Rintik hujan mulai membasahi taman kota membuat semua orang yang duduk santai menikmati malam dengan menyaksikan air mancur memilih pergi dan ada juga yang berteduh mengamankan dirinya dari basah kuyup bila sewaktu-waktu hujan menjadi lebat. Begitu juga denganku yang memilih berteduh di warung makan yang ada di sebarang jalan karena tak ingin koran daganganku menjadi rusak bila dipaksakan berjulan.
“Permisi Bu, numpang sebentar,” sapaku pada pemilik warung yang membuang sampah. “Masuk ke dalam saja, kalau diteras kamu akan basah,” suruhnya “Terima kasih Bu,” jawabku dan akupun masuk ke dalam warung dan duduk.
“Rian, kamu?” tanya laki-laki dan betapa terkejut setelah aku menoleh ternyata Pak Rahmat guru sekolahku. Aku pun menghapirinya dan bersalaman. “Kamu kemana saja, lama tidak masuk sekolah? Sebenarnya sekolah membutuhkanmu untuk mengibarkan bendera pada hari kemerdekaan,” tanyanya dan kemudian menyuruhku duduk di sebelahnya. “Aku berhenti sekolah Pak. Aku harus berjualan koran menggantian ibu yang sakit,” jawabku. “Rian, asal kamu tahu, dulu pejung kemerdekaan merebut kemerdekaan dari tangan penjajah salah satu tujuannya adalah untuk menjadikan anak-anak Indonesia pintar. Jadi eman-eman kalau kamu berhenti, karena dengan bersekolah kamu akan meneruskan perjuangan mereka.”
“Rian dan ibu butuh makan Pak,” tegasku singkat. “Bapak mengerti, tapi kamu kan sudah kelas enam dan tinggal satu tahun lagi lulus. Begini saja bapak dan semua guru akan bermusyawarah tantang masalahmu, kamu datang minggu depan ke rumah bapak untuk mengetahui keputusannya,” pintanya. “Baik Pak. Sekarang Rian pamit dulu, hujannya sudah redah,” kataku dan setelah itu aku bersalaman lalu mengucapkan salam. “Rian, jangan lupa besok hari kemerdekaan Indonesia. Bagaimanapun caranya kamu harus memperingatinya,” pesannya. “Iya pak,” sanggupku.
Dengan masih mengingat perkataan Pak Rahmat aku berjalan menyusuri terotoar menuju kios koran. Sambil berjalan aku menawarkan koran pada pejalan kaki. Sesampainya di kios aku langsung menyetorkan uang hasil penjualan dan sisa koran. Aku bersyukur karena hari ini mendapatkan upah yang cukup. Kemudian mengambil sepeda di belakang kios dan mengayuhnya. Sebelum sampai di rumah aku sengaja mampir ke rumah Adit temanku untuk menayakan maksud dari perkataan pak rahmat.
Sesampainya di rumahnya aku mengucapkan salam dan kemudian Adit keluar mengajakkau ke kamarnya. “Dit, tadi aku bertemu Pak Rahmat. Beliau menyuruhku besok untuk memperingati hari kemerdekaan, tapi aku tak tau caranya. Mau ikut upacara aku sudah berhenti sekolah. Menurutmu aku harus bagaimana?” tanyaku. “Rian, kamu ingat pelajaran PKn (Pendidikan Kewarganegaraan) yang diajarkan Pak Rahmat. Beliau bilang tidak harus ikut upacara untuk memperingati kemerdekaan Indonesia, mengibarkan bendera merah putih di depan rumah kita itu katanya sudah bisa dikataan memperingati. Oya, apa kamu sudah memasang bendera di halaman rumahmu?” “Belum, aku tak punya bendera.”
Adit mengajakku keluar. Kemudian menurunkan bendera di depan rumahnya. “Rian, ambil saja bendera ini dan kibarkan di rumahmu,” “Kamu?” tanyaku. “Mulai tanggal satu aku mengibarkan dua bendera di depan rumahku, jadi yang satu untukmu saja.” “Terimakasi Dit. Oya, aku pulang dulu sudah larut malam,” pamitku dan setelah itu mengucapkan salam.
Dengan penuh semangat aku mengayuh sepeda untuk segera sampai di rumah, ingin segerah memastikan keadan ibu dan mengibarkan bendera. Sesampainya aku langsung menaruh sepeda dan segera mengucapkan salam dan ibu yang belum tidur membalas salamku.
“Rian, kenapa pulang larut malam?” tanya Ibu. “Rian mampir dulu di rumahnya Adit. Oya hari ini rian bersyukur dapat upah banyak dari penjualan koran dan juga dapat bendera untuk dikibarkan,” kataku sambil memberikan semua uang dan menunjukkan bendera. “Kamu mandi dulu sehabis itu makan dan terus tidur. Ibu tidur duluan.” “Baik Bu.” Aku mandi dan kemudian makan. Setelah itu aku mencari bambu tapi tak menemukan. Akhirnya aku memutuskan menaruh bendera di pohon pinang yang berada di depan rumahku, kemuadian duduk di depan pintu sambil memandangi bendera yang berkibar di pohon pinang.
Lama memandangi hingga tak terasa watu sudah lewat separuh malam, aku memilih masuk rumah dan menutup pintu dan tidur di samping ibu. “Bagaimana seandainya aku mengadakan upacara bendera di sini. Aku yang mengibarkan bendera dan ibu jadi pembinanya?” gurauku. “Rian, itu ide bagus. Laksanakan!” tambahku.
Aku pun bangun dan membuka pintu, mencari ide lagi dan kemudian mengambil tali jemuran. Naik ke pohon pinang mengambil bendera serta memasang tali agar besok pagi bisa menggerek bendera. Setelah itu aku mengabil kursi dan menaruhnya di depan rumah untuk besok yang akan ditempati ibu dan kemudian memilih tidur di luar dengan beralasan tikar.
“Rian, bangun,” suara ibu membangunkanku. Akupun bangun dan segera mandi serta berpakain rapi. “Bu, sekarang hari kemerdekaan Indonesia. Ibu dan Rian harus memperingatinya,” ajakku. “Terus ibu harus bagaimana?” tanyanya. “Ibu ikut Rian keluar, kita upaca bendera dengan sederhana,” aku mengajak ibu keluar dan menyuruhnya duduk di kursi yang telah disediakan, kemudian aku mengambil bendera dan memberikannya pada ibu.
Setelah semua dirasa siap, aku bertindak sebagai pemimpin upacara dan merangkap pengibar bedera, aku memberi hormat pada pembina upaca (Ibu) setelah itu mengambil bendera di pangkuan ibu membawanya pada pohon pinang dan mengikatkannya pada tali kemudian menggereknya hingga ke atas dengan diiringi lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan aku dan ibu.
Setelah pengibaran bendera selesai, aku pun meminta ibu untuk memberikan sambutan. “Rian, Ibu harus bagai mana?” tanyanya. “Ibu ceramah seperti pak camat,” suruhku dan ibu terdiam sesaat.
“Assalamu’alaikum. Terimakasih Tuhan aku bangga mempunyai anak yang menghargai perjuangan pejuang kemerdekaan, semoga Rian menjadi anak yang berguna dan dapat membahagiakan semua orang. Semoga hamba dan Rian diberikan kesehatan dan rejeki. Satu lagi, semoga Rian diberikan jalan untuk bisa sekolah lagi. Wassalamualaikum.” Begitulah ibu mengakhiri ceramahnya dengan berlinang air mata.
Setelah upacara selesai aku berucap sukur bisa merayakan hari kemerdekan walaupun sesederhana mungkin. Aku dan ibu kemudian makan bersama dan setelah itu aku berpamitan untuk berangkat berjualan koran dan minta di doakan semoga hari ini banyak pembelinya.