Di pagi hari yang cerah, aku bermain dengan teman-temanku di halaman sekolah sambil menunggu bel untuk upacara. Berlari ke sana sini, kejar kejaran. Sekelompok polisi dan sekelompok perampok. Aku berperan menjadi perampok. Misiku lari agar tidak tertangkap oleh polisi dan membebaskan teman perampokku yang ditangkap.
Tiba-tiba aku tersandung oleh batu dan jatuh. Beberapa detik kemudian, seseorang datang dan menjulurkan tangannya kepadaku dengan niat ingin membantuku berdiri. Orang itu asing bagiku. Dia tidak pernah ke sekolah ini sebelumnya. Dia berpakaian baju kaos dengan jaket berwarna hitam, bercelana panjang berwarna hitam dengan saku di sampingnya dan memakai kaca mata hitam. “Lain kali, bermainlah dengan hati-hati!” ucap kakak tersebut. Aku berkata “baik kak..”.
“Kriiinggg.., kriiinggg, kriiinggggg…” begitulah suaranya, Suara bel untuk berbaris. Aku dan teman-temanku langsung membuat barisan di tempat biasanya. Setelah melaksanakan upacara, seperti yang dilakukan setiap hari, kujalankan aktivitasku di sekolah.
Setelah bel pulang berbunyi, aku keluar dari sekolah menuju parkiran mengambil sepeda dan mengendarainya sampai ke rumah. Di tengah perjalanan, aku terpikir orang yang menolongku tadi pagi. “Siapa dia? kenapa dia memakai kaca mata hitam? Padahal dia lagi tidak jalan jalan…” tanyaku di dalam hati.
Setibanya di rumah, aku melihat di seberang rumahku ada mobil berwarna putih mutiara dengan merek Xtander. Aku melihat ada kakak yang menolongku tadi keluar dari rumah itu. Aku menyapanya sambil melambaikan tangan “Kakaaaak”. Kakak itu melihatku dan membalas sapaanku dengan senyuman dan lambaian tangan. Karena aku belum kenal siapa namanya, aku tinggalkan sepedaku di depan rumah dan berlari menuju kakak itu.
Aku mengulurkan tanganku dan berkata “namaku Tendi safatren, siapa nama kakak?” Kakak itu menjawab “oooh, mau kenalan ya.., oke, nama kakak Avandy Harfey. Kakak tinggal di atas Cutbox Barbershop”. “Ooooh” jawabku sambil mengangguk paham.
“Ngomong ngomong, apa yang kakak lakukan di sini?” tanyaku. “Kakak ke sini ingin meminta ibu Nova untuk menjaga adikku di rumah besok, karena kakak kemarin sudah berjanji untuk bertemu teman yang di Batusangkar” jawabnya panjang. “Kakak, kenapa kakak selalu memakai kacamata hitam?” tanyaku heran. Kakak itu tidak menjawabnya. “Kenapa kakak itu tidak menjawab?” tanyaku di dalam hati. “Kakak pergi dulu ya..” kata kakak itu sambil menaiki kendaraannya. “Oke..” jawabku.
Tiga hari kemudian, aku bertemu lagi dengan kakak Vandy ketika aku sedang makan di Mata Air Resto. Akupun mendekatinya yang sedang makan berdua dengan adiknya. “Hai kak” sapaku. “Oh, kamu Ten, ngapain?” Tanya kak Vandy sedikit terkejut. “Gak ada, cuuma makan dengan keluarga di meja sana..” jawabku sambil nunjuk.
Karena aku masih penasaran alasan kak Vandy selalu memakai kacamata hitam, aku langsung mengambil kacamata tersebut dan dapatlah jawabannya. “haaaaaah, mata harimau…?” ucapku terkejut dengan nada tinggi. Untungnya, sekarang ini hanya kami yang ada di resto, hanya keluaragaku yang melihat. “Kamu ini gak sopan ya!!!, ngambil barang orang tanpa izin” ucap kakak itu dengan nada marah. “Maaf kak, aku hanya penasaran” jawabku berminta maaf.
“Selama ini kakak tidak memperlihatkan mata kakak karena mata kakak yang mirip dengan mata harimau dan kakak tidak ingin orang-orang mengira kakak ini siluman harimau…” jelas kak Vandy. Terus, kak Vandy berpura pura seperti layaknya harimau asli dan mengerjarku. Akupun lari seperti dikejar oleh para polisi. Akupun menjerit “tolooong…”
The End