Mataku menatap sekeliling kamar asrama yang kini aku sedang terbaring pada lantainya, kamar yang saat ini aku tinggali, kamar yang berada di lantai pertama, kamar yang memiliki lambang berupa angka delapan pada pintu kayu coklat yang kasar.
Aku mengubah posisku kini terlentang kembali memejamkan mata sebentar lalu kembali membukanya. Kemudian meraih tombol untuk mematikan lampu belajar yang kupakai untuk penerangan, lampu yang lebih sering kugunakan dibandingkan lampu yang terpasang pada atap kamar ini karena menurutku lampu di kamar ini sangatlah menyilauku seolah menyuruhku untuk bangun padahal aku kan tidak ingin bangun aku ingin terus seperti ini tertidur berdiam tanpa suara memandangi sekeliling kamar asramaku hanya membiarkan satu suara saja yang berbunyi yaitu suara kipas kecil yang dibelikan oleh uang ayahku dan kubawa, kipas yang harus selalu kubersihkan dengan membongkar paku-paku sebagai pengunci.
Mataku kini menatap kipas tersebut didalamnya aku dapat melihat debu yang banyak. Aku selalu heran dan benci bagaimana debu bisa menjadi sebanyak ini padahal baru sehari kubersihkan kemarin debu pada kipas ini tapi keesokannya debu sudah kembali terlihat pada kipas ini. Aku menghela nafas dalam kegelapan.
Dalam kegelapan aku berjalan mencari pintu kamar mandi membukanya membiarkan cahaya dari jendela kamar mandi menerangi kamar ini. Aku kembali tertidur rasanya sangat nyaman. Aku kembali terbangun saat aku mendengar suara alat konstruksi berbunyi yang menandakan para pekerja telah tiba dan sedang bekerja untuk menambah jumlah kamar di asrama ini.
Asrama ini memiliki lahan yang sangat luas dan asrama ini baru memiliki sekitar 43 kamar namun tetap saja lahan masih luas sisanya adalah tanah merah yang licin karena hujan, hal yang aku dan beberapa penghuni disini adalah kenapa pemilik asrama menggunakan dananya untuk menambah kamar daripada membagusi fasilitas bagi kami yang tinggal disini seperti membereskan urusan internet yang masih rusak padahal itu sudah termasuk fasilitas bukankah itu adalah hak kami sebagai penghuni yang sudah membayar penuh untuk mendapatkan fasilitas yang sudah dijanjikan. Lalu urusan air dari sumur bor selalu menjadi masalah dimana air itu selalu membuatku takut karena warnanya yang gelap bukan berwarna bening.
Aku sendiri sebenarnya lelah selalu berkeluh kesah karena aku tahu itu sama sekali tidak ada gunanya karena itu aku adalah salah satu orang yang lebih suka bertindak sendiri tanpa menunggu perintah sejujurnya aku lebih suka mengikuti perasaanku daripada menggunakan akalku. Aku mengecek ponselku memeriksa jam yang menunjukan pukul delapan pagi.
Karena hari sedang libur aku tidak terlalu banyak berpikir, untuk masalah sarapan aku tidak terlalu peduli. Tapi jika untuk jadwal pagi aku sudah pasti selalu pergi tanpa meninggalkan sarapan sejujurnya tanpa sarapan mana mungkin aku bertahan.
Semenjak aku pindah dari rumah aku selalu merasa aku berada di titik terendah dalam hidup dan semua ini terjadi secara mendadak dan tidak terduga membuatku ingin membunuh diri sendiri untuk menghilangkan rasa sakit.
Sejujurnya mengetik ini dalam kegelapan kamar sendirian sembari mendengarkan lagu menggunakan headphone dan juga mendengarkan bunyi gunturan petir yang diikuti suara hujan yang deras adalah salah satu hal yang terbaik yang bisa kurasakan saat ini pada jam satu siang.
“Terima kasih” ucapku “When you really just in pain” “With the wrong people sometimes” “That’s alright that’s okay” “That’s the moral of the story”
Sejujurnya lebih baik sendiri dibandingkan harus bersama dengan seseorang yang kejam. Aku selalu merasa aku selalu dikelilingi oleh orang yang kejam, aku selalu menganggap bahwa diriku pengecut karena terlalu menyalahkan keadaan dari pada berjuang untuk diriku sendiri.
Setiap melihat dan memikirkan diriku aku selalu menahan nangis karena sudah membiarkan diriku menerima semua hal yang aku alami. Aku selalu berharap aku bisa kembali ke masa lalu menyelamatkan waktu, menyelamatkan orang yang aku sayangi, dan menyelamatkan diriku sendiri. Dan naskah yang kutulis ini adalah salah satu Memori Hampa dalam hidupku.
Cerpen Karangan: Shofa Nur Annisa Deas Blog / Facebook: Shofa Deas