Aku suka selingkuh, dan aku sudah lama melakukannya dengan beberapa perempuan. Kendati aku menyukainya, aku tidak ingin terus-menerus terlibat dalam perselingkuhan. Aku telah berupaya untuk tidak lagi selingkuh, tetapi apalah daya—payudara dan kelangkang Sindi terasa kian menggairahkan semenjak suaminya sering pergi ke luar kota. (Lelaki bodoh mana yang mau melepaskan itu?) Namun, sekali lagi, aku ingin berhenti selingkuh, bahkan sekalipun aku disebut lelaki bodoh.
Aku harus meninggalkan dunia perselingkuhan, sebab dan rasanya begitu-begitu saja: mendebarkan tetapi menyenangkan. Aku pikir, menghabiskan waktu lebih banyak di rumah dengan membaca buku-buku atau bermain bersama cucu adalah sesuatu yang lebih berarti ketimbang selingkuh, apalagi ada banyak buku di rak yang belum sempat kubaca. Barangkali, cucuku yang masih kelas dua sekolah dasar itu bisa tertular karena melihat kakeknya banyak membaca; bukankah anak-anak perlu diajarkan rajin membaca—bukan pandailah selingkuh—sejak kecil?
Kesukaanku berselingkuh telah terawat selama puluhan tahun, bahkan jauh sebelum aku menikah. Istriku yang sekarang adalah hasil dari perselingkuhan. Saat pacaran dengan Linda, aku main serong dengan Mariam, seorang janda beranak satu—istriku yang sekarang. (Aku menyamarkan nama menjadi Linda, Sindi, Mariam dan nama-nama tokoh lain dalam cerita ini.) Kami sering bercinta, hingga suatu hari Mariam hamil lantas mendesakku agar segera menikahinya. Aku telah berupaya mengelak desakannya sebab aku lebih suka membayangkan perempuan lain yang menjadi istriku, tetapi akhirnya aku tak bisa lari dari tanggung jawab. Hubunganku dengan Linda terpaksa berakhir, dan dia menghadiahiku beberapa tamparan dan makian, setelah dia tahu aku akan menikah dengan Mariam.
Kendati hubunganku dengan Linda sudah berakhir dan aku menikahi Mariam, kehidupan rumah tangga tak mampu membikin aku jadi suami yang setia. Tanpa sepengetahuan Mariam, aku berselingkuh dengan beberapa perempuan, dan bercinta dengan Sindi adalah yang paling menyenangkan. Aku selingkuh tanpa rasa bersalah sedikit pun, bahkan aku kerap merasa hebat karena mampu menaklukkan perempuan. Ya, aku memang bukan penganjur feminisme.
Namun beberapa minggu belakangan ini aku gamang. Aku mencoba supaya tidak lagi selingkuh, bahkan saat Sindi memintaku ke rumahnya. Tetapi, apa lacur, aku lebih sering gagal dan penuh girang menemui Sindi dan Rika dan Berna. Ah, aku benar-benar jalang.
Niat tetaplah hanya niat, ia tidak pernah benar-benar berhasil membawaku jauh dari perselingkuhan, setidaknya hingga sekarang. Walau niatku itu gampang goyah dan tidak seperti matahari saat kemarau, aku tetap bersyukur sudah memiliki dan merawatnya di masa kegamanganku ini. Aku tak tahu hidayah atau jenis setan apa yang merasukku. Barangkali keadaan rumah tangga anakku yang berantakan telah mendorongku untuk berhenti selingkuh. Anakku satu-satunya (ya, aku punya dua anak, tetapi yang satu lagi adalah anak tiri. Masing-masing kami—aku dan anak tiriku—tidak sudi menyebut “anak” dan “ayah”) hampir bercerai dengan istrinya—tampaknya mereka akan benar-benar bercerai. Istrinya memergokinya selingkuh dengan teman sekantornya di sebuah hotel di luar kota. Terkadang aku tersenyum-senyum sendiri melihat kelakuan anakku itu. Aku pikir dia telah mewarisi sifatku yang suka selingkuh, tetapi dia kurang lihai bersiasat. Aku sering melihat anakku itu yang tampak sedih setelah kekusutan rumah tangganya terjadi. Saat aku bertanya tentang bagaimana perasaannya, dia mengatakan bahwa dia cemas jika akhirnya berpisah dengan istriya dan itu berdampak buruk kepada anak satu-satunya—cucu yang kusayang. Mendengar itu, aku menjadi takut jika kelak aku bisa saja senasib dengan anakku yang malang itu. Aku membayangkan sesuatu yang seram menimpaku bila aku bercerai dengan istriku lantaran perselingkuhanku terbongkar. Aku tak ingin itu terjadi.
Aku membicarakan niatku itu dengan beberapa teman dekat yang sesungguhnya sejak awal mereka sudah tahu tingkahku yang gemar main perempuan. Mereka antusias dan mendukungku, seraya mengajukan kiat-kiat yang mereka anggap jitu. “Sejak dulu aku sudah ingatkan. Akhirnya kau sadar juga. Perbanyaklah beribadah, Kawan. Selingkuh itu dilaknat Tuhan. Dekatkan dirimu kepada Tuhan,” kata seorang teman dekatku asal Bandung yang terdengar seperti pemuka agama. Temanku yang lain di Jakarta mengingatkan supaya aku giat berolahraga, “Bermain bulu tangkis, misalnya.” Menurutnya, olahraga mungkin bisa mengalihkan perhatianku sehingga lama-kelamaan aku bebas dari selingkuh. Temanku yang lain lagi menyarankan…. Namun, semua saran mereka menjadi omong kosong belaka dan semuanya gagal, dan aku tetap mengunjungi Sindi—selingkuhan yang paling aku dambakan.
Aku baru saja selesai membaca sebuah buku yang menceritakan kehidupan beberapa perempuan. Dalam buku itu, penulis mengulas kisah hidup perempuan dari catatan-catatan harian mereka, antara lain keluhan atas pekerjaan yang biasa perempuan lakukan di rumah hingga protes terhadap tugas-tugas kuliah yang menyebalkan dan dosen-dosen cabul. Sesungguhnya aku hanyut di hampir semua halaman buku, namun aku lebih tertarik pada bagian yang mengisahkan seorang janda yang suka bertualang cinta.
Janda itu bernama Nirmala. (Penulis buku itu telah menyamarkan namanya, maka aku tak perlu lagi melakukan itu). Suaminya mati ditabrak truk, dan kenyataan itu adalah kesempatan bagi lelaki yang penasaran. Setahun menjanda, Nirmala mulai merindukan sentuhan lelaki.
Nirmala seumpama kembang bermahkota indah yang menguarkan aroma khas, dan para lelaki bagai kumbang yang singgah dan menyesap sari bunga. Nirmala mendapatkan apa yang dia rindukan. Nirmala dan lelakinya bercinta dalam gelora tinggi. Di lain waktu, Nirmala juga bercinta dengan lelaki lain. Bahkan dalam buku itu dituliskan bahwa Nirmala pernah bercinta dengan enam lelaki yang berbeda dalam kurun kurang dari dua puluh jam. Nirmala sungguh hebat, bukan?
Nirmala hamil saat dia gemar bercinta dengan berganti-ganti lelaki, namun dia tidak tahu pasti siapa penyumbang benih dalam rahimnya. Dia hanya bisa menerka, dan dugaan terbaiknya adalah: di antara belasan yang tidur dengannya dalam waktu hampir bersamaan, entah siapa satu dari empat pemilik mani yang membuatnya hamil. Atas dugaan belaka itulah Nirmala menuntut satu per satu dari keempat lelaki itu agar menikahinya. Keseluruhan mereka sempat menolak—bahkan masing-masing mereka memukul janda yang hamil itu hingga wajahnya lebam—walau pada akhirnya salah seorang dari keempat lelaki itu menikahi Nirmala.
Setelah menikah, Nirmala tidak lagi bercinta dengan lelaki selain suaminya. Itulah yang bikin aku tertarik. Sayangnya, buku itu tidak menuliskan bagaimana Nirmala bisa setia.
Aku pikir aku perlu berbicara dengan Nirmala. Barangkali dia mau berbagi cerita lebih jauh atau bisa membantuku lepas dari jerat perselingkuhan.