Di dalam kamar bernuansa abu-abu, terdapat dua anak muda yang sedang bercengkrama dengan ditemani buku-buku yang berserakan. Menempati lantai kamar yang sudah dialasi karpet berbulu, sambil tiduran dan tengkurap memainkan lembaran demi lembaran buku yang dipegang.
Ting Terdengar notif pesan dari ponsel si gadis, dan membuat cowok di depannya yang sedang tiduran mengalihkan pandangan dari buku yang dia pegang.
“Bumi ganteng banget ihhh” ujar si gadis merasa gemas dengan gambar di ponselnya, sedangkan temannya si cowok tadi langsung berenggut memasang muka jengkel.
“Lo lagi liat apa, Nar?” “Ini loh, statusnya Bumi di IG. Dia keren abiss!!” “Biasa aja, gantengan gua” “Idihhh, ngaca sana. Lo enggak ada apa-apanya sama Bumi, Tiwa”
Akhir-akhir ini komunikasi Khatulistiwa dan Sinar, menjadi tercemar setelah kedatangan seorang Bumi yang mengacaukan isi sekolahnya. Menarik para gadis seperti magnet, dan langsung menempel padanya seorang.
Khatulistiwa paling jengkel, jika Sinar selalu mengelu-elukan Bumi cowok yang dibilang terkeren layaknya artis ibu kota. Entah kenapa sekarang dia mulai merasa tidak nyaman, di hatinya.
“Tiwa, kamu tau enggak gimana caranya aku bisa deket sama Bumi” “Enggak perlu dideketin, ini kamu selalu di bumi kok enggak kemana-mana” “Rese banget sih lo, bukan itu maksud gue Ti-wa” ucap Sinar geregetan, sambil melempar pulpen ke Khatulistiwa. “Gue itu pengen temenan sama dia, pengen deket, pengen makan bareng meskipun itu halu aja sih. Mana mau Bumi yang se-perfect itu ngajak gue makan, ngelirik aja enggak.” Pandangan Sinar beralih ke arah Khatuliswa, dan ternyata dia malah tertidur sambil menutup mukanya dengan buku.
“Tiwa…, lo kok tidur sih” ucap Sinar dengan suara lembut.
“Tiwa, lo beneran tidur. Gue pulang ya” pamit Sinar sambil mengemasi buku dan alat tulisnya, melihat Khatulistiwa benar tertidur dengan nyenyaknya. Dia tidak mau mengganggu, tidur sahabatnya itu yang mungkin saja kelelahan menemani dirinya belajar.
Kreekk Terdengar suara pintu tertutup perlahan, lama tidak terdengar apapun lagi. Baru Khatulistiwa, bangun dari terlentangnya melihat pintu yang tertutup rapat. Sebenarnya, dia tidak tertidur, tapi malas mendengar ocehan Sinar tentang Bumi yang malah membuat hatinya merasa cemburu.
Lalu dia beranjak berdiri di depan cermin, menatap setiap inci wajahnya. Memang benar dia tidak ada apa-apanya dibanding Bumi; dia tidak setampan Bumi, sehebat Bumi bermain basket, tapi dia jagonya di futsal. Dia juga tidak sekaya Bumi Anggara, yang orangtuanya pemilik tambang batu bara. Khatulistiwa merasa semakin kesal, ketika dia harus menerima kekalahan dari Bumi.
—
Keesokan harinya, di dalam kelas. Saat istirahat Sinar sedang merogoh kotak bekal dari tasnya, yang berisi sandwich cokelat untuk Khatulistiwa. Lalu beranjak pergi, menyusuri koridor sesekali mengedarkan pandangannya berharap melihat orang yang dicari. Tapi nihil, dan itu berarti Tiwa berada di kantin. Dan benar saja, begitu memasuki kantin dia melihat punggung Tiwa yang sedang duduk diantara beberapa orang.
“Tiwa, ini bekal buat kamu” Sinar melemahkan suaranya diakhir kata, melihat Khatulistiwa sedang makan nasi goreng dari bekal lain. “Kok kamu makan itu, aku ‘kan selalu bawain” Sinar mengomel, melotot tajam pada Khatuliswa. “Emangnya kenapa, nggak boleh. Tiwa juga pasti bosen, pengen makan yang lain” sewot orang yang berada di samping Khatulistiwa, namanya Cahaya Anggraini. Khatuliswa yang tadi hendak berucap jadi urung ketika di sela, oleh Aya.
“Eko, ini buat kamu. Habisin sekarang, terus kotak bekalnya kasih lagi ke aku nanti” tangan Sinar memang mengarah, pada Eko. Tapi matanya tetap tertuju pada Khatulistiwa, dengan tajam. “Wahh, makasih Sinar” ucap Eko menyambut bekal pemberian dari Sinar dengan semringah. Lalu Sinar pergi begitu saja dari sana.
Beberapa jam kemudian bel pulang berbunyi. Di antara kerumunan anak-anak berlalu lalang, ada Sinar yang berjalan dengan wajah masih ditekuk.
“Sinar!, Sinar tunggu!!” Teriakan itu begitu mengganggu pendengaran Sinar, dan dia menolehkan kepalanya ke belakang. Di sana ada Khatulistiwa yang berusaha mengejarnya. Tapi Sinar tetap cuek, dan mempercepat langkahnya.
“Huh, huh, cepet banget jalannya. Sengaja ya pengen ninggalin” Sinar hanya menatap sekilas, lalu kembali cuek. Tidak taukah jika Sinar sedang merajuk, akibat cemburu, Sinar sudah lama menyadari perasaan aneh terhadap sahabatnya itu.
“Nar, gua minta maaf. Tadi gua udah nolak, tapi si Aya maksa suapin jadi yaudah gua makan aja” “Ohh, jadi tadi di suapin sama dia” ucap Sinar dengan sinis. “Kok makin marah, ‘kan udah minta maaf” “Sinar!, Sinar!”
Sinar semakin mempercepat jalannya, meninggalkan Khatulistiwa di belakang. Tapi bibirnya tersenyum bersama hatinya yang kembali berbunga setelah mendengar penjelasan dari Khatulistiwa.
“Tiwa!” Panggil Sinar begitu Khatulistiwa berhasil mensejajarkan langkahnya dengan Sinar. “Apa” jawab Khatulistiwa dengan ketus, karena kesal dengan Sinar yang terus meninggalkannya. “Lebih baik mana Cahaya atau Sinar?” “Enggak ada, keduanya sama aja” “Kok sama aja, ya beda lah” jawab Sinar ngengas, kini dia malah kembali merasa kesal.
Khatulistiwa mengerjit heran, di tambah bingung. Dia sama sekali tidak mengerti dengan pertanyaan Sinar.
“Memang apa bedanya, cahaya adalah sinar, dan sinar juga cahaya ‘kan” “Bukan!” Sinar pergi dengan cepat sambil menghentak-hentakkan kakinya.
“Ngapain nanya kayak gitu, emangnya ada tugas fisika yang minta mencari apa bedanya cahaya dan sinar?” Khatulistiwa yang tau Sinar, sedang ngambek. Memilih mengalah, lalu mengeluarkan ponselnya. “Google, apa bedanya cahaya dan sinar?” “Disebut SINAR jika sumber terangnya adalah dari benda yang bisa memancarkan terang itu sendiri. Contohnya: sinar matahari. Disebut CAHAYA jika sumber terangnya hanya berupa pantulan dari benda yang bersinar. Contohnya: cahaya bulan.” Jawab mbak google.
“Nar!, tunggu gua udah tau” Sinar berhenti berjalan, lalu menatap Khatulistiwa ingin tau apa yang cowok itu ingin katakan. “Aku tau bedanya cahaya dan sinar, Kalau sinar bisa memancarkan terangnya sendiri, sedangkan cahaya mendapat terangnya dari pantulan sinar” Khatulistiwa merasa puas dengan jawabannya, terbukti Sinarnya kembali tersenyum, meski dia masih tidak mengerti dengan pertanyaan itu maksudnya apa.
“Berarti Sinar lebih segalanya dari Cahaya?” “Iya, ‘kan sudah dijelasin tadi kalau cahaya itu hanya pantulan dari sinar” “Bukan itu ekuator, tau ah sebel dasar enggak peka” gerutu Sinar, karena Khatulistiwa tidak mengerti apa yang dia maksud. “Enak aja panggil gua kayak gitu, nama gua itu Khatulistiwa putra Rajendra bukan ekuator” jawab Khatulistiwa tidak kalah sewot, karena Sinar malah memanggilnya dengan sinonim Khatulistiwa meskipun itu memang namanya. Dia malah semakin kesal karena Sinar, malah mengacuhkan dirinya.
“Lo mau kemana?,” tanya Khatulistiwa saat melihat Sinar malah pergi ke arah berbeda. “Mau nonton Bumi latihan basket”
“Bumi lagi, Bumi lagi. Kenapa Sinar, kamu nggak bisa buka mata lebar-lebar kalau Bumi itu selalu di bawah kakiku” dengan membabi buta, Khatulistiwa mengijak-injak keramik di tempat dia berdiri. Namun, ujung-ujungnya tetap saja dia melangkah ke tempat yang sama dengan Sinar.
—
Suara riuh, sekolompok para gadis yang sedang bersorak dan memuji-muji Bumi di bangku penonton, tidak dengan terkecuali Sinar. Membuat Khatuliswa merasa gerah, apalagi melihat Sinar yang begitu antusias menyemangati cowok lain selain dirinya. Semenjak ada Bumi, perhatian Sinar padanya jadi terbagi, sorak-sorai itu bukan lagi hanya milik Khatulistiwa seorang.
Kesabaran Khatulistiwa sudah habis, melihat jam di tangannya sudah hampir di penghujung sore. Dengan paksa dia menarik Sinar pergi dan membawanya ke parkiran, menuju motor matic miliknya.
“Tiwa lo apaan sih, narik-narik gue” ucap Sinar menghentakkan tangannya dari gengaman Khatulistiwa begitu sampai di sebelah motor milik Khatulustiwa. “Lo bisa nggak, di otak lo bukan cuma Bumi. Memang dia spesial itu buat lo, sampai harus bertingkah alay, kegenitan gitu sama cowok, yang ada cowok itu malah ilfeel tau nggak liat cewek bertingkah murahan kayak gitu” ucap Khatulitiwa penuh emosi. “Stop Tiwa!, gue nggak gitu. Lo kenapa sih jahat banget, emang salah kalau gue segitunya sama Bumi lo aja tadi sok tebar pesona sama Aya!” “Ini nggak ada hubungannya sama Aya” “Kamu belain dia” “Sinar” Khatulistiwa menekan suaranya, emosinya benar-benar tidak terkendali. “Gue nggak pernah ngelarang lo buat deketin cewek manapun, mau suap-suapan sama Aya kek, mau lo jalan sama dia, pacaran sama dia itu terserah lo. Terus kenapa lo ngelarang gue mengidam-idamkan Bumi” sahut Sinar tidak kalah berapi-api. “Karena gua cemburu sama lo, gua cinta sama lo Sinar” Khatulistiwa langsung terdiam, karena emosi dia malah keceplosan. Begitu juga dengan Sinar, yang tidak menyangka jika Khatulistiwa menyimpan perasaan terhadapnya. Tapi setelahnya Sinar tersenyum dengan tipis, bahkan Khatulistiwa sendiri tidak menyadari itu. “Gua nggak suka lo kecentilan sama cowok lain, gua tau lo suka sama Bumi. Dan lo bener, gua nggak punya hak buat ngelarang lo”
“Siapa bilang gue suka sama Bumi, sok tau lo. Asal lo tau ya, gue juga cinta sama lo” Khatulistiwa begitu terkejut, dan menatap Sinar tidak percaya. “Gue cinta sama lo Tiwa”
Detik itu juga Khatulistiwa mengembangkan senyumnya, dengan salah tingkah dia memakai helmnya dan menyerahkan helm untuk Sinar. Sinar merasa kecewa, dengan Khatulistiwa dia sudah susah payah membuang gengsinya, tapi Khatulistiwa tidak memberi tanggapan apapun.
“Tiwa!, lo nggak mau nembak gue” “Enggak, gua nggak mau lo mati, lagian gua nggak punya pistol”
Bukk Sinar memukul kepala Khatulistiwa yang sudah berhelm, dengan helm di tangannya. “Jadi lo mau gantungin gue gitu aja, setelah lo tau tentang perasaan kita” “Mau digantung di mana?, yang ada nanti gua ditangkap polisi karena gantung lo” ucap Khatulistiwa sambil memundurkan motornya.
“Tiwa jangan bercanda, lo mau kita cuma sekedar komitmen. Gue nggak mau!, gue cemburu kalo liat lo deket-deket cewek lain” Sinar terus menggerutu di tempatnya berdiri. “Yaudah cemburu aja terus, karena itu artinya lo masih cinta sama gue” jawab Khatulistiwa dengan santai. “Dan lo nggak boleh cemburu, sama Bumi.” “Kok gitu!” Khatulistiwa merasa tidak terima, kenapa dia tidak boleh cemburu pada cowok sok keren itu. “Karena idola is number one, salah sendiri lo nggak jadiin gue pacar”
“Bukan gitu Sinar, gua mau kita saling cinta hanya sebatas sahabat saat ini. Gua nggak mau kita pacaran, terus gimana nanti kalo putus, persahabatan kita juga bakal putus.” “Tiwa, kalau pun suatu hari nanti kita nggak cocok lagi jadi pasangan, kita bakal tetap jadi sahabat.” Sinar mencoba memberi pengertian pada Khatulistiwa, yang menurutnya dia hanya takut mengambil resiko. “Nggak segampang itu Nar, jatuh cinta memang indah, tapi jatuh dari pengharapan itu teramat sakit rasanya. Kita nggak tau ke depannya gimana, seberapa parahnya luka kita nanti dan bahkan mungkin kita akan berpikir untuk menjauh dan meninggalkan satu sama lain, hanya agar bisa lepas dari luka itu. Lo berharga buat gua, lebih dari sekedar sahabat, lo adik di mata gua, temen, dan perempuan spesial yang sudah berhasil membuat gua jatuh cinta. Dan gua nggak mau, hati lo hancur karena gua Sinar.”
Sinar merasa hatinya menghangat, Khatulistiwa benar hubungan mereka kini tidak lagi sama. Sejak peryataan cinta keduanya tersampaikan, bukan lagi rasa kesal, sedih, atau senang yang akan menemani keduanya lagi. Cinta merubah segalanya, menambah rasa untuk selalu disayang, diperhatikan dan ingin terus perasaan bahagia menyelimuti, untuk selalu dirasakan setiap harinya.
“Besok, kalau lo udah nggak cinta sama gue bilang ya Tiwa, gue bakal minta lo ajarin gue buat menghilangkan rasa ini, biar gue nggak terus berharap” “Lo juga harus kayak gitu ke gua, tapi semoga kita memang jodoh nantinya. Meskipun hati kita pada akhirnya memutuskan untuk berpindah, asal kita tetap bersama pada akhirnya.”
Cerpen Karangan: Sy_OrangeSky Blog / Facebook: Siti maisaroh