Malam ini aku sendiri di kamar kostku. Radio SS One yang setia menemani malam-malamku memutar lagu First Love yang dinyanyikan Nikka Costa. Lagu itu membuatku teringat kembali kenangan di masa remajaku, saat aku mulai mengenal cinta. Masa yang kata orang merupakan masa terindah dalam hidup. “Di mana kau sekarang berada?” gumanku sendiri.
“’It’s my first love ~ What I’m dreaming of ~ When I go to bed…,” aku turut menyanyikan lagu melankolis itu. Ya, lagu yang selalu terasa enak didengar di telingaku. Lagu lawas yang tetap diputar sepanjang masa, dari generasi ke generasi.
“Hayo, lagi jatuh cinta ya?” goda teman kost-ku yang lewat depan kamarku. “Hmm…” jawabku sambil angkat bahu.
Masa SMP… Aku cowok normal secara psikologis seperti teman-temanku yang lain. Aku juga merasa tertarik pada lawan jenisku. Aku mengagumi kecantikan dan sikap lemah lembut Diva, adik kelasku. Masih teringat jelas di benakku ketika aku kelas 9 saat pertama aku bertemu dengannya, gadis berkulit kuning yang kelasnya persis di depan kelasku. Aku sebenarnya tidak begitu memperhatikannya kalau saja teman sebangkuku tidak mengarang cerita bahwa gadis itu menyukaiku.
“Dapat salam dari Diva,” kata Jhoni ketika ia nongol di pintu kelas. “Diva siapa?” tanyaku pura-pura tidak tahu. “Yang kemarin aku ceritakan,” tegas Jhoni “Halah, paling-paling kamu yang ngarang cerita,” jawabku “Eh… enggak percaya. Ya udah,” sanggah Jhoni sambil meninggalkanku. Rupanya Renny melambaikan tangan memanggil Jhoni. Kabarnya Jhoni telah “jadian” dengan Renny. Wow… Aku cuman berkata dalam hati, “Masak sih?” dan tak percaya. Mungkin itu sebabnya ia juga ingin aku seperti dia apalagi aku tahu Renny bersahabat dengan Diva.
Waktu terus berjalan. Aku tak punya keberanian untuk mengatakan cinta kepada Diva. Semua kusimpan saja dalam hati. Entah sampai kapan aku tak tahu.
Ulangan akhir semester ganjil tiba. Secara tak sengaja aku duduk sebangku dengan Diva. Hatiku berdebar-debar sementara seisi ruang 07 menggodai aku. “Waduh… ada pasangan serasi nih,” kata Pak Arsono, guru bahasa Indonesia kami yang humoris. Aku tersipu malu. Mugkin begitu pula Diva. Aku tak berani memandangnya. Kelas menjadi riuh. Paling tidak seminggu ini aku dan Diva menjadi pusat perhatian guru-guru di kelasku. Setiap kali berganti mata pelajaran UAS pengawas ruang yang juga berganti selalu menanyakan Diva dan aku. Mungkin para guru penasaran. Aku berharap tidak dipanggil BP karena isu kami sepasang kekasih. Aku pun menjadi tak ingin berlama-lama duduk dan mengerjakan soal UAS. Begitu selesai dan kuperiksa untuk memastikan semua soal sudah terjawab, aku kumpulkan dan keluar ruangan. Tiga hari ini aku selalu yang pertama keluar.
Di hari ketiga ketika pelajaran Matematika yang diujikan terjadi sesuatu yang sangat mengesankan bagiku. Special. Waktu itu jam masih menunjukkan pukul 06.40 WIB dan kurang lima menit lagi bel masuk ruang akan berbunyi. Aku duduk di bangku paling sudut sambil membuka-buka buku catatanku ketika Diva datang kepadaku sambil membawa buku catatannya juga.
“Mas, bisa ngerjakan soal ini?” katanya sambil membuka buku catatannya di meja di depanku. “Yang mana Dik, eh Div,” jawabku penuh kegrogian. Dia tersenyum. Mata kami bertemu pandang. Aku terkejut tapi aku berusaha menyembunyikan keterkejutanku. Dalam hati aku bersorak juga. “Nomor 5,” jawabnya. Dengan cepat kukerjakan soal nomor 5 yang dimaksud dia dan kuberikan kembali buku catatannya.
“Caranya gimana Mas?” tanyanya. Kami sudah tidak canggung meskipun aku tetap grogi kalau berdekatan dengan cewek cantik. “Begini,” jawabku sambil menjelaskan cara mengerjakan soal matematika itu secara cepat. Trik istilahnya menurut kakakku yang sudah kelas 12 SMA.
“Hayoo… berduaan nih…” tiba-tiba teman-temanku sudah di depan pintu kelas. Mereka secara bersamaan menggodaiku. Aneh aku dan dia cuma senyum-senyum saja. Mungkin ini yang disebut malu-malu tapi mau. Oh my God. “Aku lagi belajar kok,” bantah Diva kemudian. “Itu tadi namanya les privat,” timpal Jhoni. “Hahaha.”
UAS tinggal sehari lagi. Hubunganku dengan Diva sudah tidak kaku lagi. Ibarat es sudah mencair. Dia tidak malu-malu lagi bertanya ini itu tentang pelajaran sekolah. Teman-teman satu ruang juga sudah tidak menggodai kami lagi. Mereka malah bilang kami “Nice Couple” pasangan yang serasi.
“Mas nanti tunggu bel ya keluarnya,” kata Diva sebelum masuk ruang. “Lho emangnya kenapa?” jawabku sekenanya. “Aku gak bisa bahasa Inggris,” katanya. “Waduh, Aku gemetaran kalo ngasih contekan jawaban waktu ulangan. Aku kuatir ketahuan pengawas. Itu curang, enggak sportif,” jawabku. “Dasar pelit!” katanya tanpa menoleh kepadaku. Aku terdiam. Tak kusangka sesuatu yang kuanggap benar itu ternyata belum tentu tepat. Ia sewot. Tapi ia tambah cantik kalau lagi sewot. Biar saja.
Dan seperti biasanya aku keluar ruang ujian sebelum bel berbunyi setelah kupastikan semua soal terjawab. Aku melangkah keluar tanpa menoleh lagi ke Diva. Lalu aku bergegas ke perpustakaan untuk sekadar baca-baca.
Waktu terus berjalan dan selesailah UAS. Minggu depan biasanya untuk remidi bagi yang mendapat nilai di bawah passing grade. Kemudian seminggu sebelum penerimaan rapor itu OSIS pasti mengadakan Class Meeting. Itu acara yang paling ditunggu-tunggu para pencinta olahraga di sekolah ini. Tapi sayangnya aku tak bisa olahraga dengan baik. Aku enggak pernah masuk tim olahraga kelasku. Paling-paling cuma jadi suporter. Dan kebetulan pada pertandingan bola voli putri, kelasku berhadapan dengan kelasnya Diva.
“Hayo kamu suporternya kelas mana?” “Ya kelas kita dong!.” “Enggak kelasnya Diva?” “Enggaklah.” “Wah, kamu bisa diputusin sama dia.” “Siapa takut?”
“By the way, kamu udah jadian sama Diva?” “Jadian apaan sih?” “Oh my God, love makes you stupid, Guys.” “What?” “Sudahlah cepatlah kau tulis surat cinta buat dia. Aku sahabat sejatimu yang akan jadi tukang posnya. Dijamin surat sampai dengan selamat dan rahasia terjaga.” “Sudah, sudah ayo ke lapangan. Udah mau main tuh!” jawabku mengalihkan pembicaraan. Anak laki-laki kelasku yang cuma 8 bergegas menuju lapangan voli. Tim bola voli putri kelasku akan berhadapan dengan tim kelasnya Diva. Ternyata Diva juga ikut main. Dia sempat memandangku dan kubalas dengan senyum.
Kami suporter yang heboh. Di atas kertas kelasku enggak mungkin menang. Kelasku terkenal sebagai kelas para kutu buku. Hampir semua anggota kelas enggak suka olahraga. Kalau lomba matematika, Fisika dan Mapel lainnya kelas kamilah kandidat juaranya. Hampir semua event OSN selalu diwakili siswa dari kelasku, termasuk aku.
Malam harinya aku pikir-pikir kata-kata Jhoni yang mau menjadi tukang pos untukku. Tapi aku takut. Bukan takut isinya disebarkan Jhoni, tapi takut suratnya ketahuan guru BK. Jika ketahuan, biasanya penulisnya disuruh membacanya di depan kelas. Malunya minta ampun. Aku berpikir keras agar aman. Maka tiba-tiba terlintas pikiran untuk menulis surat itu dalam bahasa Inggris. Kalau pun ketahuan, aku yakin tak banyak yang tahu artinya. Yap. Aku harus menulis surat itu dalam bahasa Inggris.
Dear Diva, Hey, Div? I like you since I meet you at the first time. I think I fall in love with you. You are my first love. You know? First love is never die, Love will be back if you believe it. I dear you so much. From: Bintang
Esoknya surat itu sudah kutitipkan kepada Jhoni untuk disampaikan ke Diva lewat Renny. Surat yang kutulis di kertas surat yang berwarna merah jambu dan wangi baunya. Surat yang kutulis setelah mengumpulkan keberanian. Namun, sore harinya Jhoni dan Renny datang ke rumahku. Mereka membawa kembali surat itu.
“Maaf Bintang, Diva sudah berangkat ke Bandung bersama semua keluarganya,” kata Renny dengan sedih. “Maaf aku mungkin sudah membuatmu patah hati,” imbuh Jhoni. “Ah, enggak apa-apa. Biar aku kirim lewat Pos aja,” jawabku menghibur diri sendiri. “Tahu alamatnya?” tanya Jhoni. “Tahu dong,” jawabku berpura-pura. Mereka berdua tampak senang dengan jawabanku. Mereka mengira Diva sudah memberi alamat barunya padaku. “Mana suratnya?” tanyaku malu-malu. “Ini,” jawab Renny sambil menyerahkan surat itu. Aku terima surat itu dan langsung kulipat jadi dua dan kumasukkan saku bajuku. Beberapa saat kemudian Jhoni dan Renny pamit pulang. Mereka minta maaf lagi kepadaku. Renny berjanji jika Diva menghubunginya, ia akan segera memberi kabar aku.
Class meeting selesai dengan suka duka. Juara umum diraih kelasnya Diva sedangkan kelasku enggak dapat juara apa-apa. Kami enggak sedih. Itu biasa saja.
Dan tibalah hari penerimaan rapor dan pentas seni. Rapor diterimakan kepada orangtua/wali murid seperti biasanya. Alhamdulilah, aku masih bertahan di peringkat 1. Begitu pula Diva. Dia juga peringkat 1 di kelasnya. Tapi, tak tampak Diva dan orangtuanya. Seharusnya hari ini aku sepanggung dengan dia untuk menerima hadiah dari sekolah bagi para bintang kelas.
Kini, aku tak tahu di mana Diva berada. Hanya surat itu yang menjadi kenangan bagiku. Surat itu masih utuh seperti pertama kali kutulis. Surat itu masih kusimpan baik-baik.
Cerpen Karangan: Suwarsono Blog / Facebook: Suwarsono S