Lima tahun adalah waktu yang tidak mudah bagiku. Aku memang terlahir dari orang yang berada. Dari kecil aku tidak pernah kesusahan. Aku anak kedua dari tiga bersaudara. Aku menginjak usia 17 tahun, dimana waktu itu aku masih bersekolah duduk di kelas 11 SMK.
Tepat dimalam hari itu, tiba-tiba ada perkelahian hebat antara mama dan papaku. Aku juga tidak tahu apa yang melatarbelakangi mereka bertengkar. Padahal biasanya baik-baik saja.
“Ya sudah kalau mau pergi, pergi saja sekarang. Bawa anak-anakmu sekalian, jangan pernah kamu menginjakkan kaki disini lagi,” bentak papaku dengan nada tinggi sambil mengusir mama untuk keluar dari rumah. “Oke, aku akan pergi sekarang juga,” bentak mamaku, memanggilku dan kakakku untuk pergi dari rumah malam itu juga. Aku mulai bingung bagaimana besok aku akan pergi ke sekolah. Sedangkan mama mengajak aku pergi tidak membawa sepeserpun uang.
Keesokan harinya, aku memberanikan diri untuk pergi ke rumah papa. Aku ingin meminta uang untuk biaya sekolahku dan kehidupan sehari-hariku. Sedangkan mamaku hanya sibuk dengan kakakku dan tidak mempedulikan aku, seakan-akan aku ini bukan anaknya.
“Ya allah gimana ya kalau nanti papa mengusirku,” ucap batinku sambil berjalan menuju rumah papa. “Biamillah aja dulu deh,” aku yakinkan diriku
Sesampainya di rumah papa, aku melihat adik laki-lakiku yang ingin berangkat ke sekolah. “Hai, papa dimana dik?” tanyaku. “Ada didalam, baru saja masuk,” jawab adikku sambil menunjuk ke dalam rumah. “Ada siapa sayang,” sahut papaku dari dalam rumah. “Ini ada kakak pa,” jawab adik laki-lakiku. “Ada apa lagi kamu kesini,” ucap tegas papaku. “Itu pa, aku boleh nggak minta uang buat bayar sekolah,” ucapku meminta dengan nada lembut. “Papa nggak ada duit, sudah pergi sana,” ucap papaku mengacungkan jari tangannya menyuruhku pergi dari rumah. Dengan kesal dan sakit hati atas perlakuan papa kepadaku akupun pergi.
Di perjalanan aku menangis tidak tahu mau berbuat apa. Aku seperti orang yang dilahirkan tidak berguna di dunia ini. Aku memutuskan untuk tidak bersekolah lagi. Karena aku tidak memiliki banyak biaya untuk bersekolah. Kedua orangtuaku tidak ada yang perduli kepadaku.
Untuk menghilangkan rasa sedihku, aku memutuskan untuk pergi ke rumah temanku. Aku menceritakan semua masalah yang aku hadapi beberapa hari kemarin. Aku meminta izin kepadanya untuk tinggal di rumahnya sementara waktu. Paginya aku berinisisatif untuk mencari pekerjaan. Ternyata tidak sesuai bayanganku. Aku fikir mudah mencari pekerjan, ternyata susahnya minta ampun. Aku sudah pergi kesana kemari, namun tidak ada hasil.
Malam hari itu aku pulang ke rumah sahabatku. Menceritakan aktifitas pagi hariku tadi. “Ehh lo tau nggak sih cari kerja ternyata susah banget, padahal aku sudah ngelamar kesana kemari tetapi tidak ada satupun yang mau nerima aku,” curhatan hatiku pagi tadi. “Siapa juga yang mau nerima lo, orang sekolah saja nggak sampai lulus, nggak punya ijazah lagi,” ucap temanku. “Iya juga sih, terus gua harus ngapain biar gua dapat duit,” ucapku meminta saran. “Ya sudah lo diem di rumah gua aja, buat masalah makanan nggak usah difikirin anggap saja rumah sendiri,” jawab temanku mengelus punggungku. “Aku nggak enak tau sama ibumu,” ucapku.
Merasa nggak enak, akhirnya aku meminta izin kepada ibu temanku. Untuk sementara waktu tinggal di rumah dia. Ibunya mengizinkan aku untuk tinggal di rumahnya.
Tiga bulan kemudian, aku berinisiatif membuka sebuah toko roti. Tetapi, aku tidak punya modal untuk membuka usaha itu.
“Sara,” panggilku. “Iya ada apa,” jawabnya dari arah dapur. “Sini deh bentar” panggilku mengajak ke kamar. “Iya kenapa?” tanyanya. “Eee itu, aku boleh nggak pinjam uang buat modal usaha, nggak enak tahu tinggal di rumah orang, nggak kerja lagi,” ucapku. “Mau pinjam berapa?” tanyanya. “Secukupnya aja deh buat buka toko aja kok, nanti kalau aku sudah sukses aku ganti uangnya,” ucapku meyakinkan dirinya. “Nihh,” menjulurkan segebog uang kepadaku. “Ihh banyak banget,” ucapku kaget. “Udah nggak apa pake aja dulu,” jawabnya senyum ramah. “Terimakasih ya, aku janji nanti bakal aku ganti kalau usahaku sukses. Do’ain ya,” ucapku. “Pasti,” jawabnya.
Keesokan harinya aku mencari sebuah lahan yang cocok untuk membuka sebuah toko di facebook. Akhirnya aku menemukan lahan itu, kebetulan tempatnya tidak jauh dari rumah temanku. Awalnya aku hanya membuka toko kecil saja dan menjualnya online. Sedikit demi sedikit terkumpul uang, walaupun nggak banyak yang penting dapat buat makan.
Lima bulan kemudian, entah keajaiban dari mana akhirnya aku bisa mempunyai kariyawan. Hari terus berlalu, usahaku semakin sukses dan banyak sekali yang membeli.
Satu tahun berlalu, akhirnya aku bisa mendirikan sebuah toko kue yang besar dan megah. Kariyawan aku juga semakin banyak. Atas do’a temanku aku bisa sampai di titik ini. Walaupun mama dan papaku tidak perduli denganku, setidaknya ibu temanku yang menjadi semangatku.
“Wah kamu sekarang sukses ya, menjadi bos muda” ucap Sara teman yang dulu menemaniku dan menyemangatiku dari nol. “Ini juga berkat semua do’a dan semangat darimu, terimakasih ya,” ucapku sambil memeluknya. “Iya sama-sama,” jawabnya sambil memeluk erat tubuhku. “Nih uang yang dulu kamu pinjami ke aku,” ucapku menjulurkan sebuah uang. “Apaan sih, sudah nggak usah” jawabnya menolak uang dariku
Pada akhirnya aku bisa sukses dengan kerja kerasku sendiri. Aku akan selalu mengingat orang yang membantuku sampai titik dimana aku menjadi diriku yang sekarang. Terimaksih orang baik.
Cerpen Karangan: Febriana Putri Ameliya Blog / Facebook: amlyafp_ SMPN 1 Puri