Orang-orang akan datang dan pergi. Siklus ini nyata dan semuanya akan merasakan.
Aku pikir … hidupku terlalu monokrom untuk dinikmati. Hanya menjadi penonton datang dan perginya orang disekitarku. Namun, aku salah. Aku terlalu terpaku dengan teori itu, sampai tak melihat ada seseorang yang masih berdiri di tengah-tengah arus ‘people come and go.’
Dia, seorang teman yang bisa jadi apa saja. Ia bisa menjadi telinga, pundak untuk bersandar, bahkan penuntun ketika aku tidak dapat memikirkan jalan keluar sendiri. Dia juga tidak segan-segan membagi sedikit rejekinya untuk kaum dompet tipis ini.
Aku … beruntung.
Hari itu, kami tengah bersama di sebuah cafe di daerah Bekasi Timur.
“Gue mau nyelamatin ikan di laut,” ujarnya. Aku yang menderngar itu cukup kaget, sekaligus bangga dan mendukung impiannya. Dan aku tidak mau kalah, akupun memberitahu apa cita-citaku padanya. “Kalau aku, mau jadi orang kaya.” Sontak ia menyemburkan air yang baru saja ia minum. Tapi tenang, untungya tidak mengenai wajahku yang full make-up ini.
“Kenapa harus jadi orang kaya?” tanyanya. “Supaya bisa beli semua hutan di Indonesia. Aku pager. Aku jaga baik-baik. Pokoknya! Aku bakal jadi aktivis pelindung hutan yang baik!!” “Mana bisa begitu!” Ia mengebrak meja, membuat peehatian orang-orang di sana tertuju pada kami. “Bisa. Gak ada yang gak bisa kalau sudah berurusan dengan uang, Indra.”
Ya, nama seseorang itu adalah Indra. Manusia kepala batu, dan paling sensitif yang aku kenal.
“Iya, iya terserah lo aja deh.” Lelaki itu menatap langit-langit cafe dengan jari-jemari di dagu, “Kalau dipikir-pikir cocok juga sih. Lo di darat, gue di laut.” “Hahaha, seru banget yah mengkhayal?” Lelaki berkemeja merah itu kembali menyeruput minumannya.
Kami memang memiliki pola pikir yang hampir sama. Terkadang aku yang lebih dewasa, terkadang juga sebaliknya. Layaknya barang, berteman dengannya memiliki plus dan minus.
Kepala batu dan terlalu perasa, merupakan minus dari Indra. Setahun ku mengenalnya, aku mulai merasa jengkel dengan sifatnya itu. Namun, setidaknya sifat plus nya, berhasil menutupi ketidak sempurnaan itu.
“Hari ini aman?” “Udah ya, jangan mikir yang aneh-aneh.” Dua combo yang tak pernah luput ia lontarkan padaku
Sebuah bentuk perhatian singkat yang membuktikan, lelaki itu memang peduli. Bahkan, sesibuk apapun dengan dunianya, ketika kami bertemu pasti akan melontarkan pertanyaan yang sama.
“Apa kabar? Hari ini aman ‘kan?”
Bahkan jika satu dunia tidak mau berteman denganku, aku tidak apa. Selama ia masih berdiri di tengah arus itu.
Semua tangisan, umpatan, dan curhatan panjang sudah ia dengar. Sudah beribu-ribu umpatan yang kulontarkan padanya untuk sekedar meluapkan semua sedih.
Ia dapat memeluk, tanpa menyentuhku sedikitpun.
Semua nasehat dan kata-kata penyemangatnya, seakan memelukku erat-erat. Menyadarkanku bahwa dunia tidak seseram itu. Ada banyak hal baik yang belum diliat di luar sana. Aku hanya perlu keluar dari zona ini, melawan semua rasa takut yang tidak ada ujungnya.
Kalau boleh meminta pada Tuhan, jangan mengambil kami dahulu, sebelum semua mimpi dan cita-cita berhasil digapai, dan kami berhasil menertawakan segala kesedihan dihari ini.
Cerpen Karangan: Averyl Moonlight Facebook: facebook.com/mutiakane