Hembusan angin membuat gorden melambai-lambai. Lantai ruangan itu dipenuhi dengan cipratan cat berbagai warna. Kuas, palet, dan kertas yang berserakan menambah kesan tak teratur. Ruangan itu terlihat sepi, hanya ada kasur dengan beberapa alat aneh disampingnya, dengan seorang anak muda yang terduduk di lantai. Terlihat rambut kusutnya yang tertiup angin pelan, wajahnya yang pucat, dengan tubuh kurus kecil yang dibalut pakaian khas pasien.
Meski terdapat selang aneh yang tertancap di tangannya, jari jemarinya tetap bergerak sesuai keinginan, menggores-goreskan kuas yang ia pegang dengan anggun, menciptakan sebuah mahakarya yang sangat mempesona. “Ranell!” Tangannya terhenti kala ia mendengar teriakan seseorang yang memanggilnya. Dirinya melihat sesosok wanita yang sudah berumur saat menoleh ke arah pintu.
“Berhentilah melukis dan habiskan makananmu, Rey. Bunda cuma ingin kamu kembali sehat. Lupakan kompetisi itu dan fokuslah pada kesehatanmu.” Omelan sang ibunda tercinta membuat memutar bola matanya dengan malas. “Apaan sih? hidupku ya hidupku, bunda ga usah ngatur. Mau aku sehat ataupun sakit, aku akan ikut kompetisi ini.” Jawaban sang anak muda yang menyebalkan ini hanya ditanggapi helaan nafas sang ibunda.
Rey kecil selalu saja menghabiskan waktunya di kamar dengan melukis, sebuah karya seni dua dimensi yang diciptakan dengan cat diatas kanvas. Dia kurang suka bergaul dengan teman seumurannya sehingga mengakibatkan dirinya yang sama sekali tak memiliki teman dekat. Sungguh miris, tapi bagi Rey, melukis adalah segalanya.
Melukis membuatnya bebas mewujudkan apa yang ia inginkan, bahkan keinginan terbesarnya. Apapun yang ia impikan, akan ia lukis. Sekalipun hal itu abstrak, tapi itulah keindahan seni. Rey juga dapat bereksperimen dengan mencampurkan berbagai warna membuat perpaduan yang sangat indah. Baginya, mengikuti kompetisi melukis sama saja dengan berperang. Hingga mati pun, ia akan tetap melukis demi menunjukkan bahwa ia yang terbaik.
Itulah yang membuatnya tetap melukis tanpa memedulikan kondisi tubuhnya yang terjangkit penyakit. Penyakit yang sudah menggerogoti tubuh dan nyawanya secara perlahan semenjak ia terlahir ke dunia ini. Tak ada penawar, tak ada yang dapat mencegahnya. Penyakit ini bagaikan bom waktu yang bisa membunuhnya kapan saja dan dimana saja. Sehingga ia sudah bertekad untuk melukis menciptakan karya tanpa henti, dan saat bom tersebut meledak, Rey sudah menciptakan karya seni terindah yang tiada tandingannya.
“Bunda ga suka kamu begini. Lukisan itu bisa diselesaikan nanti, kesehatanmu jauh lebih penting. Dua minggu lagi kamu harus operasi, ayo minum obat.” Ajakan ibunda yang lembut membuat sang remaja itu diam menurut dan melakukan apa yang ia suruh. Tak ada seorang anak yang berani menentang orangtuanya, lagipula Rey tidak mau dikutuk menjadi ikan pari. Tapi tentu saja, tidak mungkin dia 100% patuh. Buktinya, setelah sang ibunda pergi, tangan nakalnya kembali memegang kuas dan melukis kembali.
Bukan tanpa alasan, ucapan ibundanya membuat ia semakin sadar akan waktu yang mengejar. ‘Operasi dua minggu mendatang’. Entah kenapa, Rey percaya bahwa itu akan kenjadi hari kematiannya. Hal ini berarti, ia harus segera menyelesaikan lukisannya untuk kompetisi. Tapi bodohnya Rey, dia bahkan belum mendapat konsep dasar untuk melukis.
Lukisan untuk kompetisi ini akan kenjadi lukisan terakhirnya, tentunya harus memiliki makna yang indah. Jadi ia terus membuat sketsa, berharap ada ide yang muncul di pikirannya. Ketika mencoret-coret, ia secara tiba-tiba mendapat pencerahan dari ilahi. Konsep kali ini adalah Menara. Ia akui ini terdengar biasa saja, tapi ia menyukainya.
Menara ini adalah menara impiannya. Bagaikan dongeng anak-anak, Rey ingin membuat menara ajaib dimana siapapun yang memasukinya akan terus hidup dalam keadaan sehat tanpa menua. Sederhana, ini adalah keinginan dari lubuk hati terdalamnya yang tak akan pernah tercapai. Dia sangat ingin hidup abadi dengan tubuh sehat sehingga ia bisa melukis sepuasnya tanpa berhenti dan tanpa gangguan. Setidaknya ia bisa berkhayal untuk tinggal di manara itu.
Tangan Rey menari-nari diatas kanvas. Meski hanya lukisan, meski hanya khayalan, setidaknya ia bisa mewujudkan keinginan terbesarnya. Hanya demi lukisan, Rey bahkan melewatkan waktu untuk makan. Ia tak peduli lagi dengan tubuhnya, maupun omelan sang ibunda atau dokter. Ia sudah tahu bahwa tidak ada obat yang dapat menyembuhkannya, jadi untuk apa ia meminum obat-obatan tak berguna itu.
Semakin ia berusaha keras untuk melukis, ia semakin tak peduli dengan tubuhnya. “Lihat itu, anak yang menderita penyakit ganas itu sudah dalam kondisi kritis, tapi ia bahkan menolak untuk minum obat.” Perkataan yang keluar dari mulut para perawat itu sudah menjadi makanan sehari-hari yang ia abaikan.
“Dia masih saja keras kepala untuk menyelesaikan lukisannya, aku yakin itu mustahil karena tubuhnya sudah tidak kuat.” Ucapan sembarangan dari salah satu perawat membuat Rey emosi, tapi dia tetap diam.
“Itu benar, melihat kondisinya, ia tidak akan menyelesaikan lukisannya. Lagipula Dewa Kematian akan segera menjemputnya.” Ucapan perawat julid ini memang ada benarnya. Sebentar lagi remaja bernama Ranell ini akan mati, tapi ia tidak berniat untuk mati sebelum menyelesaikan lukisannya.
Daripada memedulikan para oknum perawat itu, Rey lebih memilih untuk lanjut melukis dalam keadaan demam. Tubuhnya memang sudah sangat lemah dibandingkan beberapa hari lalu. Tulang-tulangnya terasa sakit, ia sering mimisan, bahkan mulutnya sering berdarah. Ia juga jauh lebih kurus dibandingkan saat ia sedang sehat. Nafasnya jauh lebih pendek sehingga membuat tubuhnya sangat lelah.
Hari demi hari ia lanjutkan dengan melukis dalam kondisi seperti ini. Ratusan kali sang ibunda menangis tersedu-sedu membujuk anak semata wayangnya untuk berhenti, tapi itu tak berpengaruh. Memang benar, Ranell seperti sedang melakukan percobaan bunuh diri. Tapi yang ia inginkan hanyalah menciptakan mahakarya indah nan mempesona sebelum ia benar-benar meninggalkan dunia ini.
Setelah perjuangan selama beberapa hari yang membuat sang seniman lemah, letih, dan lesu. Akhirnya ia benar-benar menciptakan sebuah mahakarya, dimana seorangpun yang melihat lukisan menara ini tak akan bisa memalingkan pandangannya dari keindahan yang disuguhkan. Besok, lukisan ini akan segera ia ikut sertakan dalam kompetisi. Besok akan menjadi hari yang membahagiakan karena Rey berhasil menyelesaikan lukisannya lebih cepat dari waktu yang diperkirakan.
Saat mentari terbenam menampilkan langit dengan cahaya kemerahan. Terdapat brankar yang mengangkut seorang anak muda, didorong oleh para perawat. Lorong sunyi rumah sakit itu dilewati brankar tersebut dengan tergesa-gesa menuju ruang operasi. Ini adalah keadaan darurat, operasi Ranell yang seharusnya dijalankan 4 hari lagi malah dilakukan sekarang untuk menyelamatkan nyawanya.
Rey yang akan dioperasi tentunya merasa kaget, tapi ia sudah memprediksi bahwa hari ini pasti akan datang. Hari dimana kematian akan merenggutnya. Ia hanya terdiam pasrah. Di sebelahnya, ada ibundanya yang menangis histeris memohon pada dokter untuk menyelamatkan nyawa anaknya. Para dokter dan perawat berusaha sekeras mungkin untuk menyelamatkan dirinya.
Disaat itu, ia tahu, Rey sadar bahwa semua usaha para dokter dan perawat akan sia-sia. Tidak ada manusia yang dapat lari dari kematian. Ini adalah akhir dari hidupnya. Akhir dari seorang remaja biasa yang mengidap penyakit. Remaja yang tetap melukis hingga akhir. Hidupnya memang singkat. Tapi setidaknya ia sudah berpasrah diri karena telah menyelesaikan menara impiannya dan mengikutsertakannya ke dalam kompetisi.
Tidak lama kemudian, dia menghembuskan nafas terakhirnya dipelukan sang Dewa Kematian. Tangisan sang ibunda semakin kencang kala melihat monitor elektrokardiogram yang menunjukkan asystole. Ranell, seorang remaja keras kepala yang hanya ingin melukis tanpa henti akhirnya menemui kematian.
Cerpen Karangan: Faniel Vian