datang.” Andini berjalan keluar ruangan kelasnya dan mencari Zahra, teman dekatnya sejak di bangku sekolah dasar. Andini masih ingat betul warna tas teman dekatnya itu. “Sepertinya Zahra sedang bersama teman-teman kelas lain di lantai tiga. Apa aku ke atas saja? Ada yang ingin aku tanyakan soal materi pelajaran minggu kemarin.” Andini berjalan menyusuri anak tangga menuju lantai tiga, ia melihat Zahra bersama teman-teman lainnya dari kejauhan.
“Zahra!” panggil Andini, ia melambaikan tangannya yang sedang memegang buku bersampul batik berwarna cokelat tua. “Oh, hai Andin! Rupanya kamu sudah datang juga?” jawab Zahra. Teman-teman Andini memang lebih sering memanggilnya ‘Andin’ atau ‘Din’. “Iya, ada yang ingin aku tanyakan tentang materi ini.” ucap Andini sembari menunjukkan buku catatannya. “Maaf ya, teman-teman. Aku ambil Zahranya dulu, hehe.” kata Andini kepada teman-teman Zahra. Mereka hanya tersenyum. Zahra tertawa dan pamit pada teman-temannya. Andini dan Zahra turun ke lantai dua menuju ruang kelas mereka sambil berdiskusi mengenai materi yang sebelumnya Andini tanyakan.
“Oh iya, apa kamu sudah mengerjakan tugas ini, Din?” tanya Zahra. Jarinya menunjuk ke arah sebuah kertas yang berisi lis tugas dan penilaian harian kelas mereka. “Hmm, belum. Kalau Zahra gimana?” Andini bertanya balik. “Haha, sama. Aku juga belum menyelesaikan tugas itu. Batas waktunya minggu depan bukan?” tanya Zahra. “Iya, InsyaAllah.” jawab Andini.
“Assalamualaikum!” ucap seseorang masuk ke dalam ruang kelas mereka. “Waalaikumussalam.” jawab Zahra sembari menengok ke arah pintu kelasnya. “Waalaikumussalam. Hai, Put!” Andini melambaikan tangan menyambut kehadiran sahabatnya, Putri. Putri pun tersenyum dan membalas lambaian tangan Andini.
“Put! Kamu sudah selesai mengerjakan tugas ini?” tanya Andini pada Putri yang sedang berjalan menuju bangkunya. “Oh, tugas yang itu? Belum, aku baru menyelesaikan tugas untuk hari ini.” jawab Putri. Ia memilih tempat duduk di sebelah Andini. “Sama, aku juga belum. Hamasaah!” kata Andini. Putri tersenyum dan mulai mengeluarkan buku paketnya untuk jam pelajaran pertama. “Aku ke atas dulu ya, aku lupa tadi ada yang ingin aku sampaikan pada Shafia.” ucap Zahra. “Oh, iya. Terima kasih, Zahra! Aku jadi lebih paham tentang materi ini.” jawab Andini sebelum Zahra berjalan keluar ruangan kelas mereka. “Iya, sama-sama!” ucap Zahra, ia mulai berjalan menuju lantai tiga.
Andini dan Putri pun berbincang-bincang seperti biasa. Mereka saling bertukar cerita dan berdiskusi mengenai beberapa tugas di kelas mereka. Tak terasa, waktu telah menunjukkan pukul enam lewat empat puluh menit pagi. Sebentar lagi pelajaran pertama akan dimulai, ruang kelas Andini pun mulai ramai karena hampir sebagian besar teman satu kelasnya telah datang. Andini memandangi susasana kelas yang ia rindukan sejak lama. Ia tersenyum, pagi itu ia sangat bahagia bisa bertemu, berdiskusi, dan berbincang-bincang kembali secara langsung dengan sahabat dan teman-temannya di sekolah.
Bel berbunyi, semua siswi memasuki ruang kelasnya masing-masing. Begitu juga dengan Andini, pelajaran pertama di kelasnya telah dimulai sejak pukul tujuh pagi tadi. Andini menyimak penjelasan guru dengan saksama, ia mengerjakan tugas yang diberikan dengan sungguh-sungguh, dan berusaha sebaik mungkin.
Selesai pelajaran terakhir, Andini melihat lis tugas di buku catatan kecilnya itu. Rupanya hampir setiap mata pelajaran yang ia lalui hari ini tercatat dalam lis tugas atau pekerjaan rumah (PR) dan beberapa mata pelajaran lainnya juga tercatat dalam lis penilaian harian.
Sebagai sekretaris, Andini selalu membuat dan mengirim pesan mengenai informasi tugas-tugas ataupun penilaian harian di kelasnya. Sebelum merapikan tas untuk pulang ke rumah, Andini menemui guru-gurunya untuk mengonfirmasi materi tugas, batas waktu pengumpulan, ataupun catatan tambahan untuk ditulis di lis yang akan ia bagikan pada teman-temannya di grup kelas.
Andini kembali ke lantai dua. Ia membuka pintu kelasnya perlahan, memandangi ruangan kelas yang kembali sepi dan begitu sunyi. Tak ada seorang pun di sana, hanya tas berwarna merah yang masih berada di atas bangku barisan paling depan. Andini tersenyum, ia berjalan menuju tas merah kesayangannya, merapikan seluruh alat tulisnya, dan bergegas ke lantai satu untuk pulang ke rumah bersama ibu tercintanya.
“Ah, hampir saja lupa mematikan AC!” gumam Andini. Ia mengamati kembali seluruh sudut ruangan kelas yang sepi itu. “Oke, sip. InsyaAllah nggak ada yang ketinggalan kan?” Andini mengecek barang-barangnya. Ia berjalan keluar dan menutup pintu kelasnya. Mengambil sepatu dari rak yang ada di depan kelas dan berjalan menuju lantai satu. Sampai siang itu Andini masih terlihat baik-baik saja, ia juga merasa bahagia karena hari itu berjalan dengan baik baginya.
Sesampainya di rumah, Andini membersihkan diri. Ia mengecek ponselnya dan melihat ada banyak pesan yang masuk. Andini membaca pesan-pesan tersebut satu persatu, mengecek kembali lis tugas sebelumnya, serta membuat lis tugas terbaru, dan membagikannya ke teman-teman yang lain. Ia sadar bahwa ada banyak tugas tambahan yang harus segera diselesaikan. Tapi, besok ada dua mata pelajaran yang akan mengadakan penilaian harian. Bahkan tugas yang harus dikumpulkan siang itu pun Andini belum menyelesaikannya.
Sebenarnya, Andini adalah anak yang disiplin. Ia selalu mengerjakan tugas yang ada dengan segera dan mengumpulkannya sebelum batas waktu yang telah ditentukan. Namun, entah mengapa hari itu semua tugas rasanya menumpuk dalam satu waktu, padahal Andini tak pernah menunda-nunda untuk mengerjakan tugasnya.
Kepala Andini mulai pusing, ia belum menyelesaikan tugasnya hari ini, dan belum mengulang pelajaran untuk dua penilaian harian besok. Andini juga mendapat pesan dari ketua kelasnya untuk mengerjakan tugas sekretaris yang kebetulan mendadak dan harus segera diselesaikan.
“Kenapa semuanya datang bersamaan? Hiks…” kepala Andini semakin berat, ia menangis, kondisi kesehatannya juga memburuk sejak pelajaran terakhir tadi. Tapi ia tetap berusaha tersenyum dan menyembunyikannya dari orang-orang yang ada di sekolah. Andini berjalan menuju kamar ibunya. Ia menceritakan segala hal pada ibunya. “Sabar ya, Sayang. Allah sedang menguji Andini, Nak. InsyaAllah apa yang Andini hadapi hari ini pasti ada hikmahnya. Ingat, Andini nggak boleh memaksakan diri sendiri ya, Nak.” ibunya tersenyum, mengelus kepala Andini dengan lembut, dan memeluknya. “Iya, Bu. Terima kasih, Bu.” Andini memeluk erat tubuh ibunya. Ia sangat bersyukur mempunyai seorang ibu yang sangat pengertian dan luar biasa.
Setelah itu, Andini kembali ke kamar. Ia merasa lebih lega setelah menceritakan kondisi yang sedang ia alami pada ibunya. Ia berwudhu dan berusaha menjernihkan pikirannya agar dapat beraktivitas kembali dengan baik.
“Andini, Allah itu nggak pernah membebani hambanya melainkan sesuai dengan kesanggupan hamba itu sendiri. Artinya InsyaAllah Andini sanggup melakukan dan menyelesaikan ini semua! Allah lebih mengetahui apa yang terbaik untuk Andini. Ayo semangat!” Andini menyemangati dirinya di depan cermin dengan mata tertutup. Ia membuka matanya, menarik napas, dan menghembuskannya perlahan. Andini menatap wajahnya di cermin dan tersenyum.
“Bismillah…” Andini mulai mengerjakan tugas-tugasnya kembali. Ia mendahulukan hal-hal yang harus ia prioritaskan. Hingga akhirnya satu persatu tugas mulai selesai.
Ajaibnya, semua orang seperti mengerti keadaan Andini. Saat ia bertanya kepada guru dan berdiskusi dengan teman pun mereka menyemangati Andini. “Put, untuk nomor 12 caranya seperti ini bukan?” tanya Andini pada Putri. Ia mengirim pesan teks dan foto contoh soal beserta pembahasannya yang mirip dengan tugas mereka. “Iya. InsyaAllah benar yang itu, Din.” jawab Putri. “Okee. Syukron, Puputt!” ketik Andini, ia pun mengirim pesan tersebut. “Yap. Semangaat Andinn, syukron juga buat lis tugasnya! Pasti capek dan lama ngetiknya, sekarang juga kita kan lagi banyak tugas… Pokoknya semangat terus ya, Dinn.” jawab Putri. Andini terharu, padahal ia tak pernah menceritakan kondisinya saat itu kepada siapapun selain ibunya. Andini bersyukur mempunyai sahabat yang baik seperti Putri.
“Alhamdulillah, selesai semua!” Andini berdiri dari tempat duduknya, ia bersyukur dapat mengumpulkan seluruh tugasnya dengan baik dan tepat waktu.
Matahari mulai tenggelam, Andini melihat ke arah jendela kamarnya. Langit di luar begitu indah. Ia tersenyum, hatinya merasa begitu lega. Ia menengok memandangi tas merah kesayangannya. Andini tak sabar bertemu dengan teman-teman dan para gurunya esok hari, ia sangat bersyukur mempunyai keluarga, guru, dan teman-teman yang selalu mendukungnya.
Hari itu ia belajar, bahwa apapun itu tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah, Allah tahu apa yang terbaik untuk hambanya, dan Allah tahu bagaimana kesanggupan hambanya.
Cerpen Karangan: Maryam Mumtaazah Instagram: @mrymtzhaya Nama Pena: Maheera Sophia
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 15 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com