Sayup-sayup mulai terdengar suara orang mengumandangkan azan subuh, tapi seorang gadis masih tetap bertahan memejamkan matanya hingga beberapa saat kemudian, samar suara itu tergantikan dengan iqomah.
Dia masih memejamkan matanya, menikmati sepersekian detik untuk menyambung tidurnya. Satu menit… dua menit… lima menit… sepuluh menit telah berlalu, mau tidak mau dia memaksakan diri untuk terbangun. Bergegas ke kamar mandi, mencuci muka lalu berwudhu.
Digelarnya sajadah yang sudah berumur miliknya dari jaman sekolah dasar, mengenakan mukena yang hampir kekecilan dan layak segera diganti. Dua rokaat telah tertunaikan, saatnya berperang menjalani rutinitas pagi, menyisir rambutnya yang kusut demi terlihat rapi meski belum mandi. Melipat selimut, dan merapihkan sprei agar enak dipandang.
Bergegas keluar menghampiri ibunya, yang sudah siap dengan plastik-plastik besar berisi sayuran.
“Sudah selesai sholat nak?” “Sudah, ayo Bu berangkat” Alana mengangkat dua platik besar, menjinjingnya di tangan kanan dan kiri.
Mereka berjalan menyusuri jalan, yang masih gelap. Sekali-kali berpapasan dengan orang yang baru keluar dari masjid. Dia harus bergegas sampai di pasar, sebelum hari menampakkan dirinya.
Jarak pasar 1 KM Dari rumahnya, di pertengahan jalan mulai banyak sepeda motor berlalu lalang, jalanan yang tampak petang langsung berganti cerah dalam sekejap.
Ketika sampai di pasar kerumunan orang mulai berdatangan, lekas Alana membantu ibunya-Suyatmi mengelar tikar lesehan di tempat ibunya biasa berjualan. Menata satu persatu sayuran segar, yang baru dipetik sebelum subuh tadi dari ladang mereka.
“Sudah Lan, pulanglah sana biar tidak terlambat. Lauk pauk semalam sudah ibu hangatkan, buat sarapan.” “Iya Bu, Lana pulang” ucapnya lalu menyalim tangan ibunya, berdiri dan menyela kerumunan yang padat dan berdempetan.
Alana keluar dari pasar melihat surya yang sudah mulai menyembulkan sinarnya, membuat cahaya kuning itu menyinari berbagai penjuru. Alana berlari agar cepat sampai, berburu mengejar waktu.
Tepat jam 06:20, dia sudah berdiri di balik pintu. Dengan badan penuh peluh, meraih handuk di balik gantungan pintu kamarnya. Mandi secepat mungkin, yang penting basah dan tersabun merata. Lekas memakai seragam putih abu-abu rok panjang, menyingsing tas yang berisi pelajaran hari ini, memasukkan bekal yang tidak sempat dimakan. Alana menghela napas, ketika dia tidak menemukan uang dua ribu yang biasa dia gunakan untuk membeli sebungkus roti dan segelas air kemasan, tidak ada di atas nakas televisi, yang berarti ibunya tidak punya uang saku untuknya hari ini.
Tepat jam dinding menunjukkan angka 07:05, yang berarti Ninda sepupunya akan sampai ke rumahnya sebentar lagi. Alana menunggu di kursi kayu ruang tamunya, waktu terus berjalan, jarum jam sudah berganti menit. Ini sudah lebih dari lima menit, dan sekarang sudah jam tujuh lewat sepuluh menit, tapi motor jemputan dari Ninda belum juga tiba. Alana mulai gelisah, ingin menelpon tapi dia tidak memiliki pulsa apalagi kuota, dengan ponsel butut miliknya yang hanya bisa digunakan untuk telepon saja.
Titt Suara klakson motor terdengar, Alana menghela napas karena Ninda masuk sekolah, jika tidak dia tidak tau harus pergi ke sekolah dengan apa, sepeda pun dia tidak punya. Alana keluar dan menutup kembali pintu rumahnya, dan melaju bersama motor yang dia boncengi.
Jalanan sedikit lenggang, anak-anak berseragam sudah tidak terlihat melewati jalan. Sepertinya mereka akan terlambat.
“Kenapa datangnya siang banget Ninda, ini kita pasti terlambat” gerutu Alana begitu kesal dengan Ninda, yang selalu datang hampir di akhir waktu mendekati bel. “Maaf tadi aku kesiangan, mana jam di rumah mati di angka enam. Jadinya aku pikir masih pagi, untung cuaca nggak mendung mana tau sudah terlambat kalau matahari nggak nonggol” “Alasan, memang kamunya saja yang tidak bisa menjaga waktu”
Dan benar saja mereka terlambat, sekolah tampak sepi kecuali di lapangan yang hampir terisi penuh barisan siswa yang terlambat. Alana dan Ninda mendekat setelah memarkirkan motor, di sana sudah ada Pak Anwar guru BK yang melototi mereka berdua.
“Kenapa kalian terlambat” Alana terdiam dan menyikut lengan Ninda untuk berbicara, karena dialah mereka terlambat.
“Anu Pak, jam di rumah saya mati” jawab Ninda. “Alasan, sini baris di sini” tunjuk Pak Anwar, pada barisan.
“Kalian ini benar-benar keterlaluan!, telat kok segininya. Lihat lapangan kita ini, penuh dari ujung ke ujung!, kalian niat sekolah tidak!, ini… ini wajah-wajah yang tidak asing sudah langanan ini, kalau ini berdua baru kali ini” Alana dan Ninda tertunduk dalam, mereka memang baru ini terlambat, tapi keterlambatan pada hari ini yang terparah di sekolahnya.
“Saya sudah capek, menasehati kalian setiap hari. Berdiri di sini sampai istirahat!, kalau perlu sampai sekolah bubar sekalian, biar kapok!!”
Alana dan Ninda menatap nelangsa punggung Pak Anwar, yang menjauh. Hari ini hari pertama mereka terlambat tapi harus menerima hukuman paling berat. Alana menengadahkan kepalanya, tampak matahari mulai tinggi, bendera berkibar dengan santernya di terjang angin. Membuat dia merenung, akan perjuangannya selama ini. Teringat kembali ucapan ibunya tempo hari di balik telepon dengan kakaknya.
“Kamu tenang saja Ar, adikmu sudah kelas tiga sebentar lagi lulus. Kamu sudah tidak perlu membiayai lagi uang sekolah adikmu, dia ‘kan tidak akan kuliah”
Alana menghela napas, haruskah ini akhirnya. Setiap hari dia bersikeras untuk datang ke sekolah, tapi inikah yang dia dapat nantinya, mengejar mimpi yang belum tentu untuknya.
“Kenapa?” Ninda heran pada raut wajah Alana, dia juga merasa bersalah karena ketidak disiplinan dirinya mereka terlambat. “Merenungi masa depan” “Sudahlah Lan, nggak usah dipikirin. Aku tau kamu nggak bakal kuliah, sama kayak aku. Nanti kita kerja saja dulu, ngumpulin uang. Kuliah ‘kan bisa kapan saja, siapa tau nanti uang hasil kerja kita bisa dipakai sambil kuliah. Sekarang yang perlu kita pikir itu bagaimana menyusun masa depan, biar duit banyak.”
Alana merasa Ninda benar, dia harus tetap semangat. Hari esok masih panjang, masa depan adalah rahasia tuhan. Selama kaki masih mampu berdiri, maka masih bisa digunakan untuk berlari.
Cerpen Karangan: Sy_OrangeSky Blog / Facebook: Siti maisaroh