Perkenalkan, namaku Sherly Anindia seorang gadis lugu dari keluarga yang bisa dibilang serba berkecukupan, seorang gadis dari ayah yang bekerja di toko bahan makanan dan berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, dan seorang gadis yang mendapatkan beasiswa bersekolah di SMP terfavorit.
Hari ini, kurasa hari yang sangat cerah, seperti burung-burung yang mengepakkan sayap-sayapnya itu, melintas di atas persawahan menuju satu titik impian. Hari dimana aku menuju sebuah impianku, mewujudkannya menjadi bagian dari hari-hariku di kemudian. Hari dimana aku masuk sebuah sekolah menengah pertama. SMP Tunas Harapan, sekolah yang aku impikan sejak lama, sekolah yang bisa dibilang sangat favorit, yang saat ini akan menjadi tempat dimana aku akan memulai hari-hariku yang baru. Terbayangkan banyak teman-temanku yang riang, bercengkrama, dan belajar denganku, serta berbagi sebuah cerita tentang kehidupan mereka.
Namun, bayangan hanyalah angan-angan dari sebuah pengharapan. Kenyataan yang mungkin aku bilang akan indah ternyata berbalik terbalik. Teman-temanku yang kubayangkan akan baik terhadapku. Ternyata, mereka membullyku dengan alasan aku adalah seseorang yang tidak pantas masuk sekolah favorit, seseorang yang miskin, dan tidak pantas bergaul dengan orang-orang yang bisa dibilang kaya. Bukan hanya itu saja, mereka juga membully fisikku karena aku kurus.
“Wah, si miskin datang nih guys” ujar Silvia orang yang selalu menghujatku. “Iya nih, udah miskin, kurang gizi lagi, hahaha” kata Lala teman geng nya Silvia. “Upss, Lala… Bukannya kalau miskin itu pastinya bakal kurang gizi, karena kan gak kebeli tuh makanan-makanan empat sehat lima sempurnanya”. Kata Ria yang termasuk gengnya Silvia juga. “Eitsss… Bukannya ayahnya bekerja di toko bahan makanan ya, masa sih gak bisa makan makanan yang bergizi gitu” ucap Lala. “Udahlah pada dasarnya dia itu memang miskin, gak pantes sekolah di SMP favorit ini”. Silvia berkata. Ya, menyakitkan bukan berkataan mereka?, namun aku hanya terdiam walaupun hati ini gak sanggup mendengar semua itu.
Pada saat jam istirahat, aku dikejutkan oleh perlakuan geng Silvia kepadaku. “Upss… Maaf gak sengaja, maaf ya anak miskin” kata Silvia setelah menjegal kakiku hingga aku terjatuh. “Iya, gak apa-apa kok sil” jawabku. Jujur, aku akui sangat kesal dengan perlakuan mereka yang sangat-sangat menggoreskan luka di hatiku. Namun, aku tidak bisa apa-apa.
Jam Istirahat berakhir, saatnya jam pelajaran Olahraga dimulai, pada saat jam itu, guru bidang olahraga tidak bisa hadir, yang mengakibatkan harus melakukan olahraga tanpa ada guru pendamping. “Hei Sherly, aku minta maaf ya dengan kelakuanku tadi pagi” ujar Silvia kepadaku. “Iya gapapa kok sil, aku maafin” jawabku dengan perasaan senang, akhirnya Silvia udah minta maaf kepadaku, mungkin dia udah bisa menerimaku. “Mau ikut aku gak?” Silvia mengajakku. “Ayo, memangnya mau kemana sil?” “Ayo, ikut aja nanti kamu juga tau” ujar Silvia, aku yang penasaran dengan ajakan itu, lalu mengikuti Silvia. Dan ternyata, aku dibawa Silvia ke sebuah pojok sekolah, dan tidak menyadari tanganku sudah diikat oleh Silvia dan gengnya.
“Duduk kamu di kursi itu” ujar Lala. “Gak mau, aku gak mau duduk di kursi itu, mau ngapain kalian?” jawabku. Didoronglah aku ke kursi itu, dan mulutku pun ditutup menggunakan lakban hitam.
“Heh loh, loe gak pantes sekolah disini” ucap Silvia dengan melempariku dengan buku. “Heh sampah, loe nyadar gak sih, loe tuh miskin, kurang gizi”. Ujar Ria dengan melempariku dengan botol bekas. “Hahaha… Ini sepatu siapa nih, jelek banget, dekil, kotor lagi” kata Lala dengan melempar sepatu itu kearahku.
Setelah mereka puas membullyku, mereka meninggalkanku sendirian di pojok sekolah itu dengan tangan masih terikat, dan mulut masih ditutupi dengan lakban. Gak lama, setelah itu temanku bernama Nara datang, dan menyelamatkanku.
“Kamu kenapa diikat begini?, Di bully lagi sama Silvia dan gengnya itu?, Keterlaluan mereka, aku akan laporkan mereka ke kepala sekolah” ujar Nara sambil membuka ikatan ditanganku. “Jangan Nara, gak papa kok, buktinya aku gak kenapa-kenapa sekarang” jawabku. “Kamu kalau dibully itu, ya lawan lah!” ujar Nara. “Tapi kenyataanya tentu nggak semudah itu. Saat melawan, bisa saja mereka membullyku semakin parah. Bahkan sekadar untuk speak up atas perundungan yang diterima pun butuh keberanian. Karena itulah, aku memilih diam dan pasrah atas keadaan. Ya, walaupun dalam hatiku sangat sesak, tindakan dan ucapan mereka tidak seberapa namun sakitnya terus terasa” kataku kepada Nara.
Hari setelah kejadian itu, tiba-tiba Silvia dan gengnya dipanggil ke ruangan kepala sekolah, dan aku mendapat kabar kalau mereka bertiga dikeluarkan dari sekolah karena membullyku tempo hari itu. Aku bingung, kenapa kepala sekolah bisa tau, ternyata Nara lah yang telah melaporkan perbuatan mereka itu kepada kepala sekolah.
Jujur, aku merasa puas dengan keputusan mereka dikeluarkan dari sekolah, karena hatiku pun sangat sakit dengan perlakuan mereka. Namun, selalu ada hikmah dari sebuah kejadian. Bukannya memaklumi perbuatan mereka kepadaku. Tapi, disakiti bisa jadi sebuah alasan untuk lebih baik dan lebih kuat lagi. Perlu diingat, pembullyan tetaplah perbuatan yang jahat atau tidak baik. Dampaknya nggak hanya luka fisik, tetapi luka mental yang jauh lebih mengerikan. Korban dari pembullyan memiliki mental yang berbeda-beda, bisa saja mengalami trauma berkepanjangan yang berpengaruh pada kehidupannya, entah sampai kapan.
Cerpen Karangan: Anisanrlamalia Blog / Facebook: @anisantlamalia
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 26 Februari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com