Suasana kelas ramai, guru yang mengajar tidak masuk. Katanya ada urusan diluar kota. Kabar baik untuk kami, masalahnya beliau adalah salah satu guru killer di sekolah ini. Tapi kabar buruknya, beliau memerintahkan kami mengerjakan tugas. Tidak tanggung-tanggung!, tiga halaman sekaligus. 30 soal pilihan ganda, 15 soal singkat dan 5 soal uraian. Nasib.. nasib.. giliran guru itu tidak masuk, beliau memberi tugas yang sangat banyak.
Namun, namanya juga anak SMP. Sedang mencari jati diri dan menginginkan kebebasan. Banyak dari kami yang bermain-main. Tidak mengerjakan tugas. Ada yang bercerita horor, ada yang sedang menggombal sana sini, ada yang sedang tiduran, dan hanya kebanyakan anak perempuan yang mengerjakan tugas. Aku sih sedang tiduran, kurebahkan kepalaku di meja. Malas mengerjakan tugas.
Tak hanya sekedar tiduran, aku manfaatkan momen ini untuk melihat bidadariku. Bukan, bukan pacarku. Aku tak punya pacar karena pacaran pun aku belum pernah. Dia yang selalu menari-nari indah di pikiranku. Gadis yang kucintai. Secara diam diam tentunya. Dia tak menyadari sedang kuperhatikan. Dan aku mengenalnya sebagai pribadi yang cuek terhadap laki-laki.
Reina. Nama yang cantik, pas untuk orang secantik dirinya. Meskipun ada yang lebih cantik darinya di kelas ini, tapi menurutku dia tercantik diantara yang paling cantik. Umurnya sama denganku, hanya berbeda bulan. Aku lebih tua beberapa bulan darinya. Sejak Ospek aku sudah menyukainya. Dia satu-satunya cewek yang mampu membuatku tergila-gila. Hingga kini kami kelas Sembilan. Rasa cintaku tidak pernah pudar.
Dia adalah sosok yang pendiam. Air mukanya kalem dan santai. Dia rajin, pintar, dan terkesan cuek. Hanya akrab dengan beberapa temannya saja, itupun yang benar-benar sahabat dekatnya.
Wajahnya cantik dan imut. Bulu matanya lentik, matanya sangat jernih dan bibirnya merah muda. Rambutnya lurus panjang. Kadang tergerai, kadang juga dia kuncir. Tapi aku lebih suka melihat rambutnya tergerai indah. Aku begitu tergila-gila padanya. Dialah cinta pertamaku.
Aku terus memandangnya tanpa berkedip. Dia yang sedang kesusahan mengerjakan tugas. Dia yang mengelap dahinya dengan punggung tangan. Dia yang sedang berfikir. Dia yang sedang berdiskusi dengan teman sebangkunya. Aku senyum-senyum sendiri. Tiba-tiba saja dia menoleh ke arahku. Mendapatiku menguntitnya. Aku seketika gelagapan. Membuang muka. Aku ketahuan sedang menguntitnya. Bodoh! Aku benar benar bodoh!. Bagaimana kalau dia menyadari kalau selama ini aku menyukainya?. Aduhh!
Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Aku segera membereskan buku dari laci meja. Aku buru-buru keluar menghindari kontak mata dengan Reina. Teringat kejadian memalukan tadi. Aku takut dia menjadi tidak nyaman.
Hari ini jadwal piketnya Ida, Rendy, Agus, Yuni dan Reina. Mereka pulang lebih akhir. Menyapu seisi kelas dulu. Sudah seperti itu peraturan di kelas kami. Walaupun kaum laki laki hanya menghapus papan tulis, mereka anggap sudah piket. Meskipun membuat dongkol kaum perempuan. ‘Masa piket hanya menghapus papan tulis saja sih?. Tidak adil!.’ Mungkin itulah yang dipikirkan para kaum perempuan di kelas kami.
Reina menemukan secarik kertas. Di bawah meja Aryo, cowok yang gelagapan saat ketahuan sedang memperhatikan dirinya. Karena penasaran, Reina membaca kertas itu. Ternyata sebuah puisi. Berjudul Cinta Pertama. Reina segera mengantongi kertas tersebut, lalu melanjutkan piketnya.
Sesampainya di rumah, Reina membuka secarik kertas yang ada di kantongnya. Membaca bait per bait puisi tersebut. Puisi yang sangat indah. Lalu betapa terkejutnya ia mendapati namanya tertulis di bagian paling bawah kertas tersebut. Kenapa ada namanya disana?. Apa kertas ini milik Aryo?. Dia harus menemukan siapa yang telah membuat puisi yang ditujukan untuknya.
Keesokan harinya Aku sengaja berangkat pagi pagi sekali. Aku ceroboh sekali, salah satu kertas berisi puisiku hilang. Aku mencari di laci, tidak ada. Apalagi di lantai, lantai sudah kinclong. Pasti telah disapu. Aku segera ke papan mading di pinggir papan tulis. Membaca siapa saja yang kemarin piket. Aku sangat terkejut, Reina piket kemarin. Semoga saja kertas itu terbuang dan tidak ditemukan siapapun. Akan runyam urusannya jika ditemukan oleh seseorang.
“Kamu lagi ngapain?!”. Tiba tiba seseorang menyapaku dari belakang. Aku begitu terkejut, sontak menoleh ke belakang. Lebih terkejut lagi saat melihat orang yang menyapaku. Reina, sedang berdiri di depanku. Wajahku panas, kakiku lemas, jantungku berpacu kencang melihatnya sedekat ini denganku. Pikiranku sudah kemana-mana. Semoga hal yang aku takutkan tidak terjadi, semoga.
“Eeee… enggak kok. Cuma mau liat mading.” Ucapku tergagap. Dia mengangguk-angguk. “Owh.. kirain kamu lagi nyari sesuatu..” ucapnya. Jantungku seperti meledak, kenapa dia tahu aku sedang kehilangan sesuatu?.
“Ini punya kamu atau bukan?” Ucapnya sambil meenyodorkan secarik kertas. Aku lekas merebutnya. Itu kertas puisiku!. Sial! Ditemukan oleh Reina!. “Benar itu punyamu?” Tanya Reina. “Kenapa kamu pengen tau?” Tanyaku. “Karena ada namaku disitu.” Jawabnya. Aku merasakan wajahku memanas. Mungkin terlihat merah seperti kepiting rebus. Dia sudah membacanya. Dia sudah tahu. Aku akan melangkah keluar. Aku malu, ketahuan.
“Puisimu bagus.” Ucapnya menahanku. Aku menoleh kearahnya. Kami bertatapan, meskipun malu malu. “Aku gak pernah tau kalau kamu pandai bikin puisi. Ternyata cowok urakan kayak kamu bisa bikin puisi sebagus itu..” ucapnya. “Anggap semua ini gak pernah terjadi. Anggap kamu gak pernah membaca puisi ini. Anggap kamu tidak pernah tahu aku menyukaimu. Aku akan melupakanmu” Ucapku lalu akan pergi. “Kenapa?” Tanyanya menghentikan langkahku. Aku diam. “Aku senang ada yang menyukaiku sampai membuatkan puisi seperti itu. Hanya saja aku tak pernah tahu, kamu menyukaiku sampai seperti itu..” ucapnya. Aku menatapnya.
“Jangan pernah lupakan cinta pertamamu ini. Mungkin suatu saat tuhan berbaik hati mempertemukan kita dalam keadaan yang terbaik. Saat kita saling membutuhkan cinta. Dan sudah menggapai cita cita kita” Lanjutnya. Aku tersenyum padanya. Kemudian mengangguk dengan mantap. Aku tak akan melupakanmu.
Mungkin benar apa katanya, aku harus bersabar dan aku harus menggapai cita citaku. Membuktikan aku pantas untuknya. Dan tuhan akan mempertemukan kita kembali. Aku yakin itu. Aku akan memegang pesanmu, aku tak akan melupakanmu.
Tamat
Cerpen Karangan: Seli Oktavia Facebook: Sellii Oktav Ya Ig: seliokta_vya21