Terik panas matahari di awal bulan Ramadan terasa begitu menyengat tubuh Tania yang baru beranjak remaja. Kering di kerongkongan semakin terasa karena sejak pagi tidak terbasuh air minum. Puasa di bulan Ramadan terasa begitu berat, apalagi untuk seorang Tania yang masih belum ikhlas menjalankan ibadah puasa Ramadan. Dikayuhnya sepeda ontel kesayangan Tania menuju mushola untuk melaksanakan sholat Dzuhur dan mengikuti pelajaran agama bersama bu guru di mushola.
Tania disuruh bapanya untuk rutin mengikuti pengajian tersebut selama bulan Ramadan. Tania sebetulnya enggan harus melaksanakan sholat Dzuhur di mushola, ia harus mengayuh sepeda ontelnya disaat matahari serasa menusuk seluruh kulitnya, ditambah lagi dalam kondisi berpuasa, setelah itu iapun harus mengikuti pelajaran agama pula.
Tetapi Tania tidak berani membantah perintah bapanya yang cukup keras dalam mendidik anak-anaknya. Yang bisa Tania lakukan hanya menuruti perintah bapanya dengan berat hati, bahkan tidak jarang Tania berusaha mencari berbagai cara untuk menghindari hal tersebut.
Kadang kala Tania berpura-pura tertidur atau tidak bangun pada saat ibu Tania membangunkannya untuk berangkat ke mushola. Bahkan tidak jarang Tania berpura-pura sakit agar diperbolehkan istirahat di rumah dan tidak pergi ke mushola. Alasan yang sering diungkapkan Tania pada ibunya, “Ibu, bukankah orang sakit diberi keringanan untuk boleh meninggalkan kewajiban agama?” Ibu Tania yang tahu bahwa Tania hanya berpura-pura sakit menjawab dengan tersenyum, “Ah, bisa saja kamu, Nak.”
Usahanya tersebut tentu saja tidak selalu berhasil, beberapa kali ketahuan oleh ibu atau bapanya. Bu guru pengajian di mushola mendengar cerita tersebut dari Ibu Tania. Beberapa kali bu guru mencoba menasihati Tania untuk ikhlas dalam melakukan amal kebaikan agar terasa lebih ringan. Namun nasihat bu guru pengajian tidak juga digubris Tania. Sekalipun demikian, bu guru tidak bosan menasehati dan mengajak Tania dengan penuh kesabaran, berharap Tania akan berubah menjadi lebih baik.
Adzan Duhur terdengar berkumandang di sepanjang perjalanan Tania menuju mushola. Perjalanan naik sepeda ontel di siang hari itu memang sangat menguras tenaga. Tania kehilangan semangat untuk sholat di mushola dan ikut pelajaran agama. Untuk kesekian kalinya, Tania terlambat berangkat ke mushola. Sambil mengayuh sepeda ontelnya, Tania bergumam dalam hati, “Daripada datang terlambat nanti kena ceramah bu guru, lebih baik aku pergi ke taman bermain saja.”
Tanpa pikir panjang Tania langsung bergegas memutar balik sepeda ontelnya menuju ke arah taman bermain. Dengan cepat Tania menerobos dedaunan kering di sepanjang jalan itu hingga daun-daun berterbangan seperti sedang terkena angin puting beliung.
Gembira rasanya hati Tania melakukan apa yang ia inginkan. Tanpa disadari kecepatan sepeda ontel Tania melebihi batas biasanya. Tania tidak mewaspadai terhadap kondisi sekitar. Beberapa meter sebelum taman bermain, tiba-tiba Tania kehilangan keseimbangan. Tania jatuh terjerembab bersama sepeda ontel kesayangannya ke dalam parit di pinggiran jalan.
Tania tak sadarkan diri. Ketika Tania pingsan, ia bermimpi, ia sedang berada di tempat yang gelap gulita. Tak ada siapa pun di sana. “Ibu!” teriak Tania. Tak ada jawaban, hanya suara Tania yang terdengar. “Bapa!” kembali tak ada jawaban pula, hanya terdengar suara Tania seorang. “Ya Allah, apa aku sudah meninggal? aku belum mau meninggal, aku masih ingin hidup. Ya, Allah, Aku belum melakukan kebaikan, aku belum minta maaf pada bapa dan ibu. Tolong kembalikan hamba.” mohon Tania. Takut, cemas, khawatir, bercampur aduk dalam pikiran Tania.
Lalu Tania tersadar dari pingsan dan mimpinya tersebut, ternyata ia sedang berada di rumah sakit dekat taman bermain. Sekujur tubuhnya terasa sangat sakit terutama di bagian kepala dan kaki. Ketika ia melihat sekitar, ditemukannya sosok bapa dan ibunya duduk menunggu di dekat tempat tidur di mana Tania sedang berbaring. “Alhamdulillah, kamu tidak apa-apa, Nak?” Ibu bertanya dengan suara yang bergetar. Tania tidak kuasa menjawab, ia hanya diam terpaku, tersadar dengan apa yang telah ia lakukan, Tania menahan tangis hingga ia mendengar bapanya berkata, “Nak, kamu baik-baik saja? kamu kenapa bisa jatuh, Nak? Bapak terkejut saat tahu kamu jatuh.”
Tania tak kuasa lagi menahan tangis, ia merasa sangat bersalah kepada bapa dan ibunya. Tania menangis sejadi-jadinya, meminta maaf bapa dan ibunya. “Bapa, ibu, maafkan Tania, Tania menyesal, Tania tidak mematuhi bapa dan ibu.” isak Tania. Bapa dan ibu Tania langsung memeluk Tania. Tania menangis bukan karena sakit yang dirasa di kepala dan kakinya tetapi karena rasa sakit hati akibat merasa bersalah telah membohongi bapa dan ibunya. “Ini barangkali hukuman dari Allah, aku benar-benar menyesal ya Allah. Aku hanya melakukan apa yang aku mau dan aku suka, tanpa mempedulikan apa konsekuensinya.” batin Tania.
Tania dirawat di rumah sakit karena luka-lukanya tersebut kurang lebih selama dua minggu. Selama dua minggu itu, banyak hal yang dipikirkan Tania. Mulai dari kesalahan-kesalahan apa saja yang telah ia lakukan, hingga bagaimana Tania memperbaiki kesalahan-kesalahannya.
Ketika luka-luka Tania telah sembuh, dokter mengizinkan Tania untuk pulang ke rumah. Tania kembali berakitivitas seperti sedia kala. Hanya saja kali ini Tania melaksanakan seluruh aktivitasnya dengan ikhlas dan tidak merasa terpaksa.
Hari pertama Tania datang kembali ke mushola setelah sembuh dari kecelakaan, Tania langsung menemui bu guru pengajiannya. Tania yang sebelumnya enggan bertemu bu gurunya, memberanikan diri menemui dan bertanya banyak hal kepada bu guru.
“Bu guru, apakah bisa dimaafkan semua perbuatanku membohongi dan membantah perintah orangtua yang telah dilakukan berulang kali?” dengan malu-malu tetapi yakin Tania bertanya kepada bu gurunya yang sedang duduk di belakang mushola. Dengan lembut bu guru menjawab, “Tania, Allah itu Maha Pemaaf, selama hambanya berniat dan bersungguh-sungguh bertaubat.” “Tapi bagaimana caranya supaya bapa ibu ridho dan Allah pun ridho?” “Minta maaflah kepada bapa ibumu, lalu banyak beristigfar memohon ampun kepada Allah, lakukanlah ketaatan dan kebaikan untuk menutupi kesalahan yang telah lalu.” “Apakah masih bisa bu guru?” “InsyaAllah, selama kita masih bernapas, tidak ada kata terlambat untuk menjadi baik, apalagi di bulan Ramadan ini. Ingatlah Tania, di akhir bulan Ramadan kesempatan untuk berbuat baik sangat terbuka lebar, apalagi dengan adanya malam Lailatul Qadr, malam yang lebih baik dari seribu bulan.” “Oh, iya bu guru, Tania hampir lupa.” “Iya Tania, semangatlah mengejar kebaikan dari malam Lailatul Qadr.” “Terimakasih bu guru atas nasihatnya.”
Setelah berbincang dengan bu guru pengajian, Tania bisa mengambil pelajaran dari kecelakaan yang telah dia alami. Tania pun bertekad akan menjadi anak yang patuh pada bapa ibu terutama di akhir bulan Ramadan ini. Tania berharap ia bisa mendapatkan keberkahan dari malam Lailatul Qadr dan bisa menjadi anak yang soleh serta bertaqwa.