Di tepi danau hiduplah sepasang angsa yang sedang mengerami telurnya di sarangnya. Sarang itu terletak di semak-semak di pinggir danau. Mereka secara bergantian mengerami empat telur buah cinta mereka. Mereka menjaga telur-telur itu dengan hati-hati agar tidak dimangsa predator seperti buaya, nyambik dan ular. Mereka berharap empat anaknya lahir tepat pada waktunya.
“Jaga anak kita, aku akan mencari makan,” kata bapak Angsa kepada ibu Angsa. “Ya Pak. Hati-hati.” “Ya.”
Pak Angsa segera terbang menuju tengah danau untuk memancing ikan. Ia harus memperoleh sebanyak mungkin ikan untuk dirinya dan istrinya. Namun, hari ini banyak ikan yang bersembunyi di batu-batu di dasar danau sehingga susah ditangkap. Hampir setengah hari ia memancing tetapi masih terlalu sedikit ikan yang didapatkannya.
Sebentar lagi hari sudah sore. Ia harus pulang untuk berbagi makanan dengan istrinya. “Hai Angsa, sebaiknya kau pulang,” kata bebek yang tiba-tiba mendarat di tengah danau. “Aku belum kenyang, Bek.” “Kamu jangan serakah. Danau ini bukan milikmu seorang. Semua berhak memancing di sini. Sekarang giliranku.” “Oh, begitu. Baiklah bebek, aku akan pulang. Semoga kau beruntung.”
Ibu Angsa masih setia mengerami keempat telurnya ketika Pak Angsa datang. Mereka segera berbagi makanan yang Pak Angsa dapatkan hari ini. Pak angsa dengan setia kemudian ikut menunggui istrinya yang mengerami telurnya. Tiba-tiba ada seekor ayam jago yang akan mengganggu ibu Angsa.
“Sana pergi, jangan ganggu kami,” bentak Pak Angsa. “Emangnya gue pikirin,” jawab Ayam Jago cuek. Pak Angsa bangkit dan mengejar Ayam Jago dengan kemarahan yang tak dibuat-buat.
“Rasakan ini!!” kata Ayam Jago sambil mengabluk Pak Angsa. “Cuma segitu kemampuanmu?” balas Pak Angsa sambil mematuk Ayam Jago tepat di kepalanya. “Brukk” kedua hewan itu bertubrukan dan robohlah si Jago. Pak Angsa terus mengusirnya dari wilayah kekuasaannya. “Ampun Angsa. Aku menyerah.” “Sudah. Pulanglah ke rumahmu.”
Lepas dari gangguan Jago, datang Itik yang dengan cueknya mengambil telur Angsa. Pak Angsa segera bertindak dengan merebut kembali telur itu. “Hei, kembalikan anak kami,” kata Pak Angsa. “Tak bolehkan kami mengadopsinya?” “Tidak! Kami masih sanggup merawat dan membesarkan mereka sendiri.” Pak Angsa semakin waspada menjaga istri dan anak-anaknya yang belum menetas. Ia tampak sedikit kurus karena kurang tidur.
“Ada-ada saja gangguan.” “Bagaimana kalau kita cari tempat tinggal baru?” “Insyaallah dua hari lagi anak-anak akan melihat dunia. Kita tidak bisa memindahkannya. Itu terlalu beresiko bagi mereka.
Hari yang dinanti tiba. Satu per satu bayi angsa yang mungil keluar dari cangkan telur dengan selamat. Mereka masih lemah dan dengan penuh kasih sayang ibu angsa mendekapnya. Mereka belum boleh keluar dari sarang mereka yang hangat.
Di hari ketiga bayi-bayi angsa mulai lapar dan secara naluriah ingin keluar sarang untuk melihat dunia. “Boleh keluar Bu?” tanya bayi angsa. “Nantilah.” “Kapan?” “Kalau ayahmu sudah pulang.” “Ke mana ayah?” “Pergi mencari makanan untuk kalian.” “Kalian mesti sarapan dulu sebelum bermain-main biar sehat dan cepat besar.
Tak lama kemudian Pak Angsa datang dengan membawa makanan yang cukup banyak. Pak Angsa menyuapi satu per satu bayi-bayi angsa itu. Mereka bergembira.
Setelah itu mereka berenam berjalan-jalan santai di pinggir danau. “Ayo belajar berenang,” ajak Pak Angsa. “Aku takut…” jawab bayi angsa yang paling kecil. “Jangan takut. Air akan menjadi bagian dari hidupmu. Tetap bersama jangan jauh-jauh.”
Ketika sedang asyik bermain-main di air danau, tiba-tiba seekor elang menyambar salah satu bayi angsa agak jauh memisahkan diri dari Pak Angsa. “Awas… ke sini!” teriak Pak Angsa. Orangtua angsa itu berusaha melindungi anak-anaknya dari serangan udara Si Elang namun tetap tak berhasil. Satu bayi angsa pergi dalam cengkeraman Si Elang.
“Ayo pulang. Cukup jalan-jalan hari ini,” ajak ibu Angsa. Mereka bersedih karena kehilangan satu anggota keluarganya. Sejak itu semua anak angsa mendengar kata-kata orangtuanya. Keluarga Angsa itu hidup bahagia bersama sampai tiba waktunya anak-anak mereka bisa hidup mandiri.