Rumah kontrakan Arini yang kami tempati menyimpan sederet peristiwa kelam. Peristiwa yang seperti ingin disembunyikan oleh sejarah di sana.
Awal 2000, kegiatan outdoor, terutama mendaki gunung, sudah mulai menampakkan geliatnya. Bersama beberapa teman, aku merintis pendirian sebuah event organizer yang bergerak di bidang wisata outdoor. Tapi tidak seperti yang dibayangkan, kami justru mendapat banyak gangguan saat menempati basecamp baru.
Menempati rumah kontrakan baru
Selesai kuliah, aku dan teman-teman sepakat untuk membuat sebuah usaha bersama. Tujuannya bukan mencari keuntungan semata, tapi lebih sebagai tempat untuk silaturahmi.
Yah, waktu itu, kami masih kesulitan mendapat pekerjaan selepas lulus. Aku dan teman-temanku ini, sejak kecil, selalu bermain bersama karena hidup bertetangga. Kesamaan pada hobi dan usia membuat kami lebih mudah akrab.
Aku Wawan, teman-temanku ada Teguh, Beni, Ari, dan Rio. Hanya Beni saja yang usianya terpaut tiga tahun lebih tua. Enaknya, dia tidak lantas merasa paling berhak mengatur segala urusan. Pendek kata, chemistry di antara kami berlima sudah terbangun dengan baik sejak lama.
Ide ini sebenarnya sudah tercetus lama. Kendalanya adalah masalah mencari rumah kontrakan untuk dijadikan basecamp. Beberapa kali kami mencari tempat, tapi selalu menemui kegagalan. Ketika ketemu yang bagus, sayang harganya terlalu mahal. Kami masih terlalu sayang kalau modal yang terkumpul hanya dihabiskan untuk membayar sewa rumah kontrakan.
Rencananya, kami akan mendirikan semacam event organizer yang bergerak di bidang wisata outdoor. Pasarnyanya adalah instansi yang akan mengadakan family atau costumer gathering dengan konsep outdoor. Selain itu, kami juga akan menawarkan pelatihan kepada sekolah-sekolah melalui program ekstra kurikuler pecinta alam. Dalam praktiknya, kami tidak bekerja sendiri. Beberapa relasi sudah kami hubungi dan mereka siap mendukung.
Hingga pada suatu hari kami mendapati ada rumah kontrakan yang disewakan dengan harga murah. Letaknya cukup strategis, cocok untuk usaha yang akan dijalankan. Setelah menghubungi pemilik rumah, tercapailah kesepakatan harga.
Rumah kontrakan kami termasuk murah untuk lokasi di pinggir jalan raya. Sudah tidak dihuni selama 10 tahun, tapi kata pemiliknya, minimal sebulan sekali dibersihkan. Dan ketika kami masuk, memang ruangan agak pengap, tapi kebun dan halaman depan nampak belum lama dibersihkan.
Setelah menyelesaikan proses pembayaran, kami berlima lantas membersihkan tiap sudut rumah kontrakan. Saat membersihkan halaman, nampak beberapa tetangga yang melihat kemudian menyapa dengan ramah. Tapi ada satu tetangga yang mewanti-wanti supaya hati-hati, ada penunggunya, kata tetangga yang tinggal tidak jauh dari calon basecamp kami. Itulah alasanya, selama bertahun-tahun, tidak ada yang berani tinggal di sini, lanjutnya.
Memang, jika dilihat dari sisi Feng Shui atau apapun istilahnya, rumah kontrakan ini berada persis di depan pertigaan. Kebanyakan orang menyebutnya “rumah tusuk sate”.
Konon, rumah dengan posisi tusuk sate sering mendatangkan bala bagi penghuninya. Mungkin karena alasan itu, orang yang mau ngontrak jadi berpikir ulang. Atau jangan-jangan memang sudah pernah ada kejadian sebelumnya?
Selepas Isya, kami ke rumah Pak RT untuk melaporkan maksud dan tujuan menempati rumah itu. Beliau menerima kami dengan baik dan memberi sedikit wejangan terkait keamanan, iuran, dan berbagai hal lainnya. Tapi ada salah satu kalimat beliau terkait sejarah rumah itu yang membuat kami bergidik ngeri.
Sekira 10 tahun yang lalu, ada penghuni rumah yang gantung diri tanpa diketahui musababnya. Dan konon, arwahnya masih sering menghantui, terutama mereka yang masuk ke dalam rumah itu. Dari cerita Pak RT dapat disimpulkan alasan kenapa rumah disewakan dengan harga murah.
Kepalang basah membayar, mau tidak mau, kami tetap nekad menghuninya. Lagian rumah kontrakan yang sebelumnya dipakai untuk gantung diri belum tentu angker juga. Bisa jadi itu hanya gosip yang tersebar di lingkungan tersebut, karena gantung diri memang bukan kematian yang wajar dan kerap menjadi bahan pembicaraan, bahkan setelah bertahun-tahun berlalu. Kalaupun ditemui sesuatu yang ganjil, bagi kami hal itu sudah biasa. Sudah tidak terhitung berapa kali mengalami kejadian seperti itu saat dulu sering mendaki gunung bersama.
Teror dimulai
Setelah selesai urusan dengan Pak RT, sekira pukul sembilan malam, kami berpamitan. Kami menuju rumah kontrakan setelah sebelumnya membeli kudapan. Rupanya, Teguh lupa belum memasang lampu penerangan jalan sehingga walaupun rumah tampak terang, tapi jalan di depan rumah masih gelap. Sesaat setelah membuka gerbang depan, kami semua mencium bau busuk, seperti bangkai tikus yang sudah beberapa hari mati.
Rio dan Teguh berinisiatif masuk ke dalam rumah untuk mengambil senter. Mereka mau mencari keberadaan bangkai di depan rumah itu. Tanpa diketahui sebabnya, pintu tidak bisa dibuka, kuncinya macet, padahal tadi siang tidak ada masalah.
Berkali-kali dicoba tetap saja tidak berhasil dibuka. Akhirnya, semua terduduk di teras, berpikir untuk mencari solusi, lalu diputuskan untuk meminjam kuci cadangan dari pemilik rumah. Namun, sesaat setelah Beni berdiri, tiba-tiba pintu rumah terbuka sendiri, padahal masih dalam keadaan terkunci!
Kami semua terkejut dan saling berpandangan. Saat itu, tidak ada dari kami yang menyiratkan rasa takut. Sudah biasa, begitu suara dalam hati kami semua. Dengan mengucapkan salam terlebih dahulu, Beni, diringi yang lain masuk rumah satu per satu. Aman.
Semua lampu di tiap ruangan sengaja dinyalakan. Tidak ada yang mencurigakan. Semua ruangan di dalam rumah induk sudah kami periksa.
Sampailah kami di kamar belakang. Kamar ini letaknya terpisah dari rumah induk karena berada di belakang dan berhadapan langsung dengan kebun. Kamar ini memang belum sempat dibersihkan karena seharian tadi semua membersihkan halaman depan dan rumah induk. Sialnya lagi, belum dipasang lampu, pun dengan teras belakang, sehingga keadaan agak gelap karena hanya mendapat sinar dari arah rumah.
Krieeett… pintu yang engselnya sudah berkarat menimbulkan suara yang membuat suasana menjadi mencekam. Sinar dari senter Beni menyapu ke tiap sudut ruangan dan di salah satu sudut teronggok pakaian dan celana jeans. Entah milik siapa.
Kami berpikir mungkin milik tukang yang biasa membersihkan rumah kontrakan ini. Beda dengan kondisi ruangan di dalam, kamar ini terasa lembab dan dingin. Mungkin karena letaknya di pojok dan jarang terkena sinar matahari, beberapa bagian dindingnya berlumut dan kotor, sebagain catnya terkelupas karena basah.
Lantai kamar agak basah, mungkin karena ada beberapa genting yang pecah dan belum sempat diganti. Benar saja, ketika Beni menyorotkan senternya ke atas, tidak kurang dari tiga genting terlihat pecah. Itu pula yang menyebabkan beberapa bagian eternit dari kamar ini menjadi hancur dan berlumut.
Namun, yang menyita perhatian kami, di salah satu kaso bekas eternit yang pecah itu nampak ada potongan tali plastik.
“Bekas tali. Mungkin di kamar ini dia gantung diri”, kata Beni.
“Gila, masa iya sudah beberapa tahun talinya tidak dilepas?” Sahut Teguh.
“Bisa jadi, karena mungkin hanya dipotong saja tanpa melepas simpulnya,” balas Beni lagi.
Tengah kami berbincang di belakang, terdengar pintu depan terbuka. Siapa lagi yang datang? Tak lama setelahnya, terdengar suara perempuan memanggil,
“Guuuh!”
Suaranya memanggil nama Teguh. Itu seperti suara Mila, pacar Teguh. Tapi ketika kami semua mendatangi suara itu ke dalam rumah induk, kami tidak menemui Mila! Lagian bukannya Mila selepas wisuda bulan lalu langsung pulang ke Bandung? Kalaupun dia datang pasti bakal memberi kabar.
“Guuuh!”
Kali ini suara itu berpindah dari arah belakang, seperti sedang mempermainkan kami. Rio, di antara kami semua, dia yang paling rasional dan hampir tidak mempercayai hal-hal mistis. Tapi, kali ini, dia tampak pucat. Ketakutan.
Tidak lama setelah kami kejar ke belakang, terdengar suara perempuan tertawa. Kami semua terpaku. Bergidik, tapi tidak dengan Beni. Dia mengejar arah suara itu, dan benar saja, dia menuju kamar yang berada di pojok rumah kontrakan. Hanya suara perempuan tertawa saja, tidak ada sosok atau wujud yang bisa terlihat dengan mata.
Blarrr!
Tiba-tiba pintu kamar itu dibanting dengan keras. Setelah itu, keadaan kembali sunyi. Kami masuk ke rumah induk dengan perasaan campur aduk. Malam pertama di rumah baru menjadi malam yang penuh teror, dan belum akan berhenti hingga kami menyerah dan meninggalkan tempat ini.
Beni dan segala keberaniannya
Keesokan harinya, kami semua kembali memeriksa halaman rumah kontrakan yang semalam menebarkan bau busuk. Anehnya, pagi itu tidak ada bau tercium dan juga tidak ditemukan bangkai tikus. Semua normal saja. Tidak seperti rumah berhantu yang terkesan kumuh dan tidak terawat.
Menggunakan tangga, Beni naik ke atas atap kamar belakang untuk mengganti genting yang bocor. Setelahnya, dia membuka pintu kamar dan masuk. Kali ini dia membawa tangga aluminium itu ke dalam. Dia melepas tali yang kami curigai sebagai bekas gantung diri. Baju dan celana yang teronggok di salah satu sudut diambilnya. Dia menjemurnya di tali jemuran yang ada di kebun.
“Jangan dibuang, kita tidak tahu baju dan celana ini milik siapa. Takutnya ada yang datang nanyain,” kata Beni.
Beni, selain senior kami, adalah sosok pemberani terutama dalam menghadapi situasi seperti ini. Pengalamannya selama bertahun-tahun berpetualang di alam bebas dan bertemu dengan berbagai macam makhluk menjadikan dia sosok yang tangguh dan bernyali. Bukan tanpa bekal ilmu, dia sebelumnya sudah banyak menjalin relasi dengan orang-orang yang memiliki kemampuan supranatural.
“Aku lebih takut kena hipotermia daripada ketemu hantu di gunung. Itulah kenapa aku tidak mau solo hiking. Kalau kena hipo, siapa yang mau nolong?” Katanya suatu kali. Walaupun pemberani, tapi Beni tetap sadar jika ada bahaya yang mengancam dan tidak pernah menganggap remeh suatu hal, apalagi teledor.
Siang itu, setelah selesai menyelesaikan semua pekerjaan, kami berkumpul di teras depan sambil menikmati ketoprak yang dipesan dari pedagang yang setiap hari lewat di depan rumah kontrakan.
“Mas beneran yang nyewa rumah ini?”
Pedagang ketoprak itu bertanya sambil menyelidik. Matanya tidak berkedip sambil sesekali melirik ke bawah. Mungkin memastikan kaki kami memijak bumi, tidak melayang.
“Iya, emang kenapa, Mas? Takut ya? Dikira hantu?” Kata Ari sambil ketawa.
Seharian bekerja membersihkan setiap sudut rumah kontrakan membuat kami makan dengan lahap. Beni mengajak pedagang ketoprak berkeliling ke setiap sudut rumah. Dia penasaran, sudah beberapa tahun berjualan di depan rumah ini tapi baru kali ini menemui orang yang mau menghuni.
“Pernah nemuin hal aneh nggak, Mas, selama jualan di depan?” Tanya Teguh.
“Belum pernah, sih. Cuma, kata banyak orang, ini rumah dulunya dipakai orang gantung diri. Jadi yang mau nyewa pada takut.”
Selesai makan, saat itu sudah pukul tiga sore. Setelah banyak ngobrol, penjual ketoprak itu pamit. Dia memang hanya berjualan sampai pukul tiga dan setelah itu dilanjutkan dengan berjualan bakso di depan rumahnya sendiri sampai malam. Siang hari saat berjualan ketoprak, kios bakso dijaga istrinya.
“Enak, Mas, ketopraknya, bisa jadi langganan ini,” kata Rio sambil menyerahkan uang.
Namun, ketika mendengar suara Rio, penjual ketoprak itu mendadak pucat. Seketika itu juga, dia pergi tanpa berpamitan. Aneh! Ini tukang ketoprak kenapa?
Gangguan yang tidak pernah berhenti
Sudah menjadi kebiasaan bagi penduduk di daerah ini untuk melakukan selamatan setiap akan menempati rumah baru. Namun, setelah konsultasi dengan Pak RT dan beberapa tetangga, kali ini kami tidak akan mengundang mereka.