Ferdi, temanku selama 6 bulan. Dia sosok teman yang jauh berbeda dengan yang lain. Bukan karena prestasi, status ekonomi, ataupun penampilan. Kusebut dia si tegar, karena itulah sebutan yang tepat untuknya. Ferdi adalah temanku di kelas 8.
Di hari ke-5 tahun ajaran baru kelasku dihebohkan karena bu guru mendapati siswa yang tertidur lelap di kelas hingga pelajaran usai. Keesokan harinya, itu kala pertama aku menyapanya. “Haii,” sapaku “Hai juga,” sahut Ferdi “Benarkah kamu kemarin tertidur?” “Iya” “Kenapa? Kamu kurang tidur?” “Ikut pakdheku hajatan di desa seberang” “Lhoo, kamu penyanyi atau pemain musik?” “Hahaha…, ada ada ae. Aku ikut pakdhe, juragan terop dan sound system, dimana terop disewakan tentu aku ikut kerja” “Oalah gitu, keren lu bro, bisnis sejak dini” Dengan santainya, cuek dan tanpa beban dia berjalan menuju bangkunya menaruh tas kumuhnya sambal berkata “Eh, Sya doakan seminggu kedepan teropku ramai job biar bisa beli tas. Tas apa… sepatu yo…? Wes sembarang, doakan yoo…” “Oke oke” “Ya Allah, berilah Ferdi rezeki barokah dan Kesehatan. Aamiin Ya Rabbal Alamin,” doaku dalam hati.
Seminggu berlalu. Pagi ini aku berangkat sekolah lebih pagi dari biasanya karena tugas piket. Di jalan punggungku ditepuk seseorang. Aku terkejut dan sempat menggerutu. Jalanku lho… sudah dipinggir, bahkan turun dari aspal. Siapa sih? Ehh… ternyata si Ferdi. Seketika kusambut dengan lambaian tangan. Kulihat dia menggayuh sepeda tanpa alas kaki. Kenapa…? Tapi Alhamdulillah, tasnya baru.
Hari itu kukerjakan tugas piket kelas sambal menunggu kedatangan si Ferdi. Seperti biasa dia selalu ceria. “Wah, ada yang baru nih,” bisikku saat dia melintas di sebelahku “Terima kasih doanya yaa,” katanya sambil tersenyum “Ya, sama sama,” jawabku Kulihat dia sudah bersepatu tapi… tampak dia berjalan tidak semestinya. “Ferdi, mengapa jalanmu seperti itu?,” tanyaku “Gak papa, sepatuku semakin hari semakin kekecilan,” jawabnya dengan singkat “Pantas saja saat mengayuh sepeda dia tidak memakai sepatu,” kataku dalam hati Oh… Ferdi. Lalu kenapa dia lebih mendahulukan membeli tas daripada sepatu? Ahh sudahlah dia pasti sudah mempertimbangkannya.
“Sepatumu ukuran berapa?,” tanyaku “40, kenapa?,” jawabnya. Kuingat di rumah ada sepatu nomor 40 yang sudah kecil untukku dan masih layak pakai. Kucoba tawarkan padanya. “Ntar pulang sekolah ke rumahku Fer” “Ada apa,” “Emm… kalau kamu mau coba sepatuku yang di rumah, mungkin masih bisa dipakai,” kataku sambal berbisik “Benarkah, ya ya oke ntar pulang tak gonceng,” jawabnya dengan bersemangat.
Alhamdulillah, sepatunya pas. Setelah hari itu, aku dan Ferdi jadi sahabat. Dia selalu cerita dan tidek pernah mengeluh walaupun bagiku kehidupannya sungguh sungguh penuh perjuangan.
Menjelang UAS semester ganjil, ada berita duka. Ayah Ferdi meninggal dunia karena kecelakaan kerja di proyek bangunan. Kami, seluruh teman kelas takziah ke rumahnya. Ya Allah ternyata rumahnya sangat jauh. Setiap hari dia harus mengayuh sepeda untuk ke sekolah. Penuh perjuangan.
Akhir Desember, Ferdi ke rumah untuk berpamitan. Ia pindah sekolah ke luar kota. Ia bersama ibu dan adiknya pindah rumah. Mereka akan tinggal bersama kakek neneknya di Blitar. Ketegaran Ferdi, kukenal hanya 6 bulan. Tetapi semangatnya untuk terus bersekolah patut kuacungi jempol. Allah selalu memberi jalan terbaik untuk anak setegar dirimu.
Cerpen Karangan: Rassya Endi Nawwar Blog / Facebook: Rassya Gmg Rassya Endi Nawwar IX-H/27 SMPN 1 PURI