“Menurutmu enak itu apa?” “Enak itu uang.”
—
Aku termangu bersama jutaan embun yang menanti pagi, menyapa indahnya kelopak bunga mawar yang sengaja aku tanam di taman mini belakang rumah temanku. Rumahku sangat sempit sehingga untuk menambah sepetak bidang tanah sebagai taman saja tidak bisa. Rumahku berada tidak jauh dari rumah seorang teman yang selalu dengan rutin mengajakku belajar bersamanya ketika malam tiba. Ia hanya tinggal bersama seorang pembantu dan seorang tukang kebun di rumah yang bisa dibilang cukup luas untuknya yang masih berstatus sebagai siswa.
Hari ini aku berada di taman belakang rumahnya, menikmati aroma khas pagi yang tidak mungkin aku dapatkan di siang hari. Dari tanah yang saat ini aku pijaki, kurang lebih tingginya 3 meter itu adalah kamar tempatnya tidur. Pukul 05:00 itu adalah waktu tidurnya yang masih sangat lama akan berakhir. Suatu hari dia bermimpi tentang bagaimana aku yang sangat detail menjelaskan filosofi dari setetes air hujan yang jatuh ke bumi.
“Bingkai.” “Iya.” “Kamu tidak mau berteduh?” “Kenapa harus berteduh? Aku suka hujan.” “Suka?” “Tentu.”
Bingkai. Itu nama panggilanku, dan selamanya akan tetap begitu. Ia hanya tersenyum sebelum kemudian menghampiriku yang masih berada dibawah derasnya hujan. Mataku terpejam, wajahku terangkat untuk menerima rintik demi rintik air hujan yang sedang bertamu ke bumi. Sesaat kemudian setelah cukup lama air hujan menghujam wajahku, ia menarik pergelangan tanganku, membawaku berlari di atas hijaunya rerumputan.
“Kenapa kita kesini?”Tanyaku dengan napas tersengal-sengal. “Karena kita belum pernah kesini.” “Oooh.” Aku hanya bisa ber “oh” ria menanggapi pernyataannya.
Sepersekian detik dunia seperti berhenti berputar, tidak ada percakapan diantara kita, yang ada hanyalah suara rintik hujan yang saling beradu cepat sampai ke permukaan bumi.
“Menurutmu enak itu apa?” Tanyanya padaku sambil menatap luasnya langit dengan mata yang sesekali menutup untuk menghindari hujan menyakiti bola mata indahnya. “Enak itu uang.” “Salah.” “Kenapa salah?” “Karena enak itu bihun.” “Kok…” Belum selesai aku bicara ia sudah memotong terlebih dahulu kalimatku yang belum rampung itu. “Sstt, yang aku maksud bukan bihun yang biasa kamu makan di warung Bu Nur ketika jam istirahat sekolah.” “Terus?” “Nanti aku bisikin kalau udah sampai rumah.” “Kenapa harus nanti?” “Kenapa kamu harus selalu bertanya kenapa dari tadi?” Ucapnya kemudian menyilangkan tangan di dada sembari berbalik badan dan melangkah sedikit demi sedikit menuju sepasang ayunan yang tergantung di pohon besar belakang sekolah kami. Mau tidak mau aku mengikutinya.
“Hujan itu apa?” Tiba-tiba saja ia melontarkan sebuah pertanyaan yang sebenarnya lebih pantas disebut gumaman. Matanya menerawang lurus ke depan, memandang kabut yang muncul karena hujan yang sudah mulai reda. “Hujan adalah titik-titik air yang berjatuhan dari udara karena proses pendinginan yang terjadi di langit. Kemudian …”
“Bingkai, aku tidak suka pelajaran IPA.” Ya, dia selalu begitu. Menghentikan kalimat apapun yang tidak disukainya, sekalipun itu mamanya sendiri yang berbicara lewat telepon seluler yang terdapat di rumahnya. Sungguh kebiasaan yang tidak pantas untukku tiru. “Hmm. Hujan “ Gumamku seraya berpikir hal lain yang tidak berkaitan dengan IPA tentang hujan. “Itu namaku. Aku ingat kamu menyukainya tadi.” “Hah? Bukan itu maksudku. Aku hanya mengatakan bahwa aku menyukai hujan yang turun dari langit ke bumi.” “Ya sudah. Aku juga tidak sengaja mengingat kalimatmu tadi.” “Baiklah. Sini deh duduk, aku capek.”
Sangat membingungkan memang. Kami berada di depan ayunan kayu yang sedari tadi hanya kami diamkan begitu saja. “Hujan, ia sebenarnya tidak terlalu senang dengan diutusnya dia ke bumi.” “Mengap…” Sekarang tiba giliran dia yang aku sumpal mulutnya dengan keempat jariku.” “Aku belum selesai dengan penjelasanku Hujan.” “Baiklah, lanjutkan!”
“Ia takut, karena terkadang beberapa manusia tidak mengharapkan kehadirannya. Namun suatu hari langit berkata kepada hujan, ia mengatakan bahwa langit merasa terbebani dengan tetes air yang semakin banyak ia kandung dikarenakan hujan tidak mau turun ke bumi. Awalnya hujan tidak menghiraukan keluhan langit, tapi setelah mendengar keluhan itu berkali-kali akhirnya hujan pun turun dengan terpaksa. Setibanya di bumi, hujan disambut dengan gembira oleh beberapa penghuni bumi. Bunga lili, para katak, serta yang lainnya merayakan kedatangan hujan yang sudah sangat lama ditunggu-tunggunya itu. Melihat hal demikian, akhirnya ketakutan hujanpun sirna. Ia tidak menjadi penakut seperti dulu, ia menjadi lebih percaya diri dan terkadang sesekali ikut membuat irama bersama sekolompok katak di sungai.” Aku selesai dengan ceritaku, tapi dia malah bermain bersama beberapa ekor kupu-kupu yang terbang kesana-kemari mencari nektar bunga.
“Terimakasih ceritanya, aku suka. Tapi, apa tidak ada cerita tentang hujan dan bingkai?” Tanyanya sambil berlari menjauh mengejar kupu-kupu cantik yang malang karena harus menjadi buronannya kali ini. Aku hanya tersenyum sembari menggerakkan ayunan kayu yang kududuki secara perlahan.
“Kenapa tersenyum sendiri? Tidak takut dianggap gila?” “Kenapa takut? Toh disini juga Cuma ada kamu. O iya, ngomong-ngomong tentang bihun, bihun apa yang kamu maksud kalau bukan bihun Bu Nur?” “Bihun ini.” Ucapnya seraya menunjuk ke arah kami berdua. “Aku tidak paham.” “Dasar lemot. Bingkai Hujan.” Aku terdiam sejenak mencerna kata demi kata yang ia lontarkan kepadaku. “Bihun, Bingkai Hujan. Aaaah, aku kira apaan?” Aku sedikit mengeja perkataannya sebelum kemudian mengerti lalu tertawa bersama di atas ayunan kayu yang sudah tua ini.
Tidak lama berselang, kami merasakan ada sesuatu yang berbunyi dari arah yang cukup jauh. Seperti bunyi terompet Pak Somad si penjual sayur di kompleks kami, namun sedetik kemudian berubah seperti bunyi bel sekolah kami, hingga akhirnya tali ayunan yang kami duduki sedari tadi terputus secara tiba-tiba. “Akh, sakitnya kepalaku.”
Kringgg… Kringggg… “Alarm sialan, iseng banget sih hari minggu kayak gini.”
Ya, itu semua hanya mimpi yang beberapa hari lalu Hujan ceritakan kepadaku di kelas selagi jam pelajaran kosong. Sejak saat itu, aku menuliskan di buku harianku bahwa hujan adalah momen sekaligus kata yang akan aku sukai hingga akhir hayatku.
—
“Kenapa harus berteduh? Aku suka hujan.”
Cerpen Karangan: Haudhatin Adzimi Blog / Facebook: akunprivasig.blogspot.com / How Dhatin