Bel berbunyi menandakan jam istirahat baru saja dimulai. Aku dan teman teman lelakiku memutuskan istirahat sambil makan di kantin. Kami makan bersama sambil sesekali bergurau. Kadang membahas permainan catur yang begitu asyik sore kemarin. Kadang membahas perihal sejauh mana persiapan kami dalam menghadapi ujian nanti. Sampai tak terasa bel pun kembali berbunyi. Kami lantas bersiap masuk ke kelas. Berjalan melewati koridor. Mataku awas menatap seseorang yang tingginya tak lebih jauh dari bahuku.
“Ngapain nay, kenapa belum masuk kelas?” Tanyaku menyunggingkan senyum bangga. Berhasil membenarkan pradugaku bahwa apapun yang terjadi Kanaya akan tetap mencariku.
“Nanti malam Naya mau rayain ulang tahun di rumah. Kakak dateng ya, please??!!” Ucapnya memohon. Aku tersenyum kembali mengingat betapa manisnya Kanaya ku ini. “Jam berapa?.” Tanyaku membuatnya tersenyum penuh arti. “Jam tujuh kak..” Aku mengangguk lantas mengusap kepalanya lembut. “Gih masuk kelas, udah pada masuk semua tuh.” Kanaya mengangguk mengacungkan jempolnya. “Jangan sampai lupa ya kak.” Ucapnya lagi terdengar bersemangat. Aku mengacungkan dua jempol menanggapi ucapannya.
—
Sorenya beranda rumah bunda kembali riuh. Kami larut dalam obrolan serta permainan yang tak menjemukan. Aku ikut bermain melawan kandidat yang terus menerus menang sejak permainan dimulai.
Seperti sedang berlomba tingkat nasional saja tingkah kami saat ini. Sampai pada akhirnya akulah yang memenangkan permainan itu. Tawa kami berderai meramaikan suasana sore dengan rona jingga yang tersulut di pojok pojok jalanan.
Setelahnya mereka berpamitan pulang sesaat sebelum adzan magrib berkumandang. Aku lantas membereskan piring makanan yang tergeletak sembarang. Lantas menaruhnya di wastafel. Membantu bunda yang tengah sibuk menata piring makanan di kulkas, aku mengambil spon lantas memulai mencuci piring piring yang kotor itu.
“Biar bunda saja Ngga, ini bunda udah selesai kok” Ucap bunda mendekat. “Gak papa bun, Bunda kerjain yang lain aja. Lagian cuma sedikit kok” Bunda tersenyum lantas mengangguk kembali menata isi kulkas.
“Naya kok gak pernah main kesini lagi ngga.” Lontar bunda mengingatkanku pada sesuatu. Aku menepuk jidat pelan. Biarlah selepas shalat nanti langsung kucari kado untuk Kanaya dan langsung ke rumahnya. “Mungkin Kanaya sibuk nyiapin buat ujian Bun. Angga sempet beberapa kali gak nemenin belajar di rumahnya juga jadi gak tau.” Jawabku terus terang. “Ooh gitu ya, kamu juga jangan lupa belajar ya. Jangan sibuk catur terus” “Siap bunda.” Jawabku mengacungkan jempol yang masih berbusa.
—
Drrt drrt. Getar ponsel kentara terdengar selepas beberapa kali kuabaikan. Aku mengucek mata perlahan mengumpulkan sisa sisa kesadaranku yang belum sepenuhnya.
Kulipat sajadah lantas bergegas mengecek ponsel yang terletak di meja belajarku. Aku terlonjak melihat jam di hanphoneku seusai kusampirkan lipatan sajadah pada sandaran kursi belajar.
Pukul 09.20. Aku tersentak. Dua puluh panggilan masuk dan beberapa pesan wasap baru. Aku mengacak rambut frustasi. Sepertinya aku ketiduran selepas shalat magrib tadi. Benar benar pulas sehingga suara ponsel saja tak kudengar sama sekali. Aaargh, rutukku. Memikirkan apa yang akan kukatakan pada Kanaya setelah ini.
Tiba tiba wajah memelas Kanaya saat memintaku datang terlintas di mataku. Buru buru aku meneleponnya balik. Satu panggilan, dua panggilan belum juga diangkat. Sampai akhirnya panggilan ketigaku tersambung.
“Hallo nay,” Ucapku mengawali pembicaraan. “Nay? Kamu disana kan?” Tanyaku cemas.
Hening. Hanya suara Isak tangis yang terdengar lirih. Hatiku sedikit bergetar.
“Nay, maaf..” Tak ada jawaban. Aku tak berani berbicara banyak untuk sekedar memberi alasan.
“Kak Angga” Suara Kanaya terdengar serak di seberang. Membuatku segera menyaut ucapannya. “Ya dek Naya..” Kanaya mendesah. Aku bisa menebak kali ini dia tengah salah tingkah mendengar ucapanku.
“Maaf ya kalo selama ini Naya nyusahin Kaka terus. Naya.. Naya janji gak akan gitu lagi.” Sambungnya parau. Aku menelan ludah. Baru menyadari betapa apa yang kulakukan akhir akhir ini begitu membuatnya sesedih ini. “Udahlah nay, gak usah gitu. Kakak minta maaf gak bisa dateng tadi. Kakak ketiduran.” Ucapku enteng, enggan menjelaskan lebih jauh apa yang terjadi sore tadi. Sekali lagi, aku terlalu angkuh menilai Kanaya yang hanya kuanggap sebagai gadis kecil yang membutuhkan aku.
Setelahnya hanpdone kumatikan sepihak, seusai beberapa kali kupanggil Kanaya tanpa ada jawaban di seberang.
—
Setelah kejadian itu kami tak pernah bertemu sebab disibukkan persiapan ujian yang benar benar menguras waktu dan otak. Aku juga tak pernah mengiriminya pesan untuk sekedar menanyakan kabarnya, pun Kanaya yang kurasa akhir akhir ini jarang memberiku kabar. Namun beberapa kali aku sering melihat Kanaya berbincang dengan Dimas, adik kelasku. Mereka terlihat akrab meski kutaksir perkenalan mereka belumlah selama perkenalan Kanaya denganku. Ingin kusapa tapi ada rasa enggan. Biarlah dia saja nanti yang pertama kali menyapaku. Toh selama ini selalu dia yang membutuhkan aku akhirnya. Aku mengedikkan bahu enteng melihatnya kini berpegangan tangan berjalan menuju gerbang.
Hingga hari terakhir dimana ujianku telah selesai. Rian tergopoh gopoh berlari menuju ke arahku.
“Oi bro..” Sapanya menepuk pundak. Aku mengangkat kedua alis tinggi tinggi. “Lanjut kemana setelah lulus nanti..” “Belum tau, masih nyusun rencana ini.” Jawabku terus terang. “Yaah.. kupikir udah ada rencana gituu. Oh iya, masih sama Kanaya kan Lo?” Aku mengernyit heran seusai kalimat terakhir yang Ryan ucapkan. “Maksudnya?” “Noh liat” Ucapnya seraya menunjuk arah gerbang.
Mataku memanas melihat Kanaya tertawa riang seusai seseorang mengacak rambutnya dengan gemas. Tanpa sadar kakiku melangkah panjang mempertegas rasa yang meledak di dalam dada.
“Kanaya..” Panggilku sukses membuat dua manusia di hadapanku menoleh.
Aku memangkas jarak lantas menggamit lengan Kanaya tanpa canggung. Kanaya menatapku datar. Mendapatiku yang terus melayangkan tatapan tajam, Dimas hanya tersenyum. Tak kulihat ia akan membalas tatapanku walau aku telah sedemikian rupa menatapnya dengan beringas. Anehnya Dimas hanya sedikit berbasa basi bertanya kabar serta perihal ujian terakhirku. Setelahnya ia berpamitan pada Kanaya dan padaku untuk pulang lebih dulu. Aku tersenyum miring. Secepat kilat melayangkan pandangan pada Kanaya. Yang kupandang hanya terpaku dengan tatapan kosong ke depan.
“Hei.. mikirin apasih.” Ucapku memecah keheningan.
Kanaya mendongak. Ia tersenyum tipis lantas menggeleng pelan. Kusadari perubahan wajahnya yang tak sama. Dengan tetap menggamit lenganku aku memapahnya berjalan.
“Naya apa kabar..?” Tanyaku tanpa basa basi. “Baik.” Jawabnya tanpa ekspresi.
Aku tak menyerah. Kuberondong ia dengan beberapa pertanyaan. Namun yang dia berikan tetap dengan tanggapan sederhana. Kadang aku menggodanya dengan menjawil hidungnya. Kanaya hanya tersenyum tipis membuatku jengah sendiri.
“Nanti sore belajar bareng ya, kakak ke rumah kamu nanti jam tiga-an.” Rayuku lagi berharap mendapatkan kembali senyumannya. Kanaya hanya tersenyum lantas melepas tangannya dari genggamanku. “Ujiannya udah selesai kak, sekarang tinggal tunggu hasilnya aja..”
Aku tertegun. Menyadari bahwa Kanaya kini telah jauh berbeda dengan Kanaya yang dulu lebih banyak berbicara saat di depanku.
“Disini panas ya, padahal anginnya sejuk. Kenapa ya..?” Tanya Kanaya menatapku yang masih berdiri mematung. “Itu sebab langitnya mendung. Awan yang menutupi permukaan bumi membuat suhu semakin…” “Bukan kak. Awannya bukan di permukaan bumi. Tapi di wajah kakak.” Serunya yang sukses membuatku tak lagi merasa punya daya untuk berucap.
Cerpen Karangan: Qeenan Facebook: facebook.com/bia.nauma