Bel berakhirnya pembelajaran selesai, seluruh siswa pulang kecuali panitia Pilketos yang terlihat masih membersihkan gelanggang. Setelah melipat jas hitam dan memasukannya ke tas, aku buru-buru pulang ingin segera menenangkan diri. Sepanjang perjalanan pulang aku tidak habis pikir dengan impianku yang gagal menjadi Ketos.
Sesampai di rumah aku langsung mengunci diri dan tertidur di kamar, hingga lupa makan. Hampir pukul setengah 4 sore aku tidur, terbangun oleh ketukan kamar dan suara ibu. “Ammar sudah sore nak, kok belum bangun.” ”Iya bu,” sambil kubukakan pintu dan mengucek mata, kemudian aku duduk di tempat tidur.
“Bagaimana tadi Pilketosnya, apakah kamu terpilih?” Aku menunduk, teringat usaha dan rencanaku jika menjadi Ketos yang ternyata kandas, Mataku terasa panas sekali dadaku sakit, kupeluk ibu dan kutumpahkan semuanya. Ibu sambil membelaiku, “Tidak usah sedih mungkin belum rejekimu nak, dipercaya mengemban amanah menjadi Ketua OSIS. Dalam sebuah pertandingan mesti ada yang menang dan kalah, tidak mungkin menang semuanya dan tidak mungkin kalah semuanya.” “Menjadi ketua OSIS harus siap dengan banyak kegiatan, di samping kepentingannya pribadi harus belajar, mengerjakan tugas, kegiatan ekstra dll,” imbuhnya lagi.
Sedikit demi sedikit aku terhibur dengan kata-kata ibu. “Iya bu terimakasih, doakan agar aku sabar dan bisa sukses ya.” Pintaku. “Tentu dong, doa ibu selalu menyertai tiap langkah anak-anaknya. Eh.. sudah sore ayo cepet mandi, sholat, ngaji tapi makan dulu ya,” pesannya. “Oke…” kujawab terus menuju kamar mandi.
Jarum jam menunjukkan pukul 16.00 WIB kulangkahkan kaki menuju mushola untuk mengaji, jaraknya cukup dekat hanya selisih lima rumah ke arah barat. Pulang mengaji persis menjelang maghrib sempat kutengok HP, ada notifikasi whatshapp dari Rafa, kubiarkan saja tanpa dibuka apalagi chat balasan. Menjadi kandidat saat Pilketos cukup menyita waktu dan pengorbanan, aku beberapa kali tidak ikut pembelajaran di kelas dari seleksi penyisihan, penentuan paslon, penyusunan visi misi, kampanye de el el.
Saat malam menjelang tidur kubaca chat whatshapp dari Rafa, “Aku juga sangat sedih karena cita-citamu menjadi Ketos gagal, aku harap kamu mau memaafkan, ini juga salahku, sekali lagi aku minta maaf ya.” “Kecewa sih sangat tapi ya… gimana lagi wong hasilnya begitu,” balasku kemudian HP aku off, malas kalau Rafa chat kembali, aku sedang pengin menyendiri.
Hari minggu ini kuputuskan untuk di rumah saja, biasanya rajin bersepeda bareng teman dan tetangga rumah. Tidak tahu ya malas pergi-pergi mungkin masih terbawa hawa buruk gagal Pilketos, nonton TV atau nge-game sajalah. Sebenarnya banyak sih yang harus dikerjakan seperti melengkapi catatan atau tugas guru, tapi… ah besok sajalah toh ujian masih lama pikirku.
Tiba-tiba ada chat dari Rafa, “Aku merasa bersalah Mar, dengan kegagalan Pilketos kemarin.” Aku acuhkan saja chatnya, meski ada 3 kali notifikasi. Hari berikutnya datang chat yang sama dari orang yang sama, hari berikutnya… berikutnya juga begitu hingga seminggu, karena di sekolah aku juga selalu menghindar jika Rafa ingin bertemu.
Minggu sore sepulang mengaji kubaca pesan dari Rafa, biasanya aku cuek tapi kali ini ingin membalasnya, mungkin efek sakral dari mengaji tadi jadi berbaik hati menanggapi orang. “Aku juga sedih dengan kegagalan kemarin, tapi sedih lagi chatku tidak pernah kamu respon. Apakah kegagalan menjadi penyebab bermusuhan?” tulisnya. “Ngga usah dibahas lagi ahh… bosen! Aku masih malas catatan dan tugasku banyak yang ketinggalan,” jawabku dan chat tidak lupa kuberi emoji pusing dobel bel. “Kalau diijinkan, aku siap membantu untuk mengurangi rasa bersalahku,” jawab Rafa. “Bener ya, aku setuju banget kalo yang ini, sampai jumpa besok,” jawabku dengan hati penuh harap agar bisa segera mengejar ketertinggalan materi dan tugas. Rafa membalas dengan emoji jempol 3, aku tersenyum.
Hari-hari berikutnya aku disibukkan dengan melengkapi catatan dan tugas yang ketinggalan dengan dibantu Rafa. Ketika hampir lupa atau malas mesti dinasehati macam-macam, kayak nenek-nenek menasehati cucunya. Dia terkenal jagoan dalam beberapa mata pelajaran tak heran jika sering mengikuti lomba atau olimpiade seperti matematika dan Bahasa Inggris. Tahu sendiri kan aku dengan matematika seperti apa alerginya, perutku sakit dulu sebelum pelajaran mulai, jadi tidak heran jika perolehan nilainya hanya sedikit di atas ketuntasan, lumayanlah.
Di sekolah jika jam istirahat, Rafa sering bertandang ke kelasku sambil menyapa dan membawa jajan untuk dimakan bareng, kebetulan ada temannya cewek yang akrab karena berasal dari satu SD dulu, Avi namanya. Dari temanku inilah Rafa tahu tugas-tugas yang keteteran belum sempat kuselesaikan dan selalu berusaha untuk membantu.
Sedikit demi sedikit semangat belajarku bangkit lagi, kalau kemarin Rafa yang selalu memotivasi agar materi dan tugas segera selesai justru sekarang akulah yang ingin buru-buru menyelesaikannya pikirku seandainya tidak bisa kan ada tutor yang siap membantu, seperti les privat gitu lo. Biasanya kalau tidak sempat diskusi pelajaran bareng Rafa dan Avi di sekolah, aku terus tanya lewat telpon. Karena serius belajar ternyata ada peningkatan pada nilai-nilaiku. Beberapa hari yang lalu, aku sempat kaget bercampur gembira seakan tidak percaya karena seumur-umur baru pertama kalinya nilai ulangan matematika mendapat seratus koma nol.
“Makasih banyak ya Raf bantuannya, berkat motivasimu aku sekarang tidak lagi alergi dengan matematika, bahkan ulangan kemarin mendapat nilai sempurna,” tulisku di WA untuknya. “Iya sama-sama, alergi ngga harus ke apotik kan,” sindirnya. “Yalah… ternyata asik juga belajar dengan angka.” “Cie… cie… dah malam aku mau nemuin bantal dan kasur ya… ngantuk nih”
Dua minggu sudah berlalu dari masa Penilaian Akhir Semester, tapi aku masih membahas soal-soal PAS kemarin dengan Rafa kadang juga bareng Avi di sela-sela kegiatan classmeeting. Tibalah pada waktu penerimaan hasil belajar siswa di semester ganjil, rapot belajarku diambil oleh ibu.
Sesampai di rumah ibu menyalamiku dan tersenyum, “Ternyata anak ibu prestasinya hebat, makasih nak,” sanjung beliau. “Maksudnya?” tukasku. Ibu menyodorkan rapor hasil belajar, kuamati satu persatu nilai yang tertera disana. Aku tersenyum. “Makasih juga ibu atas motivasi dan doanya,” jawabku. “Sama-sama nak, semoga tercapai cita-citamu.” “Aamiin…”
Libur semester ganjil telah berlalu, hari ini adalah hari pertama masuk di semester genap dan ada upacara bendera. Aku sengaja berangkat awal pengen sekali masuk sekolah karena seminggu libur rasanya ngga betah, ngga ketemu teman-teman dan tentu saja Rafa.
Upacara bendera berlangsung khidmat tidak seperti biasanya sebelum liburan, mungkin anak-anak juga kangen dengan upacara jadi setiap urutan jalannya kegiatan dinikmati dan diresapi, untung tidak banyak anak yang pingsan. Protokol upacara menyampaikan jika upacara selesai dilanjutkan dengan pengumuman peringkat hasil belajar semester ganjil dan pemberian hadiah dari sekolah. Anak-anak bertepuk tangan riuh ketika dibacakan nama-nama siswa yang menduduki peringkat 3 besar parallel. Ketika dibacakan peringkat hasil belajar kelas VIII, aku pasang telinga serius.
“Peringkat ke-3 untuk kelas VIII diraih oleh Ahmad Ainnur dari kelas VIIIA, silahkan maju ke depan,” suara protokol upacara melalui pengeras. “Berikutnya untuk peringkat 2 kali ini diraih oleh… Muammar Khafi dari kelas VIIIG, silahkan untuk maju ke depan.” Aku tersentak sangat tidak percaya, ya Alloh… beneran nih! Teman-teman sekelasku bersorak sorai dan mendorongku untuk maju ke tengah lapangan berjejer dengan peringkat 3. “Dan yang peringkat pertama hasil belajar kelas VIII adalah… Rafa Nuraina dari kelas VIIIC dipersilahkan maju,” pinta protokol upacara.
Dari awal upacara aku tidak melihat Rafa, sekarang baru muncul berlari kecil ke lapangan berdiri tepat di sebelah kiriku. Aku teringat betul pernah berdiri seperti ini bersanding pasangan saat pilketos yang menyakitkan. Sekarang aku berpasangan lagi dengan dia sebagai pemenangnya… ya pemenang peringkat paralel 1 dan 2 hasil belajar semester ganjil kelas VIII tahun ini. Ternyata paslonku juga bisa menang, aku tersenyum bahagia. Ternyata Tuhan mempunyai rencana lain yang lebih baik.
“Ngapain senyum-senyum, selamat ya Mar atas peringkatnya,” suara Rafa mengagetkan lamunanku. “Eh ya.. ya kamu juga selamat,” jawabku tergagap karena kaget.
Kebumen, Desember 2022
Cerpen Karangan: Munkhayati Blog / Facebook: Munkhayati