SMA Negeri Paling Makmur, merupakan sekolah negeri, yang berada di kawasan kota Jakarta Utara, tepatnya di bagian dekat pusat pasar dan jalan raya besar. Sekolah yang orang-orang bilang, tempat, pembuangan siswa-siswi SMP pendapat nem-nem kecil. Sekolah berbangunan kumuh, tak terurus, sempit, dan bobrok. Cat dinding hijau-kuning buluk, serta-merta lantai pijakan yang demeknya minta ampun. Suasana suram tak luput dari ciri-ciri sekolah tersebut.
Baiklah, lupakan terlebih dahulu, masalah fasilitas, juga berbagai tektek-bengek kejelekkan SMA Negeri Paling Makmur. Sekolah tersebut, kini, sedang melangsungkannya Ujian Tengah Semester. Di kaca-kaca mading lusuh, terdapat kertas putih besar, dengan isi, tulisan ketik yang mengatakan: “Harap Tenang Sedang Berlangsungkannya UTS!”
Mari kita lihat kelas X-MIPA-4 yang berada di lantai tiga. Oh, perlu diingat, SMAN PaKu, berbangunan tiga tingkatan, di mana, tingkat tertinggi ditinggali kelas 10, sedangkan tingkat paling bawah ditinggali kelas 12, karena dekat dengan ruang kepala sekolah.
Budi namanya, cowok berkulit coklat kehitaman, pemilik tubuh kelewat kurus kurang asupan, mata bulat berpupil hitam, rambut pendek tanpa poni, benar juga, kalau rambutnya tidak pendek akan ada jasa tukang cukur mendadak dari BK tercinta, dan postur minimalis yang nggak tinggi-tinggi amat. Bisa dibayangkan betapa pas-pasannya si Budi ini.
Budi berkeringat dingin, sudah tiga puluh menit berlangsung, namun, jangankan lima soal, satu soal saja belum dirinya jawab. Tuhan… Ini MTK men! Siapa sih di dunia ini yang melek-seger sehabis lihat pertanyaan-pertanyaan matematika? Budi amat-teramat menginginkan kelebihan itu. Jangankan melek-seger, lelaki yang memiliki arti nama cerminan sikap baik itu, malah ingin menangis sehabis melihat kertas ujiannya sendiri, saking terharunya.
Merogoh kantung celana, Budi berniat mengambil contekan di saku. Ia menelan saliva terlebih dahulu, sebelum melaksanakan niatan tercela, dalam hati, dirinya berdoa semoga perbuatannya kali ini bisa dimaafkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
“Ekhem!” Suara deheman Bu Sri Indahsari terdengar. Budi tidak lagi berniat mengambil contekan. Sudah cukup dirinya pernah ketahuan, lalu, diomeli dan dihukum tugas menulis karangan permintaan maaf. Budi tidak mau lagi seperti itu. Ia kembali berlagak, sok menyoret-nyoret kertas seakan paling berpikir. Lagipula, yang ia coret bukanlah angka, melainkan gambar-gambar abstrak makanan kantin.
Merasa dilempari penghapus ringan, Budi menengok ke belakang. Matanya menemukan Jaka berisyarat meminta tanggapan cepat. Bukan hanya Budi yang kerepotan dengan soal-soal matematika, Jaka, pun sama kesulitannya. Ia duduk di tengah-tengah pusat, sehingga, sekali membuat pergerakan, pengawas mudah melihat. Namanya saja berhuruf depan J, tentu ia berada di tengah agak ke depan. Terkutuklah Udin yang berada paling belakang, ujung, dekat jendela, lelaki beruntung pemilik nama depan U, memang menyesalkan seperti biasa. Jaka mengumpat dengki.
Jaka mempunyai perawakan lebih berisi dibanding Budi, kulit coklat-hitam, mata bulat, berkelopak besar, berpupil gelap serta tompel di bagian pipi kiri. Wajahnya sama pas-pasannya. Ia-lah yang paling tertinggi daripada Budi, Udin dan Asep.
“Nomer satu sampe lima, Bud!” Jaka berujar tanpa suara, ia menggerakkan jari menunjuk kata satu, bibir bergerak kata ‘sampai’, kemudian memperagakkan angka lima. Amat mengharapkan, Budi tahu jawabannya. Bukannya Jaka tidak berusaha, ia sudah mencoba melihat contekan kertas buatannya sendiri, tetapi, jangankan tahu jawaban, Jaka tidak mengerti setelah tahu rumus, ia harus seperti apa. Sekali lagi. Ini MTK men! Soal dan contoh seakan bagaikan langit dan bumi!
Budi yang berada lebih depan, menggeleng nanar ingin menangis. Wajahnya berkali lipat mengenaskan layaknya pengemis di pinggir jalan. Ia memperlihatkan kertas ujiannya, yang hanya tertulis identitas. “Kertas gue bahkan nggak ada apa-apaan!”
“EKHEM!”
Budi segera berbalik gelagapan ke arah depan, bunyi grasak-grusuk terdengar. Jantung cowok tanpa nama panjang itu, berpacu cepat seakan ingin copot. Seandainya Budi mendadak memiliki indra keenam, lelaki itu yakin, setan yang dirinya lihat, kalah menyeramkan dibanding wajah Bu Sri, yang kini menatap tajam Budi, seolah sedang memangsa buruan hidup-hidup. Jaka pun demikian, ia berlagak menghitung menggunakan jari berkomat-kamit, setelah Bu Sri menggerakkan netra lurus, tepat menusuk wajahnya. Memang pengawas Sri Indahsari itu, juara, galaknya.
Harapan Budi hanyalah Asep. Cowok pemilik tinggi tubuh hampir sama dengannya itu, berada paling depan dekat meja guru. Pupil hitam, rambut pendek sedikit poni, serta kulit lebih gelap di antara mereka berempat. Entah sedang melakukan pekerjaan apa Asep itu, ia bahkan tak bergerak atau terlihat kesulitan. Jangan-jangan Asep mulai menunjukkan bakatnya di bidang perhitungan!
Ketika pengawas Sri Indahsari berjalan, bergerak, mengitari kawasan belakang, di situlah Budi menyaksikan secercah harapan. Seakan seperti melihat sebuah cahaya matahari di tengah gelap. Budi mulai melancarkan serangan memanggil nama Asep. Tersirat kebahagiaan di sana, Budi amat berharap Asep bisa membantu ujiannya kali ini, mengingat setiap kali ulangan harian, mereka berempat selalu terkena remedial.
Asep menoleh. Pandangan mata mereka bertemu. Budi tidak menutupi, kebinaran di kedua kelopak matanya riang. Hanya sesaat Budi bisa tersenyum menatap Asep, sedetik setelahnya, wajah Budi memudar memperlihatkan keterkejutan. “Kampret, dia malah nangis!” jerit Budi syok.
Asep menyahut pedih, menampakkan kertas ujiannya yang didominasi jawaban B, alias asal-asalan. “Barang siapa yang berserah diri, ia pasti dimudahkan.” Asep dengan segala sikap keustadzannya yang gadungan.
Budi mengerang, berteriak frustasi. “Pale lo berserah diri!!” Cowok kurus tersebut mulai menunjukkan tangisan menyerah. “Terus gue isi apaan ini kambing?!”
Beralih ke arah Udin, cowok paling pendek di antara Budi, Jaka, dan Asep. Ia yang paling sering dijadikan rangkulan, karena postur tubuhnya. Pemilik wajah coklat bersih dibanding mereka berempat. Pupil hitam, rambut pendek, serta delapan tahilalat di wajah. Itu juga yang membuat Udin sering dikatai, tempat berak laler, kejam memang. Hidup kurang adil bagi Udin. Tidak apa, Udin sudah biasa.
“Kamu menghitung apa Udin?!”
Selayaknya jantung ingin keluar dari dalam tulang rusuk, Udin menoleh menatap Bu Sri, yang berdiri tegap melipat tangan, menyorot ganas dirinya, seolah Udin sudah melakukan sebuah pembunuhan berantai, oke, berlebihan. Udin memamerkan cengiran lebar. “Eh, Ibu, makin cantik aja!” Udin berceletuk menggoda, yang langsung dipelototi sang pengawas, tanpa mau diajak bercanda. Udin menelan ludah gugup.
“Ibu tanya kamu menghitung apa?!”
Duh, batin Udin mengeluh, tubuhnya mendadak gemetar hebat, ia menciut. “Ngitung… ngi-tung jumlah huruf soal, Bu.” Lelaki itu menjawab takut-takut. Bahkan jika diibaratkan sebagai film-film kerajaan, Udin merupakan rakyat jelata yang tak memiliki cukup uang untuk membayar upeti, sedangkan Bu Sri ialah raja jahat, yang merampas pajak-pajak rakyat miskin. Kasihanilah nasib rakyat si Udin. Ringis lelaki itu diam-diam. Siapa yang bilang Udin paling sejahtera di barisan belakang? Jangankan bisa menjawab, bertanya ke sana ke mari saja, Udin kesusahan.
“Ngapain kamu ngitung jumlah huruf?”
Pameran senyum semakin lebar, memperlihatkan deretan gigi yang Udin bersumpah, ia sudah menyikat gigi. “Biar tahu jawabannya, Bu.” Gelak tawa seisi kelas terdengar riuh.
“Apa? Coba ulangi!” “Biar tahu jawabannya Ibu. Ini kan soal pilihan ganda, angka paling mendekati, saya pilih itu.” Sorakan demi sorakan menggelitik sudut ruangan, mengarah ke Udin. Dan jeweran keras mendarat di telinga kanan, menimbulkan sisa-sisa kemerahan khas, pula teriakan kesakitan lelaki bertahilalat banyak itu. “Makannya belajar Udin!” Nasihat Bu Sri menggema, membuat tawa para murid semakin kencang, menyaksikan penderitaan si Udin.
Inilah empat siswa X-MIPA-4 dari dua puluh lima murid. Empat persahabatan yang terjalin begitu saja karena ketidaksengajaan. Empat persahabatan yang akan memiliki jalinan takdir, menggapai impian. Impian yang orang-orang bilang, yah kalau punya mimpi itu, tinggal digapai, punya kemauan pasti terwujud! Namun, mereka tidak pernah mengatakan, betapa menyakitkannya proses menggapai mimpi tinggi itu. Inilah empat sahabat, empat kepribadian berbeda, mencoba melompat, meraih, bintang terang, meski tahu kegagalan adalah bayang-bayang dari kesuksesan.
Cerpen Karangan: Nur Aeti Fadilah Blog / Facebook: Nur Aeti Fadilah