Sinar jingga masih begitu malu menampakkan dirinya, seakan tak sanggup menghilangkan sajian malam dengan taburan kelap-kelip bintang di langit. Sementara kaki-kaki Devin telah begitu cepatnya menaiki deretan anak tangga yang berjajar rapi tepat diatas ruang kamarnya. Sinar jingga yang masih begitu tampak malu seakan ia paksa keluar untuk menuruti inginnya yang begitu besar.
“ayo dong cepetan, Atta di sana udah sunrise belum…?” tanya dirinya kepada sahabatnya bernama Atta, dengan mencoba berkomunikasi lewat video call. “Ya belum lah…, kita kan satu daerah” jawabnya sembari tertawa mendengar pertanyaan dari Devin. “Udah… muncul, ya ampun keren banget” suara tinggi Devin hampir saja membuat Atta terkejut. Raut wajah mereka tampak begitu senang, senyum keduanya begitu tampak samar diantara sinar jingga dari sang fajar yang masih redup. Walau dalam ruang yang berbeda mereka tampak begitu merasakan kebersamaan, kedua mata mereka begitu menggambarkan ketulusan dalam bingkai bersahabatan.
Devin, anak perempuan berusia 16 tahun itu begitu sangat menyayangi sahabatnya yang bernama Atta. Memang begitu berbeda ketika teman seusianya lebih memilih untuk bersahabat dengan sesama jenisnya, ia justru lebih nyaman ketika bersahabat dengan Atta yang merupakan anak laki-laki. Baginya, Atta adalah pelindung sekaligus tempatnya untuk berbagi senang dan keluh yang seringkali melandanya. Ia begitu tidak akan bosan ketika diharuskan bersama Atta seharian, tentu saja momen itu akan ia habiskan untuk tertawa serta berbagi kisah ini dan itu.
Atta sendiri adalah anak laki-laki yang seusia dengan Devin, baginya Devin adalah pelipur lara ketika ia sedih. Mereka sangat menyukai satu hal yang Tuhan ciptakan, fajar mereka sangat menyukai fajar. Keduanya memiliki ritual khusus di pagi hari yaitu saling menyapa lewat smartphone dan menyaksikan sinar jingga dari sang fajar bersama. Sinar itu telah banyak memberikan kehangatan bagi persahabatan mereka, sekaligus pemberi semangat bagi keduanya ketika hari awal hari menyapa.
Persahabatan keduanya telah membuat warna baru di sekelilingnya, keharmonisan begitu tampak dan menyelimuti keduanya. Orangtua mereka juga telah paham akan hal itu, mereka telah dianggap anak sendiri oleh orang tua mereka masing-masing. “Kita satu, kita padu karena kita sahabat jingga” begitulah kata-kata yang telah menjadi slogan mereka, kata-kata itu juga menjadi komitmen bagi mereka. Dalam dekapan fajar mereka tentu tidak luput dalam pengucapan ikrar janji setia mereka.
Seperti biasa kaki-kakinya begitu lincah menaiki anak tangga satu demi satu dengan begitu cepatnya. “Wah… hari ini cerah sekali, indah loh…, aku harus segera menghubungi Atta” ucap Devin dengan begitu senangnya. Tatapannya seketika berubah menjadi kebingungan, ia tampak begitu gelisah ketika smartphone dalam genggamannya hanya mengeluarkan suara dering tanda telefonnya belum diangkat. Sinar jingga itu ia hiraukan begitu saja dan seakan ada yang jauh lebih penting dari sinar jingga yang bersinar cerah pagi itu.
“Apa mungkin ia, ketiduran ya?, ah… mungkin saja ia habis kuota data internetnya…” ia mencoba menenangkan diri ketika niatnya untuk menghubungi Atta belum di mendapat jawaban. Kedua bola matanya hanya menatap sinar jingga itu tanpa ada warna yang terpancar, beitu seakan sepi. Kedua telapak tangnnya harus rela menanggung kepalanya yang begitu nyaman bertumpukan telapak tangan. Seekali ia menghela nafas dan tatapan matanya begitu saja terlempar kebawah, seoalah menggambarkan perasaanya yang begitu sepi pagi itu. Devin terlihat belum bisa bersikap dewasa sama sekali, ia akan begitu tampak sedih ketika pagi harinya terlalui tanpa Atta walau hanya sekali.
Pemandangan yang sering kali ia lihat, kini kembali ia lihat ketika dirinya telah sampai di sebuah Sekolah Menengah Atas yang berada di kotanya. Para remaja belasan tahun yang mngenakan pakaian yang sama, kini pakaian abu-abu putih terkadang ia menyaksikan pakain batik khas almamater sekolah ataupun pakaian cokelat khas Pramuka. Di balik banyaknya siswa-siswi yang ia lihat, ia mencari sesosok lelaki yang telah menjadi bagian hidupnya, dia adalah Atta. Wajah yang selama ini menghiasi hari-harinya itu tak ia temukan di balik banyaknya siswa-siswi yang tampak begitu sibuk kesana-kemari. Keputusan untuk mencari Atta seketika terhenti ketika bel untuk masuk kelas di pagi itu berbunyi, dengan masih inginkan jawaban soal Atta yang berada dibenaknya ia kemudian masuk menuju kelas. Perasaannya begitu besar terhadap Atta, ungkapan “sayang lebih dari sahabat” rasanya pantas disematkan untuknya yang tampak sedang dimabuk asmara. Pikirannya selalu tertuju kepada Atta, remaja laki-laki berkulit kuning langsat itu rupanya diam-diam telah merubah sayang dirinya melebihi seorang sahabat.
Ruangan kelas itu seketika berubah menjadi taman bunga, tidak ada orang lain hanya ia dan Atta yang begitu gembira menikmati hari bersama. Sinar jingga yang menghiasi cakrawala telah menambah keharmonisan keduanya, Atta tiba-tiba menatapnya dengan tatapan cinta, semakin lama ia benar-benar merasakan gejolak asmara menari-nari di hatinya.
“Devin…!!!! bengong aja kamu, siapa yang menemukan borobudur pertama kali” Bu Diana telah menghentikan buaian mimpinya, sontak ia terkejut disertaui riauhnya sorak tawa dari teman sekelasnya. Ia langsung saja diminta keluar dari ruangan itu, resiko bagi dirinya yang sibuk dimabuk asmara.
Keesokannya semuanya terbayar ketika dirinya bertemu dengan Atta, akan tetapi ada yang jauh berbeda. Atta begitu tak menaruh minat untuk menampakkan senyum padanya, hanya wajah datar yang ia peroleh. Sementera disamping Atta ia menjumpai Alvi, perempuan yang begitu cantik dan akhir-akhir ini terlihat begitu dekat dengan Atta. Sontak saja perasaanya hancur seketika, ia tidak melihat Atta yang selama ini ia kenal. Bukan hanya sekali, balasan yang sama ia peroleh di hari-hari berikutnya, begitupun pagi hari yang ia lalui tampak begitu suram tanpa adanya Atta. Benaknya tertuju kepada Alvi, perempuan yang ia anggap telah merebut Atta. Ia berfikir bahwa Alvi yang telah merubah sikap Atta sehingga Atta berpaling darinya. Tentu saja sikap Atta yang berubah itu membuat kehidupannya tak lagi indah, pagi hari ia benar-benar merelakan untuk tidak melihat sajian fajar lagi. Murung dan sedih menjadi pilihan dirinya, ia benar-benar dilanda rasa yang pahit dan belum ia rasakan sebelumnya.
“Dek kamu makan ya…, nanti kamu sakit loh” ucap Mama Farin kepada Devin sembari menyodorkan sepiring nasi. Sementara Devin hanya diam mematung, wajahnya tampak begitu pucat dengan tubuh yang rela lama berbaring di tepi kasur. “Dek… mama tau, dedek ada masalah… tapi buka begini cara menghadapinya, dedek harus makan ya…” Mama Farin mencoba merayu Devin yang tetep saja tak menoleh. Air matanya mengucur deras, tidak tau harus berbuat apa, lalu ia dekap erat seorang ibu yang telah merawatnya itu. Semakin deras saja air mata itu mengalir, hingga kaos warna orange yang ia kenakan harus rela terbasahi begitu saja.
Dengan isak tangis yang masih terdengar, ia mencoba untuk menceritakan keluhnya kepada orang yang sangat ia cintai itu. Dekapan sang ibu rupanya telah menjadi penawar mujarab baginya, air matanya terhenti mengalir dengan sedikit senyum mulai timbul di bibirnya. Kini sepiring nasi itu diraihnya, kemudian ia memasukkan sesendok nasi beserta sayur sop yang menjadi lauk kesukaanya.
Hatinya masih begitu sakit dengan sikap Atta yang berubah begitu cepatnya, namun ia mencoba tegar dengan menjalani hari seperti biasanya. Walau tanpa sahabatnya Atta ia mencoba datang menyapa fajar di pagi itu, kini bukan lagi semartphone yang ia genggam melainkan sebuah boneka beruang. “Aku rindu kamu, rindu sekali… kamu kemana Atta, kemana” lagi-lagi air matanya kembali mengucur dengan boneka beruang yang terus di peluknya. Boneka itu mengingatkannya kepada Atta setelah tepatnya hampir satu tahun lalu diterimanya dari tangan Atta sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke-16. Besok, besok adalah hari terbaiknya, ia akan kembali merayakan ulang tahun dirinya. Usianya besok akan menginjak tujuh belas tahun, dan ia sangat berharap Atta akan hadir dalam hari spesialnya besok.
Keesokannya rumahnya begitu ramai dengan hadirnya banyak orang yang menghadiri hari spesialnya. Dengan mengenakan baju terbaiknya ia begitu tampak tidak memperdulikan orang-orang yang hadir, pikirannya selalu tertuju kepada sebuah pertanyaaan Atta akan hadir atau tidak.
sontak saja terkejut ketika ia melihat Alvi tampak keluar dari mobil berwarna hitam dengan lankah yang begitu cepat menuju kearah Devin. Pikirannya begitu tidak karuan melihat perempuan yang selama ini ia anggap telah menghancurkan hubungannya dengan Atta. Devin berbalik arah, tubuhnya begitu menolak ketika ia harus berhadapan dengan Alvi walau hanya untuk berbicara.
“Dev tunggu dulu…” Alvi mencoba menghentikan Devin dengan menarik pundak Devin. “Apa… kamu mau menghancurkan hidupku lagi, cukup kamu telah menjauhkan Atta dari aku” balas Devin dengan nada tinggi. Karena begitu kesalnya Devin sempat mendorong Alvi hingga terjatuh, kejadian itu membuat sebagian besar orang di sana tertuju pandangannya ke arah mereka. “Kamu salah paham, aku hanya ingin ngasih surat ini dari Atta untuk kamu” jawab Alvi setelah berusaha berdiri setelah ia terjatuh. Devin terkejut menerima surat itu, walau hatinya masih memendam curiga mendalam atas hadirnya Alvi yang tidak diundangnya itu.
Dibukanya dengan perlahan surat itu, seketika kedua bola matanya menangis melihat pesan tersurat dari tulisan Atta yang tergambar jelas di surat itu. Dalam surat itu Atta mencoba untuk memberikan ucapan selamat atas ulang tahunnya hari ini, namun ia juga menjelaskan jika dirinya sengaja menjauh dari Devin karena Atta sedang mengidap kanker hati. Atta tidak ingin menyusahkan Devin, karena itu ia menyembunyikan hal itu dari Devin.
“Atta sekarang dirawat di Rumah Sakit Kirana Wardana Dev…” ujar Alvi yang tidak tega melihat Devin menangis. Mendengar hal itu ia langsung pergi menuju rumah sakit itu dengan mengendarai motor yang biasa ia lakukan.
“Bruuuaaakkk…” mendengar suara keras itu banyak orang berlarian, mereka sangat yakin jika suara itu berasal dari kecelakan. Di balik kerumunan banyak orang yang saat itu mengerumuni korban kecelakaan yang baru saja terjadi, tampak Alvi menangis berteriak merangkul korban kecelakaan. “Devin…, kamu harus bertahan ya Dev” ucap Alvi dengan isak tangis melihat keadaan Devin. Alvi memang sengaja untuk mengikuti Devin saat itu, tanpa sengaja ia menyaksikan Devin terserempet mobil truk hingga membuatnya hilang keseimbangan dan menabrakkan diri di tiang lampu dan hal itu membuatnya mengalami luka yang begitu parah.
Jendela kamar yang gelap itu kini mulai terhiasi sinar jingga di pagi itu. Dengan senyum tipis Atta yang seketika muncul beriringan air mata menetes di keduan bola matanya. Atta begitu berharap paginya itu akan dilalui bersama sahabatnya Devin seperti pagi-pagi sebelumnya.
Dari arah pintu di raungan itu tampak Alvi berjalan dengan perlahan sembari membawa wajah senyum, namun ada hal yang sepertinya ia sembunyikan. “Akhirnya Atta kamu sudah siuman…” sembari dirinya menuju kearah Atta. “Devin, Devin mana Al, dia kemana…, kamu udah memberi tau dia kan?” tanya Atta dengan bekas air mata yang masih menempel di kedua pipinya. “Aku udah ngasih tau kok Ta” jawab Alvi dengan wajah yang kemudian menunduk. “Terus dia kok gak kesini, kenapa?” dengan wajah yang penuh tanda tanya.
Dengan air mata yang kemudian menetes di kedua pipinya, Alvi menjelaskan jika Devin kini hidup dalam dirinya. Setelah kecelakaan yang kemudian merenggut dirinya, Devin sebelumnya meminta agar hatinya didonorkan ke Atta yang saat itu Devin tau kalau Atta membutuhkan donor hati untuk kesembuhan Atta. Mendengar hal itu Atta begitu terpukul, ia menjerit dan begitu tidak mampu menanggapi keadaan yang menimpa dirinya. Sahabat yang selama ini begitu ia sayangi, kini telah tiada, namun hati dan cinta Devin tetap berada bersama Atta dalam tubuhnya.
Cerpen Karangan: Ahmad Fairudin Blog / Facebook: @afair18_