Menjadi orang kaya mungkin menjadi impian semua orang, begitupun dengan harapan akan terlahir menjadi anak di keluarga kaya. Di keheningan malam, seringkali Juli berkhayal menjadi salah satu anak beruntung seperti yang ia harapkan di atas becak milik ayahnya. Banyaknya nyamuk yang hinggap bergantian di tubuhnya setiap malam tidak menjadi penghalang. Ayahnya pun sudah enggan menyuruh Juli untuk masuk ke rumah, ia sudah lelah karena sudah bekerja dari pagi hingga sore untuk membanting tulang demi Juli.
Juli gemar mengunggah foto kesehariannya di media sosial. Foto yang ia unggah di sana sangat jauh berbeda dengan kehidupan aslinya. Ia seringkali memposting foto ketika ia sedang pergi ke tempat yang terbilang mahal untuk golongan orang sepertinya sampai teman-temannya mengira jika Juli adalah anak yang terlahir dari keluarga kaya raya. Padahal, ayahnya hanya seorang tukang becak.
Saat itu, Juli sedang asyik melakukan panggilan telepon bersama teman-temannya melalui ponsel. Mereka sedang membahas sepatu keluaran terbaru dari salah satu merek sepatu luar negeri. Harga sepatu itu mahal untuknya, tetapi temannya sudah ada yang memiliki sepatu tersebut. Tak mau kalah, Juli juga berniat untuk membeli sepatu yang sedang mereka bahas dan memberitahu kepada teman-temannya bahwa ia akan memiliki sepatu itu minggu depan. Karena Juli belum bekerja sehingga ia belum memiliki penghasilan, ia tidak tahu harus mendapatkan uang darimana selain meminta uang untuk membeli sepatu kepada ayahnya.
“Yah, Juli boleh minta uang untuk beli sepatu? Sepatu Juli sudah jelek, nih.”
Juli sebenarnya sudah tahu jawaban apa yang akan diucapkan oleh ayahnya. Juli merengek, berharap ayahnya iba dan masih memiliki sedikit tabungan sehingga dapat membeli barang yang tadi ia minta. Ayahnya tidak mau membelikan Juli sepatu, karena kondisi sepatunya masih layak pakai. Ayahnya sempat menawarkan agar sepatunya dibawa ke tukang sol saja untuk memperbaiki bagian sepatunya yang hampir lepas, namun Juli tidak mau. Dengan muka yang tertekuk, Juli kembali ke kamarnya karena ia merasa kesal dan sangat sedih.
Juli mengecek dompet, tas, lemari, hingga kolong kasur. Kamarnya yang tadinya rapih, kini menjadi sedikit berantakan. Bagaimana tidak, ia mengeluarkan semua barang dengan harapan akan menemukan uang yang terselip di sudut-sudut barang di kamarnya. Usahanya cukup membuahkan hasil. Akan tetapi, uang yang ia temukan hanya sejumlah dua ratus ribu rupiah. Dengan nominal yang hanya segitu, ia tidak mungkin bisa membeli sepatu keinginannya, yang harganya satu juta rupiah.
“Apa aku beli sepatu kw saja?” Ide itu tiba-tiba terbesit di pikirannya. Itu adalah satu-satunya cara agar Juli bisa menunjukkan kepada teman-temannya jika ia mampu membeli sepatu tersebut dan dapat menepati kata-katanya yang akan memiliki sepatu itu minggu depan.
Juli segera mengambil ponselnya untuk membuka aplikasi belanja dan mencari barang yang semirip mungkin dengan aslinya. Tanpa membutuhkan waktu lama, ia dapat langsung menemukannya dan langsung memesan barang tersebut. Barang seharga seratus enam puluh sembilan ribu rupiah itu akan ia bayar ketika barang itu sampai dan barang itu akan datang paling lama dalam waktu tiga hari.
Keesokan harinya, Juli masih marah dengan ayahnya. Ia sama sekali tidak berbicara dengan ayahnya. Saat ayahnya pergi untuk bekerja hari ini, Juli tidak bersalaman, tidak seperti yang ia dan anak-anak lain seharusnya lakukan ketika melihat orangtuanya pergi bekerja. Sikapnya yang seperti itu memang sudah menjadi kebiasaan apabila ayahnya tidak mau menuruti keinginannya.
Di hari yang sama, teman Juli mengajaknya untuk makan sate di pinggir kota. Juli ingin menolak ajakan temannya karena ia tidak mau memakai uang yang seharusnya digunakan untuk membayar sepatu yang telah ia pesan untuk membeli makanan. Tapi di sisi lain, ia juga ingin makan bersama temannya.
“Aku punya dua ratus ribu. Harga sepatu itu seratus enam puluh sembilan ribu. Oke, aku masih punya sisa uang tiga puluh satu ribu,” katanya dalam hati.
Akhirnya, Juli menerima ajakan temannya itu. Mereka berdua segera pergi menuju tempat makan dengan mengendarai motor. Temannya itu seorang pria. Namanya Amru. Rupanya, Amru memang sedang mendekati Juli. Juli pun mneyadari hal itu. Kedekatan antara mereka berdua sebagai teman sudah lama, tetapi jika sebagai gebetan, hal itu belum lama terjadi.
Selama di motor, mereka memperbincangkan banyak hal. Mulai dari lagu favorit, makanan, hingga membahas tempat yang mereka ingin kunjungi secara masing-masing. Saat membahas makanan, raut muka Juli terlihat seperti berbohong. Amru sudah tahu betul bagaimana sifat Juli yang tidak ingin terlihat miskin karena Juli takut teman-teman akan menjauhinya. Oleh karena itu, Amru harus benar-benar memastikan hal itu tidak terjadi kepada Juli.
“Totalnya jadi berapa, Bang?” “Tujuh puluh ribu, Mas.”
Mereka berdua telah selesai makan. Juli tidak ingin jika makanannya dibayari oleh Amru karena ia merasa tidak enak kepada Amru. Amru menolak uang yang Juli sodorkan kepadanya.
“Kan, gue yang ajak makan. Jadi, biar gue yang bayar.”
Dua hari telah berlalu. Di sore hari, terdengar suara pria berjaket jingga berdiri di depan rumah Juli membawa sebuah kotak persegi panjang dilapisi plastik hitam. Juli segera menyiapkan uang. Sepatunya telah datang. Sepatunya tidak buruk. Tetapi, karena barang yang dibelinya bukan produk asli, Juli tidak merasa begitu senang ketika membuka paketnya yang baru datang itu.
Juli pun memakai sepatu yang baru saja ia beli untuk dipamerkan ke teman-temannya. Teman-temannya banyak yang memujinya. Banyak pertanyaan yang ditujukan untuknya mengenai sepatu yang ia kenakan. Juli tidak memberikan respon. Ia hanya tersenyum lebar dan segera menuju ke kantin. Ia takut jika ada yang menyadari bahwa barang yang ia beli adalah sepatu kw.
Saat di kantin, ketika Juli ingin memesan makanan, ia menemukan sebuah dompet berwarna coklat. Ia membuka dompet tersebut. Dalam dompet itu, tidak terdapat apa-apa selain sepuluh lembar uang seratus ribu rupiah. Karena pemilik dompet tersebut tidak diketahui, Juli memutuskan untuk mengambil dompet tersebut. Juli tidak berniat untuk mencuri, ia takut jika uang tersebut jatuh ke tangan orang yang salah.
“Harus kuapakan dompet ini? Ya sudah, biar aku bawa saja.”
Sesampainya di rumah, ruang obrolan di media sosial kelas sedang sibuk membahas sepatu yang ia kenakan. Ada rumor yang mengatakan jika Juli mengenakan sepatu kw. Mendengar kabar ini, Juli benar-benar takut. Dilihatnya dompet yang baru saja ia temukan, Juli berencana untuk membeli sepatu yang sama menggunakan uang di dalam dompet itu. Lagipula, pemilik dompet itu juga tidak diketahui. Juli telah membulatkan niatnya. Ia pun membeli sepatu asli menggunakan uang di dompet itu. Ia tidak ingin rumor itu semakin menyebar, karena hal itu akan mengungkap identitas yang selama ini telah ia sembunyikan di depan teman-temannya. Tidak memiliki teman adalah rasa takut terbesarnya.
Juli mengenakan sepatu itu lagi. Tetapi, sekarang ia sudah tidak mengenakan sepatu kw miliknya itu. Sayang sekali, tidak ada satu pun yang menotis dirinya. Kelas sedang ramai memperbincangkan dompet yang hilang. Dompet itu milik bendahara kelas. Di situlah tempat bendahara menyimpan uang. Uangnya senilai satu juta rupiah. Bendahara kelas beserta anak-anak akan mencari dompet itu di jam istirahat. Karena nominal uang dan ciri dompetnya sangat persis, Juli menjadi sangat yakin jika dompet coklat yang ia temukan kemarin itu adalah dompet milik bendahara kelasnya.
Kaki Juli gemetar. Badannya pucat. Sungguh, ia berniat akan mengganti uang yang telah ia gunakan. Ayahnya mengajarkannya untuk selalu bersikap jujur. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Ia tetap bersalah. Ia tidak berani mengaku kepada teman-teman jika ia telah menemukan dompet dan telah menghabiskan uang milik kelas. Jadi, ia berpura-pura tidak tahu dan ikut mencari dompet agar tidak ada yang mencurigainya.
Lima jam telah berlalu. Dompet tak kunjung ditemukan. Hari pun juga sudah malam. Tapi, kampus masih cukup ramai oleh mahasiswa yang menghabiskan waktunya untuk kerja kelompok, organisasi, atau sekedar nongkrong bersama teman di kantin. Akan makin sulit untuk melakukan pencarian ketika kantin sedang ramai. Akhirnya, salah satu anak pun mengusulkan kami untuk mengecek CCTV. Aku pasrah, tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain menyiapkan mental karena sebentar lagi aku akan terciduk.
Saat melakukan pemeriksaan di CCTV, memang ada seorang perempuan berambut panjang mengenakan kemeja kotak-kotak yang mengambil dompet tersebut. Tapi, karena CCTV yang letaknya membelakangi pelaku, muka Juli jadi tidak terlihat. Namun, pakaian yang ia kenakan sudah membuktikan semuanya. Kini, semua orang di tempat itu tahu jika Juli yang telah mengambil dompet itu. Setelah semuanya terbukti, Juli pun menjelaskan kronologi mengenai uang yang ada di dompet itu. Ketakutannya menjadi kenyataan. Satu per satu temannya menjauhinya, begitu juga Amru. Ini semua adalah akibat dari sikap ketidakjujurannya. Yang tetap berada di sisinya sekarang hanya ayahnya. Meski ayahnya harus mengganti uang yang telah dipakai anaknya untuk membeli sepatu. Juli merasa sangat menyesal dan berjanji agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Cerpen Karangan: Rahmah Yulia
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 23 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com