Refleks menutup mata ketika silauan cahaya dari kepala mulus manusia berkumis didepanku, Pak Kemong namanya. “Pagi Om.” sapaku dengan bibir terangkat keatas mengulas senyum. “Om? Om? Kapan nenekmu menikah dengan ibu saya?” “Om sinting ya?” dengan tertawa aku bertanya jadi sedikit tertahan-tahan. “Heh, kurang ajar kamu, yang sopan! By the way saya ini manusia waras.” “Om.. Om, mana mau nenek saya nikah sama ibu anda. Yang bener tuh nenek saya nikah sama bapaknya Om.” “What? Apa saya bilang begitu?” “Nehi-nehi, udah ah, saya mau kelas dulu Om. Bye-bye.” pagi itu indah jika diawali dengan bercanda tawa kan. “Ya, yang rajin.” spontan kepalaku mengangguk dan memberikan kedua ibu jari tanganku pada Pak Kemong.
Meskipun pagi dan waktu menunjukkan jam 6:20 kelas-kelas sudah dipenuhi manusia berseragam putih abu-abu. Sebelum memasuki kelas aku lebih memilih membelokkan diri ke kanan. Yang mana di atas depan ruangan itu terdapat spanduk bertuliskan “Kantin Bunda Ayah”.
“Bunda.” sapaku riang sedikit berteriak. “Iya, permennya ada varian rasa baru nih.” jawab bunda dan menebak apa yang memang sedang kucari. “Hehehe, bunda tau aja. Harganya gak berubah varian juga kan Bun?” tanyaku bercanda. Bunda hanya melempar senyum tanpa niat menjawab. Pertanyaan yang memang konyol binti iseng karena dikotak itu sudah terpampang jelas harganya.
“Nih Bun, kembalian sembilan belas ribu.” “Kamu ini niat beli apa nukar duit kecil?” “Dua-duanya.” balasku diakhiri tawa. “Kelas dulu Bun.” pamitku meninggalkan area.
“Pagi best freind sekalian.” sapaku lantang dan keras memasuki ruang kelas. “Bising pagi-pagi.” sewot Regil menatapku sinis mengibarkan bendera perang. “Lo tunggu pulang sekolah depan pagar.” tantangku sambil menunjuk dirinya. “Apa?” tanyanya menaikkan dagu. “Mau nebeng! Apa Lo?” “Lagi kere ya? kasian.” ejeknya mecibirku. “Lo tau makhluk yang tubuhnya berbalut rambut dan punya ekor.” Belum selesai kuteruskan terlanjur dipotong Senna. “Sukanya makan pisang, hidup di pohon dan hutan.” Lalu dilanjutkan Kymni “Ya benar, lo emang mirip sama Kera.” ucapnya begitu semangat dan antusias, yang kami lanjutkan tertawa terbahak-bahak. “Lo emang bestie gue Kymni.” ucapku semangat empat lima. “Gua bakal selalu disisi Lo bestie.” lanjut Senna. “Thanks bestie.” balasku merangkul bahu Senna dan Kymni.
“Kapan gua bilang setuju hah?” tanya Regil bingung. “Ya karena lo diam aja bego!” balas Kymno sahabat Regil. “Diem lo, mentang-mentang Lo dan Kymni sodaraan, lo ninggalin gue sendiri.” Serunya mendrama. “Tobat bodoh! Malah gua yang nanya kalo Ino belain lo.” Bela Kymni setelah itu melempar senyum ke Kymno, entah kenapa dua sodara kembar itu pagi ini teramat akur. “Ganti seragam! seperempat jam dari sekarang!” tegas Fuad ketua kelas kami, yang sudah memegang seragam olahraga ditangannya.
Setelah berganti pakaian, kami berkumpul dilapangan saat Pak Prato meniup peluitnya. Seusai pemanasan dan lari keliling lapangan pagi ini kami belajar dan praktek bermain voli yang benar. “Dasar-dasar permainan voli kalian sudah paham?” tanya Pak Prato “Siap paham.” jawaban yang serentak, ya memang begitulah jika menjawab pertanyaan Pak Prato guru olahraga. “Ada yang ditanyakan, kalau tidak langsung praktek saja?” “Jelaskanlah sedikit dulu Pak.” pernyataan Kimny yang diangguki murid perempuan kebanyakan. “Fuad, praktekkan posisi tangan saat passing atas dan bawah.” Pak Prato menunjuk Fuad yang tak dapat tergantikan lagi. “Bapak saja, nanti saya kebanyakan salah.” sanggah Fuad.
“Ehm ehm ehm?” “Kenapa Senna?” tanya Pak Prato pada Senna seperti sakit tenggorokan. “Si Imny Pak, sengaja tuh minta bapak jelasin biar yang maju Fuad. Kan jelas kalo bukan Fuad ya siapa lagi yang bakal bapak tunjuk, piwwpiww Kymni udah berapa kebun berbunga-bunga hati lo?” goda Senna tak henti-henti. “Ih, gak ya Senna ngarang Pak, Ino help me! Senna jahat.” adu Kymni pada Kymno. “Lagian, ngapain sih pake minta jelasin-jelasin. Kan lo sering lihat orang-orang main voli di lapangan taman.” tanya Kymno dengan raut wajah kesal. “Udah deh, Fuad maju sana! Tinggal praktekin kalo salah nanti dibenerin, ya gak Pak?” jelasku.
“Betul Tia, kamu aja yang praktekin sini!” “Saya Pak?” tanyaku meyakinkan. “Apa di kelas kalian ada murid baru?” sindir Pak Prato dengan bertanya pada teman-temanku, dan ya tak ada yang memberi anggukan kepala, pastinya. “Pak! Saya mintanya bapak bukan teman-teman saya!” jelas Kymni. “Iya Pak kan gurunya bapak, bukan Fuad bukan Natia.” ya benar! nama lengkapku Natia seperti ucapan Senna.
“Sama saja bukan? Nanti kalau ada salah, saya bisa memperbaiki kesalahan kalian, hingga kalian tau bagaimana salah dan benarnya. Jadi kalian akan mengingat kesalahan kalian yang tidak bakal dilakukan lagi. Jika kalian tau benarnya saja akan mudah dilupakan, pengalaman kalian sendiri itu lebih melekat pada ingatan kalian. Paham?” terang Pak Prato. “Siap paham.”
“Maaf Pak saya terlalu banyak bicara dan salah pula tuh. Maaf ya Pak.” ucap Senna tulus meminta maaf. “No problem Senna. Tenang saja Regil tidak akan minder, ya kan Regil” “Loh kok gua kena?” tanya Regil kesal dan membuat semua orang tertawa ngakak. “Karma tau Lo? Pake nantang gua tadi pagi.” ucapku memanas-manasinya. “Gak kebalik? Lo yang nantang Gua, keturunan pikun dari siapa sih lo?” “Lo lah, kan lo ketuanya.” balasku simpel.
“Hidup gua miris amat, dilingkari orang gak waras semua.” teriak Senna. Tak lama Fuad maju kedepan mempraktekkan tata cara bermain voli yang benar.
“Pasrah amat hidup tu anak.” bisik Senna lalu kami angguki dan kembali fokus menatap Fuad.
Cerpen Karangan: Lia Afifah Blog / Facebook: Yulianurafifah