Langit luzuardi terhampar indah membalut pagi yang cerah. Dengan semangat yang menggebu kupacu kencang pedal sepeda untuk mensejajari teman temanku yang telah lebih dulu berada jauh di depan.
Semerbak angin pagi kembali merekahkan senyumku tatkala kuingat hari ini akan banyak kegiatan di sekolah yang mungkin kan memaksaku untuk tidak dulu memedulikan Kanaya, seorang gadis kecil yang kini menduduki bangku sekolah menengah, adik kelas yang sudah satu tahun ini mengisi hari hariku yang tak pernah surut dari hobi yang kuciptakan sendiri.
Rekah sabit kembali tercetak jelas di bibir manakala mengingat betapa cerewetnya dia beberapa bulan ini. Kadang membuatku tak ayal ingin meremas dua pipi tomatnya yang kemerahan.
Menjadi idola di sekolah membuatku nyaris gila dengan banyaknya para gadis yang sering menodongku dengan banyak rayuan. Menggelikan memang, mereka yang tampak imut imut di usianya, kadang kudapati liar juga tatkala sering memaksaku untuk sekadar menerima bekal makanan yang konon katanya- buatan tangan mereka sendiri.
Aku bukan kalangan anak yang lahir dari sepasang orangtua dengan harta yang gemilang sampai tujuh turunan. Hanya dibekali otak yang pintar, serta beberapa keberuntungan lainnya yang kerap membuatku ramai pujian oleh guru guru, turut teman temanku, sehingga terciptalah sebuah guyonan teman sekelas yang menyebutku ‘primadona kelas’.
Meski begitu, tak pernah kudapati mereka dengki atau semacamnya padaku. Dan aku sungguh tak menyia-nyiakan itu. Seperti kata pepatah ‘Hal yang bisa selalu aku lakukan untuk sahabatku adalah menjadi sahabatnya’. Begitu kira kira kutipan yang pernah kubaca dari buku Mr. Henry David Thoreau, seorang penulis dan filsuf dari Amerika serikat.
—
“Kak Angga.” Sebuah suara yang tak asing di telinga membuatku sejenak menghentikan aktifitas bermain basket. Kuseka keringat di dahi lantas mengkode teman-temanku untuk menghentikan sekejap permainan kami.
“Kenapa?” Tanyaku seusai meneliti wajahnya yang tampak kusut masai. “Tiap hari aku nungguin kakak sampai jam 5 sore gak dateng dateng. Kakak kemana aja sih selama ini?” Lontarnya membuatku mengingat beberapa hari ini aku meninggalkan Kanaya belajar sendiri tanpa mengabarinya terlebih dahulu. Ah ya, aku benar benar lupa untuk menemani Kanaya belajar di rumahnya. Dulu semenjak pertama kali dekat dengan Kanaya ia mengajakku untuk belajar bersama di rumahnya, katanya ada beberapa pelajaran yang ia tak mengerti. Jadilah aku dengan senang hati menemaninya belajar tiap sore. Memberinya pemahaman pelajaran apa yang nanti akan dia dapatkan di kelas barunya.
Sikap ibu dan ayahnya yang ramah membuatku semakin betah berlama lama di rumah itu. Belum lagi wajah polos Kanaya yang sering menyita pikiranku tiap malam. Sepasang mata hitam bening, dihiasi bulu mata lentik yang tak kalah lebat dari rambut hitamnya yang bergelombang. Hidung kecil bangir serta bibir merahnya yang mungil membuatku sangat bahagia tatakala bisa dengan puas kupandangi semua itu saat ia tengah hanyut dalam penjelasan yang kuberikan.
Namun beberapa hari ini aku begitu asyik menggeluti permainan catur yang diadakan tiap sore bersama teman temanku, bahkan aku sampai tak mendengar bunyi telfon yang kutaksir ada 10 panggilan tiap harinya. Entahlah, aku lupa lagi. Dan setelahnya aku tak menelepon balik sebab kupikir Kanaya tak akan marah jika kutinggalkan belajar untuk beberapa hari saja. Toh ia bisa belajar dengan teman temannya juga.
Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Sempat tak yakin alasan yang kuutarakan akan berhasil meluruhkan cemberut di wajahnya.
“Mm, kakak lupa nay, maaf ya. Sore nanti kakak ganti ya. Mau?” “Harusnya kakak kabari aku kalo emang ada kepentingan lain, aku nggak maksa kakak kok, tapi seenggaknya kakak kabari aku dulu biar aku nggak ngarep kakak datang kalo emang kakak ada kesibukan.” Ucapnya menahan tangis.
Kuberi usapan kecil di pucuk kepalanya seusai kuselipkan beberapa anak rambut yang menjuntai berayun diterpa angin. “Maaf, ya? Kakak janji gak akan ulangin itu.” Ucapku berharap tak ada air mata yang kan menganak sungai dari kedua sudut matanya. Dia mendongak dengan mata yang berkaca kaca.
“Kakak bahkan sekarang jarang balas pesanku.” Lontarnya lagi dengan kolam mata yang bergetar.
Kembalik kuusap pucuk kepalanya lantas membawanya duduk di bangku yang tersedia di sisi lapangan. “Maaf,” Bisikku pada daun telinganya.
Kali ini dia mendongak dengan senyuman tipis di bibirnya. Aku tau saat ini dia berusaha menutupi kesedihannya. Ah aku sampai merutuki diriku sendiri dalam hati, ‘mengapa perempuan harus secengeng ini sih’. Membuat serba salah saja.
—
Sore ini kembali ruang depan rumah bundaku riuh oleh gelegak canda teman teman dalam permainan catur. Jujur saja satu bulan belakangan aku dan teman teman sekelas memang lebih sering berkumpul untuk sekedar mengobrol atau bermain bareng. Sebentar lagi kami akan ujian kelulusan. Semoga saja kenangan yang kami ciptakan turut memberi kesan betapa masa remaja kami sangatlah berarti.
Dering ponsel membuyarkan fokusku saat ikut hanyut pada permainan teman temanku. Tertera di depan layar seorang yang akhir akhir ini banyak membuatku gerah sendiri. Ah, apakah aku sudah tidak mempedulikan kanaya? Pasalnya kurasa aku bosan dan jengah juga ditelepon terus menerus seperti ini. Aku juga punya kesibukan sendiri dan tentunya tak bisa selalu menemaninya belajar. Sayang sekali untuk mengutarakan alasan kadang aku merasa tak tega sesaat setelah melihat wajahnya yang manis. Tutur katanya yang lembut kadang membuatku urung untuk menyampaikan semua itu.
“Kakak dimana? Jadi kesini gak? Bunda aku udah nanyain terus lho. Kata bunda sekarang Kakak jarang banget main kesini.” Suara manja Kanaya terdengar sesaat setelah aku mengangkat telfon.
“Kakak sibuk Nay, maaf ya kakak gak jadi kesana lagi..” “Kakak sibuk terus tiap hari. Waktu buat nemenin Naya belajar mana?” “Naya bisa belajar bareng temen temen yang lain kan, jangan egois dong. Kakak juga punya kesibukan sendiri Nay, gak bisa terus nemenin kamu belajar. Lagian kamu emang gak ikutan eskul? Bentar lagi kan ujian. Kakak juga lagi sibuk nyiapin persiapan ujian kelulusan nanti.”
Hening. Tak ada jawaban.
“Yaudah, kakak tutup telfonnya ya.” Ucapku ingin segera mengakhiri percakapan. “Hmm.” “Met belajar Kanaya, yang semangat belajarnya jangan sambil ngemil.” Aku memutus panggilan sepihak. Mengabaikan perasaannya yang mungkin saja marah padaku. Biarlah, dia perlu memahamiku sesekali. Aku yakin besok moodnya akan membaik lagi.
—
Pagi ini aku kembali mengayuh pedal sepeda ku sambil sesekali bernyanyi kecil sekedar mengimbangi kicauan burung yang tak henti hentinya meramaikan pagiku di jalanan beraspal ini.
Jalanan masih terlihat lengang oleh pengendara sepeda. Ah mungkin aku terlalu bersemangat hingga lupa bahwa ini terlalu pagi.
Setelah memarkirkan sepeda. Kuayunkan langkah menuju ruang kelas. Jauh di depan pintu kulihat seseorang melambaikan tangannya padaku. Aku terheran. Sampai saat aku berdiri tak jauh di depannya barulah aku tau dia adalah Dea teman sekelasku. Aku tersenyum membalas senyumnya yang sempat tak kubalas tadi. Dia mengeluarkan sekotak makanan dengan satu botol minuman padaku. Aku mengernyit heran. Lalu menunjuk diriku sendiri menatap dengan tanya.
“Untukku?..” “Iya, semoga suka ya,” Ucapnya malu malu. Aku hanya mengangguk tersenyum menghargai pemberiannya lantas berterima kasih.
Setelah menyimpan tas dan memasukkan kotak makanan. Aku hendak berdiri sebelum seseorang mengejutkanku dengan menyergap tanganku tiba tiba. Aku sempat terperanjat. Lalu menoleh kesal. Tampak raut wajah sedikit takut melihatku yang hampir ingin memukulnya.
“Maaf kak Angga.” Kanaya berucap lirih menundukan pandangannya terhadapku. “Pagi pagi sudah bikin jantungan saja. Kenapa sih Nay,” Ucapku kesal. Kanaya masih menunduk seraya memainkan ujung sepatu.
“Naya cuma mau kasih ini..” Lontarnya lantas memberikan sekotak bekal makanan lengkap dengan satu botol minuman yang kutaksir jus didalamnya.
Aku menatapnya ragu. Dua bekal makanan dengan dua botol minuman, siapa yang akan menghabiskan?
“Tidak perlu, kakak sudah bawa bekal dari rumah.” Tolakku setelah beberapa saat bergeming memantapkan hati menolak pemberian Kanaya.
Kanaya mendongak. Ditatapnya aku tanpa berkedip. Bola matanya menyiratkan kekecewaan. Aku segera mengalihkan pandangan. “Tapi ini Kanaya yang bikin sendiri buat kakak.” Ucapnya menahan Isak. “Tetap gak bisa kakak terima nay, Kakak udah bawa bekal dari rumah. Nanti siapa yang habiskan? Kakak gak sanggup kalo harus makan dua kotak plus dua botol minuman sekaligus.” Tolakku pongah. “Kakak jahat!!.” Sentak Kanaya yang langsung berbalik pergi meninggalkanku. Aku tak menyusulnya. Tentu saja aku tidak salah sehingga harus mencegahnya pergi bukan? Aku terlalu keras kepala dan percaya diri bahwa nanti dia akan kembali ceria dan memintaku menemaninya belajar lagi.
Cerpen Karangan: Qeenan Facebook: facebook.com/bia.nauma