Langit malam indah dengan sinar indurasmi, bersama gugusan bintang penghias malam. Desir angin membawa kesunyian yang sejuk di jagat pesantren. Di sebuah bangunan yang sering digunakan sebagai tempat beribadah, terlihat sang santri yang sedang duduk di pelataran lantai sembari memegang kitab kecil, menguliti setiap lembar yang ia usap. Bait demi bait, lembar demi lembar kitab amriti, yang berisi tentang ilmu nahwu karangan syekh Syarifuddin Yahya al-imriti, aku bolak balik sampai terlihat kusut.
Ya, sang santri itu adalah aku, orang yang mempunyai masalah dalam hal menghapal. Beberapa kali mencoba, Namun percuma, otakku seakan menutup pintu rapat-rapat, yang tak menghiraukan tamu datang. “Ya Allah, sebodah ini kah hambamu sampai secuil ilmu pun tak bisa masuk di otaknya”, hatiku bergumam sambil tanganku meremas kitab dan melemparnya. Tangisku pecah, nestapa hadir bersama air mata yang mengalir. Ini membuat pikirkanku frustasi, membuat semangat menghapalku hilang.
Beberapa menit berlalu, Tangisku kian mereda bersama malam yang semakin dingin, aku memutuskan untuk tidur, mengambil kembali kitab yang tadi kulempar dan merapihkannya kembali. Aku kembali ke kamar masih dengan perasaan kecewa, lagi-lagi bergadangku sia-sia.
Suara besi yang diadu seketika mengacaukan realita mimpiku dikala terpejam. ya, begitulah cara pengurus pondok kami membangunkan para santri, dengan menggunakan besi yang dibentur-benturkan dengan lantai atau besi yang diadu satu sama lain, itu cukup menghasilkan suara yang membuat gendang telingaku mau pecah.
Setelah bangun aku memutuskan untuk langsung mengambil air wudhu dan pergi ke masjid. Sembari menunggu adzan subuh aku mencoba menghapal kembali. Ada salah satu teman aku bilang, kalau menghapal diwaktu subuh itu memudahkan hapalan masuk ke otak kita. Dengan mata yang masih sedikit ngantuk aku terus mengulang bait demi bait amriti yang tadi malam aku baca. Semangat pantang menyerahku akhirnya membuahkan hasil, satu, dua bait mulai kuhapal.
Lima belas menit berlalu, adzan subuh berkumandang, para santri pun sudah memenuhi masjid. Selepas sholat subuh aku dan santri-santri lainnya melanjutkan kegiatan kami yaitu mengaji. Selesai mengaji, saat beberapa santri memilih ke kamar untuk melanjutkan tidurnya. Aku lebih memilih pergi ke kantin untuk menyeduh kopi. Menikmati matahari pagi, di lantai tiga.
Bangunan pondok pesantren ini memiliki tiga lantai, lantai pertama digunakan untuk kamar santri-santri SMA. Lantai dua digunakan untuk kamar santri-santri SMP. Dan lantai tiga yang digunakan sebagai tempat untuk menjemur pakaian para santri.
Desir angin menusuk hingga ke seluruh tubuh. Ini adalah suasana favorittku, Hawa dingin di pagi hari sembari menikmati hangat kopi. Tak terasa Bagaskara yang kini sudah sepenuhnya menampakkan diri. Kulihat arloji, sudah menunjukan pukul setengah tujuh. Kopi yang sedari tadi menemaniku sudah tinggal ampasnya. Sudah saatnya balik ke kamar.
Kuambil gayung yang berisi peralatan mandi, untuk mengantri. Ternyata kamar mandi sudah lenggang, hanya ada satu, dua yang pintunya tertutup. Setelah mandi aku bersiap-siap untuk sekolah. Ya, aku mondok di pondok pesantren formal. Paginya sekolah, pulangnya sore, malamnya madrasah.
Malam itu saat madrasah, pelajaran nahwu yang mengkaji kitab matan aj-jurumiah. Hari ini utadz Ahmad menjelaskan kepada kami mengenai bab pembagian i’rob. Setelah penjelasan dari ustadz Ahmad selesai, beliau melemparkan pertanyaan kepada para santri. “pada lafadz Al mu’minuna mempunyai kalimat apa?” Pertanyaan yang mudah untuk para santri lainnya, tapi tidak denganku. Aku masih bingung, dan ngga paham sama sekali tentang pelajaran nahwu. “itu kamu yang duduk di belakang.” Aku menoleh kanan, kiri. dibelakang sini tidak ada siapa-siapa lagi selain aku. Ahh, siaall. “Saya kang?” “Lh iya siapa lagi.” Seketika keringat dingin membasahi tubuhku, apa jawabannya, aku nggak bisaaa.
Aku mencoba tanya ke teman di depanku. “Jawabannya apa kamu tau ngga?” “Kalimat isim” jawabnya singkat. “Kalimat isim kang” “Isim nya, isim apa?” Pertanyaan kedua semakin sulit untuk kujawab, aku tanya ke teman di depanku lagi. “Isim nya isim apa Sat?” “isim mudhore” jawabnya sambil menahan tawa. Entah mengapa aku tidak merasa curiga sedikitpun. “Isim mudhore kang.” Entah apa yang Luca tentang jawabanku, semua santri tertawaa, pun ustadz Ahmad. “Kenapa? Salahkah?” Batinku bertanya-tanya. “Salah kang, jawabannya apa kang?” Tanya ustadz Ahmad ke para santri. “Isim jamak kang.” Para santri menjawab kompak. “nahh betul, jadi pada lafadz Al mu’minuna kalimatnya kalimat isim, isimnya isim jamak, jamaknya jamak mudzakarsalim, karena bermakna banyak yang ditujukan untuk laki-laki, paham kang?” “Terus tadi jawabannya isim mudhore, itu ngawur sekali jadi tidak ada isim mudhore kang, adanya fiil mudhore.” Ustadz Ahmad membenarkan jawaban yang ngawurrr. Semua santri masih tertawa. Siaall aku dibohongi. Aku maluu sekalii. “Ya, Allah bisa kah engkau berikan ilmu laduni untuk hambamu yang bodoh ini” celetukku dalam hati. Dengan perasaan putus asa. Dan semakin lama dirasakan, perasaan itu getir, hampir meneteskan air mata jatuh ke bumi.
Setelah ustadz Ahmad menutup pelajaran. Madrasah pun selesai. Aku tidak langsung ke kamar, lebih memilih menyendiri di masjid. Dalam hening malam dengan purnama yang bersinar terang. Aku duduk di pojokan masjid berlalantai dua. Memikirkan kejadian tadi di madrasah membuat mentalku menurun, dan semangat untuk melanjutkan mimpi menjadi seseorang yang paham ilmu agama hilang seiring dengan hadirnya nestapa yang masuk hingga ke relung Atma. Pikiranku menjadi gundah gulana. Rasanya percuma saja aku disini. Untuk paham satu pelajaran saja aku tidak bisa. “Apa aku keluar saja dari pondok pesantren?”. Aghh, Aku memikirkan yang seharusnya tidak aku pikirkan, keluar dari pondok merupakan jalan keluar yang salah.
Saat pikiranku masih kacau, tiba-tiba aku mengingat tentang dawuh Abah kyai Subhan ma’mun, saat ngaji kitab ta’lim muta’alim yang berisi tentang adab-adab sang penuntut ilmu (murid) sebagai kunci sukses dalam belajar. Karya Syekh Az-zarnuji. Saat menjelaskan Fasal enam, tentang kesungguhan, ketetapan dan cita cita yang tinggi. Beliau dawuh. “engkau mengharap (ingin) menjadi orang yang alim ilmu agama dan ahli bicara, tetapi engkau tida mau bersungguh-sungguh (enak-enakan). keinginan seperti itu yang demikian itu seperti halnya keinginan orang gila. Karena orang gila itu banyak macamnya. Ketahuilah bahwa, tidak ada orang yang mendapatkan harta benda tanpa bekerja. Apalagi ilmu bagaimana caranya kau mendapatkannya jika kau tidak mau belajar. bagi orang yang mencari ilmu itu hendaknya rajin, bersungguh dan tetap. Telah diterangkan oleh Allah dalam Al-Quran. “Orang-orang yang sungguh mengharap keridhaan ku, dengan mencari ilmu, tentu akan kutunjukan jalan mencari ilmu yang dapat mendatangkan keridhoan ku.”
Lamunanku buyar, tiba-tiba terdengar suara memanggil. “Kang, kenapa kok ngelamun disini? sendiri lagi, Ngga tidur?” Ujar kang Adi dengan nada suara yang halus. Beliau adalah salah satu pengurus pondok. Kepala madrasah tepatnya. “e eeh ngga kang, ngga bisa tidur.” Jawabku dengan nada gugup, karena jarang sekali aku ngobrol sama pengurus. “Lagi ngelamunin apa? Kok sampe ngga bisa tidur.” “Ngga ngelamunin apa-apa kang.” “Ngga papa jujur aja sama kang Adi, muka kamu itu kaya lagi ada sesuatu yang di pikirin” ujar kang Adi yang sepertinya memaksaku untuk bercerita.
“Jadi gini kang, tadi pas madrasah pelajaran nahwu saya ditanya sama ustadz Ahmad, tapi saya ngga bisa kang. Saya sama sekali ngga paham tentang pelajaran nahwu. Setiap kali belajar tidak ada satu pun materi yang masuk kang, bahkan urusan menghapal saja saya lemah. Terus tadi saya mikir apa saya keluar saja dari pondok, karena percuma kang, walaupun setiap hari belajar tetap saja tidak ada ilmu yang saya dapat”. Ucapku panjang lebar menjelaskan kepada kang Adi Tentang isi hatiku.
“Oooh gitu, Jadi gini ya kang. seorang santri itu merupakan manusia pilihan dari Gusti Allah, untuk mencari ilmunya Allah. Nah menjadi seorang tholabul Ilmi juga ngga gampang kang. banyak ujiannya, itu merupakan cara Gusti Allah untuk mengetahui apakah kita kuat bertahan untuk mencari ilmunya, atau mungkin menyerah, pasrah dengan keadaan dan memilih tereliminasi, dalam kompetisi kehidupan. Kamu itu diibaratkan seperti halnya tetesan air yang sedang mengukir diatas batu, kalau ukiran tersebut jadi, butuh waktu lama untuk menghilangkan ukiran di batu tersebut, sama halnya dengan kamu. kamu kalau menghapal dan memahami pelajaran lama, itu berarti ilmu yang kamu dapat akan lama juga hilangnya. Beda halnya dengan ketika kita mengukir diatas air, itu kan hanya membutuhkan waktu yang sebentar, hilangnya juga sebentar kan. Nah kalau masalah kesulitan dalam memahami pelajaran dipondok itu hal biasa kang, bisa jadi pas dirumah kita bisa paham. Jadi tidak ada jaminan santri ketika dipondok bodoh, di rumah juga bodoh.” Kang Adi menjelaskan dengan tutur kata yang halus.
“Ooohh gitu kang, iya kang saya paham. Terimakasih kang atas nasehatnya.” “Iya Sama-sama, semangat belajarnya tunjukan bahwa kamu bisa.” Kata kata kang Adi membangkitkan semangatku untuk terus melanjutkan langkahku kembali merajut mimpi. “iya kang, siaappp!” Jawabku lantang dengan penuh semangat, disambut oleh senyum kang Adi yang penuh rasa hangat. “ya udah, sana tidur besok sekolah kan?” “Iya kang, ini mau ke kamar” kucium tangan kang Adi sebelum pergi ke kamar.
Gara-gara mengingat tentang dawuh Abah kyai dan nasehat dari kang Adi aku memutuskan untuk terus menjutkan langkahku untuk merajut mimpi di pondok ini. Semangat pantang menyerahku kembali, setiap hari setelah pulang madrasah aku menyempatkan waktu ku untuk mutholaah pelajaran yang diberikan oleh ustadz di kelas. Terus berusaha Istiqomah menghapal di waktu senggang.
Seiring dengan berjalannya waktu aku pun mulai paham mengenai ilmu nahwu, semangat belajarku akhirnya membuahkan hasil Sekarang sedikit demi sedikit, aku mulai menguasai ilmu pelajaran yang lain seperti ilmu shorof dan ilmu fiqih. Kemampuannku mengahpal nadhom juga terus meningkat, sekarang aku sudah mencapai seratus limapuluh lima bait amriti.
Cerpen Karangan: Andre Abidin Blog / Facebook: Andre Abidin