“Vin, ingat enggak, dulu kita pernah bertengkar di tempat itu,” ucap Mas Amri menunjuk sebuah warung kecil berspanduk ‘Warkop Temu Jodo’ yang ada di seberang jalan dari tempat kami berdiri. “Yang gara-gara rebutan gorengan itu ‘kan, Mas?” tanyaku memastikan. Kulihat Mas Amri menganggukkan kepalanya, hal itu sontak membuat tanganku gemas untuk mencubit pipinya yang berlesung di sebelah kanannya.
Aku pun seketika teringat pada kejadian lucu satu tahun yang lalu. Peristiwa yang membuatku percaya, bahwa cinta bisa hadir tiba-tiba. Juga hal yang berhasil membuatku menemukan dia, ia yang sejak dua bulan lalu telah berganti status menjadi suamiku.
“Bah, kopi susu satu, ya,” pintaku pada Pak Ilham yang tak lain adalah pemilik warung kopi langgananku. Aku yang begitu menyukai kopi dan tak suka keramaian lebih memilih untuk melepas penat di warkop seperti ini dibandingkan harus berjalan-jalan mengelilingi mall besar yang ada di tengah kota sana. “Siap, Neng.” Dengan cekatan, pak Ilham meracik kopi pesananku. Usianya yang sudah masuk kepala empat tak menyurutkan semangatnya dalam mencari nafkah untuk keluarga tercinta. “Baru keliatan, Vina. Ke mana aja kamu?” tanya Pak Ilham di sela-sela kesibukannya itu. “Biasa, Bah. Tugas kuliah, kalau enggak dikejar nanti jadi masalah.” Aku tertawa mengingat betapa banyaknya tugas yang perlu kukerjakan beberapa minggu ini. “Oalah, semangat atuh kuliahnya, biar cepat dapat gelar sarjana,” kelakar pak Ilham yang berhasil membuatku lebih tenang malam ini. “Siap, Abah.”
Tak lama, secangkir kopi susu hangat tersaji rapi di depanku. Rasanya, kurang nikmat jika minum kopi tanpa pendamping, hingga akhirnya aku melihat sepotong bakwan goreng yang masih tertinggal di atas nampan biru.
“Eh, itu punya gue, ya! Kenapa jadi lu yang makan?!” kesalku pada seorang pria yang baru saja duduk di bangku sampingku. Pasalnya, ia mengambil gorengan yang hendak kuambil tadi. “Heh! Jelas-jelas gue yang ambil duluan. Ya gue makan, lah,” sanggahnya terlihat tak terima. “Kan gorengan masih banyak, kenapa lu ambil yang itu!” “Ya serah gue, lah. Orang gue penginnya ini, kok. Lu kan juga bisa ambil yang itu.” Dia menunjuk dua buah nampan berisi beberapa macam gorengan yang ada di depannya. “Abah, kopi susu satu, ya,” lanjutnya memesan kopi yang sama sepertiku dan dibalas acungan jempol oleh pak Ilham.
“Gue alergi kedelai,” balasku yang sayangnya hanya tertahan di kerongkongan. “Kenapa ngeliatin? Masih enggak terima gue yang ambil bakwannya duluan?” cecarnya saat melihatku yang tak sengaja menatap dirinya. “Oh, atau jangan-jangan … lu suka sama gue, ya?” Pertanyaan yang meluncur dari mulutnya sontak membuatku tersedak oleh kopi yang baru saja kuminum. “Eh-eh, maaf,” sesalnya sembari menepuk pinggangku pelan. “Jangan ge-er, deh, lu.” Aku yang telanjur kesal menarik tangannya dari pinggangku. “Dan … lu cerewet juga ya jadi cowok.” “Ya, siapa tau, ‘kan,” ucapnya mengedikkan bahu. “Makasih, Bah,” lanjutnya berterima kasih saat pak Ilham memberikan kopi pesanannya.
“Lu tuh … siapa sih sebenarnya?” “Gue? Manusia lah,” ketusnya membuat darahku seketika mendidih. “Mana ada manusia yang ngeselinnya kayak lu. Jangan-jangan lu iblis yang lagi nyamar, ya?” tuduhku menampilkan mimik ketakutan. “Heh, mulutnya! Kalau ngomong dijaga ya.”
“Kalian ini, berantem mulu. Hati-hati berjodoh, lho.” Ucapan pak Ilham menghentikan sejenak percakapanku dengan pria tak jelas di sebelahku ini. “Ih, amit-amit.” Jawaban sama yang spontan terucap, membuat kami saling tatap. “Nah, kan. Abah doain kalian berjodoh, deh.” Tawa pak Ilham mengakhiri perbincangan kita bertiga.
—
“Lucu juga sih kalau dipikir-pikir. Apalagi kalau dibikin cerita, keren tuh. Judulnya, gorengan penyatu cinta, atau … jodohku nangkring di warkop.” Ucapan mas Amri berhasil membuyarkan lamunanku, hingga akhirnya kami tertawa bersama. “Iya juga, sih. Berarti doa Abah waktu itu manjur, ya,” ucapku yang langsung diangguki oleh mas Amri. “Gimana kalau kita ke sana, Mas. Sekalian nostalgia, gitu.” “Boleh, tuh. Ayo,” timpal mas Amri menarik pelan tanganku menuju Warkop Temu Jodo, tempat yang menjadi saksi adanya cinta yang tumbuh di hati kami berdua.
Catatan kaki: Temu: Bertemu Jodo: Jodoh Neng: Panggilan untuk perempuan Abah: Panggilan untuk seorang laki-laki dewasa, biasanya untuk orang yang lebih tua.
Cerpen Karangan: Elin Maissa Blog / Facebook: Elin Maisa Penulis merupakan gadis kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah pada 27 Mei 2004. Lahir di keluarga yang sederhana, tetapi bermimpi menjadi penulis agar bisa mengangkat derajat keluarga. tengah menempuh pendidikan di semester akhir kelas 12. karya lain bisa di cek di: FB: Elin Maisa WP: @elin_maissa27
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 23 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com