Hari itu adalah hari Jumat yang jatuh bertepatan dengan lebaran hari pertama. Pada saat sejumlah orang berangkat jumatan.
Samsul justru mengambil beberapa petasan sisa malam takbiran. Rencananya petasan itu akan diledakkan pada saat dirinya datang di masjid.
Tak lama kemudian Samsul pun hampir tiba di masjid yang biasa dia jadikan tempat untuk menunaikan solat jumat.
Setelah masjid mulai penuh dengan para jamaah. Samsul pun segera bersiap. Ia mengambil petasannya yang paling besar.
Sesaat sebelum Samsul menyalakan petasannya. Ia diingatkan oleh Bagus yang tiba-tiba muncul menepuk bahunya dari belakang.
“Sul, kamu sudah keterlaluan. Masak siang-siang begini kok main petasan,” kata Bagus mengingatkan.
“Namanya juga lebaran, Gus. Maklumlah main petasan,” bantah Samsul.
“Main petasan sih boleh-boleh saja, Sul. Tapi harus tahu waktu. Masak waktunya orang sembahyang jumat kamu kagetin. Kalau solat mereka batal karena petasanmu. Bisa-bisa kamu nanti masuk neraka,” kata Bagus.
Setelah mengatakan itu Bagus segera berlalu ke masjid. Sementara Samsul masih asik duduk di pinggir sawah sambil menimbang memainkan petasannya.
Setelah memikir masak-masak. Samsul pun segera menyalakan sumbu petasannya. Ketika sumbu petasan terbakar.
Samsul tiba-tiba teringat dengan perkataan Bagus. Ia jadi takut masuk neraka karena membatalkan solat orang yang sedang jamaah di masjid.
Kemudian Samsul melemparkan petasannya ke lumpur sawah dengan harapan sumbu petasan yang terlanjur dibakarnya mati.
Sayangnya, sumbu tak kunjung mati dan petasannya tetap meledak. Beruntung posisi petasan sudah tercelup lumpur sehingga suaranya tidak terlalu keras.
Tapi, sial bagi Samsul. Akibat dari ledakan petasannya. Seluruh tubuhnya terkena lumpur yang muncrat karena ledakan petasannya.
Orang-orang yang melihat kejadian itu tertawa karena melihat Samsul terkena karmanya sendiri. Samsul pun pulang dan akhirnya hari itu dia tidak jadi ikut Jumatan.