Sang Surya perlahan menampakkan diri. Keluar dari tempat persembunyian, dibalik putihnya awan. Sinarnya masih malu untuk ditunjukkan. Membuat Insan disekitar tersenyum lebar.
“Selamat pagi dunia,” mata cantik itu melengkung indah sembari menunjukkan senyum manis di bibirnya. Kakinya perlahan bergerak untuk dilangkahkan. Entah kemana tujuannya dipagi hari yang hangat ini.
Srekk Tangannya terarah untuk menjeremba beberapa sampah plastik yang tampak kotor dan basah dibawahnya. Kepalanya menggeleng pelan menatap sekitar, “Sampah plastik,” kata Jeno setelah membuang sampah plastik itu kedalam tong sampah yang terdekat.
Kenapa orang-orang sangat malas hanya untuk membuang sampah ditempatnya? Sesulit itu kah? “Padahal ada tong sampah yang terpampang jelas disini, apa mata mereka tidak bisa melihat?” bibirnya berdecak sebal, matanya menyipit menatap sesuatu yang berserakan disekitar tong sampah itu, ada sampah berserakan disana.
“Astaga! Kenapa masih ada yang berserakan disini? Waktu mereka tidak akan terpotong hanya untuk membuang sampah didalam tempatnya.” Direndahkannya badan tinggi itu, lalu tersenyum singkat. Tangannya kembali terulur untuk membersihkan sampah yang berserakan didepannya.
Tanpa sadar sudut bibirnya terangkat melihat lingkungan sekitarnya terlihat bersih tanpa sampah yang berserakan. Lengannya digerakkan untuk mengusap peluh yang mulai menetes di pelipis sendiri. Sedikit melelahkan, namun perlakuan kecil seperti ini akan membuat alam sekitar terjaga dengan elok.
Kakinya berjalan lebih lambat. Matanya menatap sekitarnya dengan binar. Terpaan angin yang bersapaan langsung dengan kulitnya menambah sensasi sejuk dalam dirinya. Hatinya perlahan diselimuti dengan perasaan hangat melihat orang-orang didekatnya tersenyum menyambutnya.
Senyum dibalas senyum. Jeno sangat senang memasuki kawasan ini. Orang-orangnya hangat dan ramah. Namun bukan hanya itu saja yang membuat Jeno kagum.
“Sudah banyak disini yang menggunakan tas belanja sendiri, bukan plastik, lingkungannya juga terlihat segar dan asri. Aku senang melihatnya,” Jeno berucap dengan senyum lebar yang masih melekat di wajah tampannya. “Bukan hanya itu, bahkan di depan rumah mereka banyak tanaman yang ditempatkan di dalam pot dari daur ulang botol plastik. Hiasan rumah dari plastik, Tas belanja juga ada yang dibuat dari sampah plastik, Menarik bukan?”
Jeno sedikit terkejut ketika suara indah itu menggelitik tiba-tiba gendang telinganya. Kepalanya tanpa disuruh pun menoleh kearah orang yang baru saja ikut mengeluarkan suaranya mengagumi alam yang mereka dilihat.
“Sudah banyak masyarakat yang mulai sadar pentingnya mengurangi penggunaan plastik dalam kehidupan sehari-hari.” Wajah rupawannya mengangguk mantap. Bibirnya kembali tersenyum menatap kagum lelaki disampingnya. “Aku Renjun. Jangan menatapku terlalu lama, kau bisa jatuh hati nanti” kalimat yang terlontar dari lisan Renjun membuat keduanya terkekeh pelan.
Mereka tidak jauh berbeda, kedua pemuda yang peduli dengan lingkungan sekitar. Maka tak heran jika keduanya bisa langsung seakrab ini walaupun dalam pertemuan pertama.
“Berhenti!” Renjun segera berlari setelah meneriaki seorang gadis disana. Tatapannya dilembutkan agar lawan bicaranya nanti merasa nyaman. “Maaf sebelumnya, boleh tau apa yang kamu akan lakukan?” Renjun bertanya dengan lembut. Namun tidak dengan sorot matanya, sangat jelas jika dia terlihat panik dan was-was disana. Gadis berambut pirang itu berdecak pelan, “Membuang sampah ini, apalagi?” jawabnya dengan nada yang kentara sebalnya. Dua kantong plastik berukuran sedang berisi sampah itu masih digenggamnya erat. “Hei.. Kau akan membuangnya di sungai ini?” kali ini Jeno turut serta membuka suara, matanya menyipit menatapnya tak suka. “Iya, memang kenapa? Aku juga membuang dua kantong saja, tidak banyak,” gadis itu masih berani menjawab dengan nada santai “Sudah berapa orang yang mengatakan seperti itu? Seribu orang? Atau lebih?” “Sedikit sedikit lama lama menjadi bukit. Perbuatan kamu sederhana namun membawa bencana.” Perkataan tegas yang terlontar dari kedua belah bibir keduanya membuat kesadaran gadis itu menatapnya dengan tatapan takut.
“Ck. Aku hanya membuangnya disini, tidak akan menjadi bencana! Ini wajar, jangan berlebihan.” Jeno menggelengkan kepalanya mendengar elakan tersebut, “Benar, kau membuangnya disini, lalu sampahnya akan bergerak mengikuti aliran air sungai ini sampai ke laut, dan membawa dampak buruk disana, apa itu disebut wajar? Itu baru kau yang membuang, bagaimana jika sudah satu juta orang yang melakukannya?” “Pedulikan lingkungan kita, semua berawal dari kita, kalau bukan kita siapa lagi?” senyum tulus terukir di wajah manis Renjun ketika dia mengucapkan kalimat tersebut. “Jadikan ini sebuah pelajaran, jangan diulangi kembali, kurangi penggunaan plastik dan jangan buang sampah disembarang tempat.” Gadis itu mengangguk perlahan lalu tersenyum, “Terimakasih, aku akan mencoba melakukannya, demi kita dan lingkungan kita.” “Baguslah, pergilah buang sampah ini ditempatnya, jangan buang ke sungai lagi, oke?” perkataan Renjun dibalas anggukan olehnya.
Keduanya menatap kepergian si gadis dengan perasaan senang, mereka berhasil membuka mata orang untuk lebih peduli kepada lingkungan sekitar.
Sudut bibirnya terangkat untuk terkekeh pelan lalu menepuk pundak yang lebih tinggi, “Jalan lagi, aku tadi melihat ada beberapa anak kecil membuat mainan.” “Nah, itu mereka!”
Mereka berjalan beriringan menuju arah yang ditunjuk oleh Renjun tadi. Disana sudah terlihat beberapa anak yang sedang berbincang dengan tangan yang masih fokus bergerak merangkai sesuatu. Bohong jika keduanya tidak tertarik melihat kegiatan di bawah pohon rindang itu.
“Hai!” “Hai, kak!” yang disana tersenyum membalas sapaan mereka. Mereka dipersilahkan untuk duduk diantara mereka. “Kalian sedang buat apa?” tanya Renjun dengan antusias. Binar matanya menatap mereka dengan kagum, deretan gigi rapihnya terlihat sampai membuat pria didepannya terkekeh gemas. “Aku dan Jisung sedang membuat bunga dari sedotan plastik, cantik bukan?” Chenle tersenyum riang menunjukkan hasil karyanya yang hampir jadi. Dia membuat bunga dari sedotan plastik yang sudah dibentuk, terlihat sangat unik sampai Renjun dan Jeno memberikan tepuk tangan pada mereka.
“Kak, aku juga membuat tiga tas belanja dari bungkus kopi! Lihat ini!” Ayden tak mau kalah, dirinya berdiri dari duduk lalu menunjukkan tiga tas yang terbuat dari plastik bungkus kopi. Jeno mengambil satu lalu menatapnya kagum, ini terlihat rumit namun mereka bisa membuatnya jadi lebih baik. “Itu buatan aku dan jaemin juga! Ayden seenaknya saja bilang kalau semuanya itu buatannya, menyebalkan!” Karina mengerucutkan bibirnya lucu. Jisung melirik Mark disampingnya, tangannya dengan jahil mengambil satu hasil karya miliknya, “Apa yang kamu buat? Ini terlihat lucu!” Tangan Mark dengan cepat merebut kembali karya miliknya yang ada ditangan Jisung, “Ini sampah botol plastik, aku mengubahnya menjadi tempat pensil atau pot bunga dengan memotongnya menjadi seperti gelas lalu aku hias dan mewarnainya,” Mark menampakkan senyum lebarnya setelah menjelaskan hasil karya miliknya.
Semua tertuju pada botol yang sudah berbentuk semacam gelas dengan warna dan hiasan yang tampak lucu. Mark tidak hanya membuat satu atau dua biji, melainkan sepuluh.
“Wah keren! Ini lebih mudah namun sangat bermanfaat!” “Kalian hebat bisa memanfaatkan kembali sampah-sampah plastik ini. Selain bisa diubah menjadi barang yang bermanfaat juga menciptakan lingkungan bersih dari sampah plastik yang berserakan,” Jeno berucap dengan senyum yang terulas pada wajah rupawannya. Kepala Renjun mengangguk tanda setuju dengan perkataan Jeno. “Terimakasih sudah menyayangi dan peduli dengan lingkungan. Sampah di bumi kita sudah menumpuk, terus sayangi alam kita ya!” tutur Renjun dengan tatapan teduhnya. Karina membalas tatapan Renjun, “Tak perlu berterimakasih, kak. Itu sudah kewajiban kita untuk selalu menjaga alam dan lingkungan sekitar. Semua berawal dari kita. Kalau bukan kita, siapa lagi?”
Semuanya setuju dengan Karina. Lantas kekehan ringanlah yang keluar dari kedua sudut bibir mereka.
“Selain membuat sampah plastik menjadi barang yang lebih berguna, masih banyak lagi upaya kecil yang dapat kita lakukan untuk mengurangi sampah plastik. Ada yang mau menyebutkan beberapa contohnya tidak?” setelah Renjun bersuara, kericuhan kembali terdengar. Anak-anak disana dengan senang menyebutkan jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan oleh Renjun. “Ada banyak. Membuang sampah pada tempatnya, mengganti kantong plastik dengan tas belanja sendiri, dan juga bunda sering membeli barang dengan kemasan yang lebih besar agar bisa dipakai lama dan tidak membuat banyak sampah,” ucap Jisung dengan senang. Chenle mengangguk lalu bersuara, “Membawa botol minum sendiri juga lebih hemat katanya.” “Ayahku sekarang lebih sering memakai karton untuk membungkus paket, kalaupun menggunakan plastik, plastiknya juga dibatasi agar tidak boros,” kata Mark Karina mengacungkan jari telunjuknya, “Aku lebih memilih ice cream cone daripada ice cream cup! Kata kakakku itu bisa mengurangi sampah loh!” “Sekarang ada sedotan yang dari stainless dan karet yang bisa dipakai lagi, hanya perlu dicuci saja! Itu bisa mengurangi sampah plastik!” Ayden juga tak mau kalah, dia bersemangat sekali menuturkan katanya.
Mereka berdua melanjutkan acara bincang-bincang dengan mereka. Tak lupa juga untuk berterimakasih karena sudah menemani hari mereka disini. Hatinya seperti dihiasi ribuan kupu-kupu kala melihat raut bahagia mereka.
Hari semakin siang, matahari juga sudah berani menampakkan teriknya. Tangan Renjun merapikan rambutnya yang terlihat sedikit lepek dan berantakan karena keringat.
“Disini sangat nyaman, aku melihat sendiri banyak masyarakat yang sudah mulai peduli dengan alam sekitar, mereka benar-benar menjaga dan memanfaatkannya dengan baik,” ucap Renjun dengan menatap bumantara dengan matahari yang memancarkan bagaskara. Tanpa sadar Jeno tersenyum dalam diamnya, “Benar, masyarakat memang seharusnya lebih peduli, sampah plastik sangat bahaya dan jumlahnya selalu meningkat drastis disetiap tahunnya.”
“Sampah masih menjadi masalah besar di negeri ini. Indonesia bahkan masuk dalam negara terkotor di dunia, sungai di Indonesia bahkan menjadi sungai terkotor karena sampahnya,” helaan nafas terdengar setelah Renjun bersuara. “Aku pernah membaca di internet kalau sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton per tahun,” sahut Jeno dengan melirik renjun disampingnya.
Mata Renjun sedikit melebar mendengar perkataan Jeno, “Bukankah pemerintah sudah pernah berusaha menangani hal ini?” “Walaupun pemerintah sudah bekerja disini, jika masyarakat sendiri belum sadar dan bertindak juga tidak ada apa-apanya, Ren.” Renjun mengangguk, “Semua ini kita penyebabnya dan kita juga yang harus menjaganya. Semua berawal dari kita.” “Kalau bukan kita, siapa lagi?”
Cerpen Karangan: Habibi Choiron Nashar aku suka menulis, untuk lebih mengenaliku, kunjungi akun instagram milikku @bluershaa
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 28 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com