Beberapa siswa berdiri terpancang di ambang daun pintu kelas 8-A. Putri, Najmi dan Jaka. Sorot mata mereka memadam. Tak lepas mengurung tubuh Gempi hendak mengitari 50 putaran lapangan sekolah. Dia baru saja menerima hukuman dari seorang guru. Pak Saipul berdiri di tepi lapangan mengawasi proses sebuah hukuman yang tak lazim. Bagaimana tidak, setiap siwa telat 1 menit sama halnya dengan hukuman 50 kali putaran. Jika telat 5 menit. Kamu harus membayarnya dengan 250 putaran. Pastinya, belulang kakimu ngilu bukan?
“TING!!! TING!!! TING!!!” Suara dentingan itu, akibat ulah Pak Saipul memukuli tiang bendera dengan gagang sapu ijuk. Suara itu juga sebagai tanda kalau Gempi harus memulai hukumannya. Tubuh Gempi melesat seperti misil yang diluncurkan mengitari lapangan sekolah.
“Pi’i, jika kau bisa menjawab pertanyaan saya. Temanmu akan saya bebaskan hukumannya” Kata Saipul seraya merentangkan telunjuknya ke lapangan sekolah. Di sana sosok seorang Gempi tengah berlarian, Napasnya tersengal-sengal. Payah. Akibat pompaan udara di jatungnya begitu cepat.
Mendengar namanya dipanggil. Pi’i yang duduk di bangku pojok ruangan kelas. Ia menegakkan posisi duduknya. Kedua bola matanya menerobos jendela kaca. Tatapan Pi’i menangkap raga Gempi tengah kelelahan sangat. Dia tahu, kalau Gempi mengharapkan kedatangannya.
Sebelum Pi’i merapatkan barisan untuk menolong, dia menggigit kue jalabia makanan khas orang betawi. Bentukan kue itu mirip dengan kue cincin, namun memiliki tekstur seperti kue gamblong. ENAAAK!
Dalam suasana tegang kian mencekam. Pi’i berjalan melenggang mendekati daun pintu. Di sana ia melihat sosok gadis berparas biasa-biasa saja tak begitu cantik. Rambut hitamnya tergerai sebatas pinggul. Terkadang mahkota berwana hitam yang bercokol di atas kepalanya berbentuk pola kepang. Nama panggil perempuan itu Najmi. Nama yang sederhana, tapi terasa megah. Menyimpan perasaan rasa cinta adalah keahlianya yang paling unggul.
Kedua matanya menatap mesra membelai raga Pii tengah menghampiri dirinya. Najmi merasakan degup jantung berdetak semkain cepat. Ia melawan gelombang cinta yang akan mengontrol gelagatnya.
“Abisin kue jalabia punyamu, Nanti diomelin emak nangis.” Najmi mengejeknya, dan Pii tahu itu. Pii tidak membalasnya dengan ejekan melainkan, sebuah tindakan yang akan membuat Najmi terkesima. “Kue ini buatmu aja. Kamu bantu abisin ya, kamu juga enggak mau kan, kalau aku diomelin emak.” Selonjor lengan pii mengapit sepotong kue jalabia mengudara ia di hadapan Najmi. Najmi menerima sisaan kue jalabia yang bekas Pii gigit. Kemudian Najmi menyantapnya. Hati kecilnya terdengar bising dengan jeritan histeris. “Ya, Tuhan, aku merasakan kue bekas gigitan Pii. Ini hadiah terindah yang pernah aku terima.” Pii bergegas mendesak himpitan siswa tengah bergerombol di daun pintu. Kemudian dia berdiri tegap membelakangi kumpulan siswa yang semakin ramai.
“Baik. Apa pertanyaan bapak?” Dengan santai Pi’i menerima tantangan tersebut. “Berapa jumlah bulu yang ada di sapu ijuk ini?” Dia melempar sapu ijuk itu, jatuh di depan Pii. Kemudian Pii meraih selonjor kayu yang dihiasi bulu-bulu hitam lebat menjulang gagah. Bagaimana mungkin Pii bisa menjawab pertanyaan Pak Saipul yang tak lazim. Dia tertegun sesaat, kepalanya berkerja keras mengais sebuah solusi. Dia tidak terlalu fokus dengan sebuah pertanyaan, melainkan mencari cara untuk mempermalukan guru yang memliki icon kumis seperti semak belukar. “Saya tahu, jumlah bulu sapu ijuk ini, Pak” Pii Mendekap solusi yang sangat cemerlang tak akan dia lepas sampai masalahnya tuntas. “Berapa jumlahnya?” Saipul berjalan mendekati pemuda social genius. Kemudian langkahnya terhenti lagi. “Jumlahnya sama dengan kumis bapak.” Jawab Pi’i dengan ide konyolnya. Membawa tanda tanya besar ke atas kepala Saipul. “Gimana caranya kamu menghitung jumlahnya?” Pertanyaan Saipul seperti senapan mesin memuntahkan ribuan proyektil menembak secara beruntun. “Caranya gampang, Bapak mencabut sehelai bulu ijuk satu persatu, sedangkan saya mencabut sehelai bulu kumis bapak satu persatu. Kalau bapak berasa sakit, dan itu cukup. Itulah jumlah bulu sapu ijuk ini, Pak.” Pi’i memutar balikan pertanyaan taklazim dengan jawabnya yang pastinya taklazim juga. Dengan cara itu Pi’i berhasil membuat pak Saipul mati kutu. Malu. Bisa dibayangankan betapa sakitnya jika bulu kumisnya di cabut satu persatu. “GEMPI. CEPAT KAU MASUK KE DALAM KELAS!!!” Teriak Saipul dengan nada gusar. Ia mengaku kalah, tetapi belum saatnya dia menyerah. Keegoisannya dalam hal mengajar akan selalu dia junjung tinggi. Alih-alih menjadikan murid berprestasi, justru suatu saat nanti akan banyak murid yang depresi.
Sore itu, gang Argabel diguyur bias cahaya senja menyala jingga di balik awan berarak. Memukau mata. Kelima pemuda tanggung yang masih duduk di bangku kelas 8-A. Mereka jalan beriring memasuki aera gang Argabel. Gempi, Jaka, Najmi, Putri dan Pi’i. Langkah kaki mereka tak jemu mengarah ke suatu tempat. Di mana tempat itu adalah tempat favorit mereka untuk mengais sebuah solusi. Langkah kaki mereka berayun dengan seirama bait kalimat yang keluar dari kerongkongan Gempi.
“Aku juga pernah telat datang ke sekolah. Padahal cuma telat 2 menit tapi, Pak Saipul langsung menampar pipiku berulang kali.” Gempi meringis sembari mengusap-usap pipinya. “Anehnya kalau dia yang telat ke sekolah. Dan dia ga masalah dengan itu”, Pikiran Najmi membuncah dalam perumpaan di tengah percakapan kemalangan. “Coba banyangin. Gara-gara dia, aku enggak naik kelas padahal aku, kan, Pinter. Ya kan, Mi, Gem.” kedua nama yang diserukan dalam tutur kalimat Jaka, mereka serempak menganggukkan kepalanya. “Wajar kalau ada siswa yang nggak naik kelas. Bagaimana tidak, standar nilai KKM Bahasa indonesia aja (75), tetapi kita dituntut memperoleh nilai (85). Pak Saipul emang nggak ada niat buat ngajarin kita.” Sambar Najmi lagi. Dalam hati kecil dia berharap kalau keluhannya adalah asupan untuk sel otak Pii. Najmi tahu, Pi’i punya banyak akal untuk mengasih sebuah solusi jitu. “Udah gitu kalau ngajar ngomongnya cepat. Gimana kita bisa paham kalau cara ngajarnya seperti itu. Aku khawatir suatu saat nanti bakal ada orang yang depresi kalau keadaan kayak gini dibiarin.” Sergah Putri tak kalah berang. Ia berasa ulu hatinya seperti tersulut api kecil, tetapi sangat buas. Terbakar!
“STOP!!! STOOOP!!!” Pii yang berada di tengah barisan. Tiba-tiba merentangkan telngannya seperti portal menghalau mereka secara mendadak langkah Kecil mereka terhenti. Rupanya ada suatu yang menarik perhatian Pi’i. Di seberang matanya nampak seseorang bocah mungil mencoba meredam gejolak rasa ketakutan dalam dekapan jemari sang ibu. Jarak bocah itu hanya lima kaki dari posisi Pi’i berdiri.
Tanpa aba-aba, tanpa komando Pii mulai beranjak mendekati sang bocah, semakin dekat, semakin ketat. “Assalamualaikum. Bu”, Pii menyapanya dengan santun sembari meraih lengan sang ibu, lalu Ia mencium punggung tangannya. “Walaikumasalam, Adik siapa ya?” Terlihat paras ibu paruh baya terheran-heran dengan hadirnya Pii secara tiba-tiba. “Aku Pii, Kalau aku boleh tahu, anak ibu kenapa?” Pii to the point. “Saya juga bingung. Masalahnya anak saya gak mau kalau bermain dengan teman-temannya. Yang saya takutkan kelak, anak saya minim bersosialisasi dengan sesama.” Pii mengangguk pelan. Ia paham yang dialami sang bocah.
Lantas Pii beringsut sedikit. Tubuhnya membungkuk, tatapannya mendarat ke arah sang bocah. “kamu tidak kenalan sama mereka?” Pii merentangkan telunjuknya ke sisi gang. Di sana beberapa bocah menantinya untuk bergabung dalam permain taplak gunung. “Aku takut Kak, orang di sini nakal-nakal” “kamu kan, belum kenal meraka.” “Pokoknya aku takut.”
“Aku punya cara biar kamu berani.” Pii merenggangkan temali kalungnya. Entah apa yang akan ia lakukan dengan kalung itu, ah … pemuda social Genius. Mampu manipulasi rasa takut di jiwa seorang menjadi pemberani. “Aku punya kalung ajaib.” Pii mengangkat kalung itu setinggi bola mata sang bocah. “Kalung ajaib!” Ia senyum semringah. Terkesima. Sembari menatap temali kalung terkatung-katung di udara. Kalung itu adalah objek transisinya. Memiliki kekuatan emosional sendiri bagi sang bocah. Ada efek menenangkan ketika ia memakainya. Apa lagi merasa gelisah, terancam dan ketakutan. “Benar, Aku beri nama kalung persahabatan. Kalau pake kalung ini, jangan lupa tersenyum.” Kemudian Pii memakaikan temali kalung di batang leher sang bocah. Kumpulan gelombang energi percaya diri. Pecah. Tercerai-berai menyebar keseluruh sel-sel tubuhnya. Merambat ke dua batang kakinya. Hingga ia melangkah maju menjadi satu dengan teman sepermainan. Tiada hal yang indah di dunia ini, selain senyum ketulusan dari sang ibu.
Selepas dari itu, langkah kaki mereka terhenti di sebuah tempat singgahan sementara untuk mengais sebongkah solusi. Tempat itu adalah… Tempat di mana bisa ia temukan diri sendiri juga kehilangan diri sendiri. Keindahan di mana bisa ia temukan cinta juga kehilangan cinta. Keelokan di mana bisa ia temukan senyum dan tawa, juga air mata. Tempat itu adalah sebuah saung, posisinya berada pertengahan taman. Dindingnya sengaja di bangun dengan bebatuan agar tetap terlihat kokoh. Saung tersebut adalah tempat bermain sejak mereka kecil. Lain halnya dengan Putri. Gadis yang diselubungi kain hijab ini baru dua bulan pindah dari kota dan melulai hidupnya di desa Argabel.
Najmi, Jaka, Gempi. Duduk bersampingan di pinggir saung, sedangkan Putri dan Pii berdiri terpancang tatapan mereka saling terpaut dalam penjiwaan yang sama tak berbeda seperti dua hati tengah didekami Dewa Aphrodite. Sang Penebar Cinta dari Yunani. Di lain sisi, Najmi yang pandai menyimpan perasaannya dalam-dalam. Ia tertunduk lesu menahan gempuran hebat yang melanda di hatinya. Ia merelakan cintanya dimiliki orang lain.
“Kalian punya cara yang cerdik untuk menyingkirkan Pak Saipul dari sekolah?” Pertanyaan itu terlontar dari bibir tipis Putri sedaritadi Pii memandang lekung bibir bak bulan sabit yang terbit di siang hari. Terlihat dekat, namun terasa jauh. Dia tak sanggup mengapainya. Seandainya jika Pii memiliki senyum itu, akan selalu dia simpan didalam hatinya. Sampai ajal menjemputnya. lolongan pengecut menguar di tepi saung memecahkan lamunan indah Pii. “kita mah enggak berani kalau ngelawan guru. Ya, Mi, Gem.” Sergah Jaka. Dan disusul anggukan pelan dengan serempak, namun tidak dengan Pi’i. Didalam sel-sel otaknya merunut solusi. “kalau kalian bisa mengusir Pak Saipul dari sekolah, Aku beri kalian hadiah.” Mereka tertegun, tapi Putri tahu, Pi’i bukan pemuda biasa, punya banyak akal untuk memecahkan masalah yang sulit dengan cara sederhana. “Oke, hadiahnya apa?” tanya Pi’i setelah ia berhasil memeluk solusi di dalam pikirannya. “Apa pun yang kamu mau.” Tegas Putri.
“Kalau aku minta hatimu boleh?” Mendengar pernyataan itu, tubuh gadis yang diselubungi kain hijab mendadak kaku. Hatinya terasa diremas-remas dengan bentuk uraian kata. Kali pertama, Dia merasakan getaran cinta yang luar biasa. “STOOOP! Kita lagi cari solusi. Bukan ngomongin sebuah perasaan.” Volume suara Najmi dalam satuan disable naik 3 garis. Alih-alih membenci asumsi yang di luar konteks. Padahal Najmi berupaya mencegah tunas cinta bersemi di dalam perkarangan hati mereka. Najmi sungguhan tak sanggup melawan nelangsa setajam sembilu. Ia tidak sudi dikelabui obsesi untuk mengejar cinta yang diam. Tak beranjak, tapi begitu berasa sangat melelahkan hatinya. Ia tetap dengan rencana awal membiarkan belahan jiwanya dimiliki orang lain. Memang teramat berisiko jika cinta disimpan dalam hati.
Putri maju dua langkah tepat berada di hadapan Pi’i, sinar mata Putri mendalam saat menatapnya seolah ia menyerahkan hatinya untuk Pii miliki dengan utuh. Lalu ia menandaskan ucapannya. “Oke, deal. Apa ide kamu?” Putri penasaran dibuatnya. “Kamu liat saja nanti.” Kata Pi’i dengan santai sembari menatap paras cantik itu. Namun alangkah kagetnya saat Pi’i melihat darah kental menyeruak dari hidung Putri. “AAAAKKKKKK!!!” Erangan Putri mencuri perhatian beberapa pasang mata melabuhkan pandangan ke arahnya. Ia meringis sembari mencengkam kepalanya kuat-kuat, dan ia mencoba mempertahankan keseimbangan agar tidak jatuh, tetapi apa daya, tak bertenaga. ia tengah diserang rasa lemas merambat kedua lututnya. Dengan sigap Pi’i meraih tubuh Putri pada saat ia hendak jatuh ke tanah. Perasaan mereka segawat menyaksikan tragedi yang Putri alami. Lantas Pi’i membawa tubuh sang gadis dalam kondisi tak sadarkan diri ke dalam saung, dan dia membaringkannya di sana.
Cerpen Karangan: Faisal Fajri
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 24 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com