Seorang siswa kelas IV Madrasah Ibtidaiyah (MI) berlari sekencangnya menuju ruangan tempat pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) dimulai. Ruangan itu terletak dekat dengan perpustakaan sekolah. Karena jarak gerbang yang jauh dari ruangan dan letak rumah siswa itu yang jauh dari sekolah, akhirnya ia harus terlambat.
“Bu,” siswa itu masuk ke kelas dan mendekat ke gurunya, “Maaf aku terlambat, aku harus membantu ayah mengantar dagangannya pagi ini.” Sang guru tersenyum dan menjawab, “Iya, nak. Kamu baru terlambat 10 menit,” dielusnya rambut siswanya itu kemudian berkata lagi, “Tak masalah, nak. Ibu masih bangga denganmu, sebab kamu masih punya semangat untuk sekolah. Sana duduk.”
Siswa itu pun duduk di bangku biasanya, berada di pertengahan, di bangku urutan ketiga dari depan dan keempat dari belakang. Ia duduk bersama sahabatnya, seorang perempuan manis tetangga desanya.
“Hai, Ron. Terlambat lagi?” tanya sahabatnya. “Biasa, Zah, ayahku lama, naik motornya enggak bisa ngebut,” jawab siswa itu kemudian duduk. Dan saat itu juga pembelajaran SKI dilanjutkan kembali.
Hari ini pembelajaran SKI membahas tentang kepribadian Nabi Muhammad saw, belajar mengenai sifat-sifat mulia beliau. Guru pun menjelaskan dengan sedikit bercerita tentang kisah nabi Muhammad saw. Dan kemudian, kelas yang berisi 20 siswa itu dibuatnya menjadi beberapa kelompok untuk saling berdiskusi.
Masing-masing kelompok terdiri dari lima siswa, pembagian kelompok dibuat dengan cara berhitung. Jadi ada empat kelompok di kelas itu. Dan Roni, siswa yang terlambat tadi, mendapat urutan kelompok ketiga.
“Setiap kelompok wajib mencari sifat-sifat mulai Nabi Muhammad saw. Silakan berdiskusi dan dibaca bukunya,” perintah sang guru. Para siswa pun menjawab serentak, “Okee, buuu…”
Akhirnya semua siswa saling berdiskusi, mencari-cari tentang sifat mulia sang Nabi. Hingga tak terasa, waktu berdiskusi sudah lebih dari 10 menit, tanda bahwa diskusi harus usai.
“Baik, diskusi selesai, nak,” ucap sang guru memberi tanda. “Silakan masing-masing kelompok memaparkan hasil diskusinya di depan. Dimulai dari kelompok pertama. Ayo silakan maju.”
Kelompok pertama pun maju dan menjelaskan, “Salah satu sifat mulia dari nabi Muhammad saw adalah siddiq atau jujur. Nabi selalu jujur, dia tidak pernah bohong, bahkan pada istrinya sekalipun. Di buku ini, Nabi pernah jujur kepada Aisyah bahwa ia begitu cinta kepada Khadijah.”
Mendengar itu, semua yang berada di kelas langsung bertepuk tangan. Dan sang guru pun merasa bangga, “Kalian kelompok pertama, hebat,” diacungkan dua jempol oleh sang guru. “Sekarang lanjut ke kolompok dua.”
Dan kelompok kedua pun maju, mereka berdiri bersama memresentasikan hasil diskusi, ”Sifat mulai dari nabi Muhammad saw selanjutnya adalah amanah, yaitu dapat dipercaya. Jadi, benar yang dikatakan kelompok pertama tadi. Nabi Muhammad saw adalah orang yang jujur, maka beliau pun pasti orang yang amanah, atau dapat dipercaya.”
Suasana kelas makin ramai dengan tepuk tangan. Sang guru berkata lagi, “Kelompok kedua juga hebat. Kalian ini memang siswa-siswi cerdas. Sekarang mari lanjut ke kelompok tiga.”
Roni dan kelompoknya pun maju, “Selanjutnya, sifat mulia dari nabi Muhammad saw adalah tabligh,” ucap Roni ketua kelompok, “Ada yang tahu apa itu tabligh?” “Menyampaikan,” jawab Faisal, anggota kelompok dua. “Mantap. Ya, benar. Tabligh adalah menyampaikan. Maka salah satu sifat mulia dari nabi Muhammad adalah menyampaikan. Ketika nabi menerima wahyu, beliau senantiasa menyampaikan itu untuk umatnya. Sebab dari penjelasan kelompok pertama dan kedua, nabi Muhammad adalah manusia yang jujur dan amanah, maka apapun wahyu yang didapat pasti disampaikan.”
Selesai memaparkan hasil diskusinya, kelompok ketiga diberi tepuk tangan yang meriah. Dan sang guru pun tersenyum bangga.
“Terakhir, kelompok ke empat. Harus lebih hebat dari kelompok pertama, kedua dan ketiga,” kata sang guru. Dan kelompok terakhir pun maju ke depan.
“Assalamualaikum wr. wb,” ucapan salam dari ketua kelompok empat. “Wassalamualaikum wr. wb,” jawab seisi kelas. “Sebenarnya, kelompok kami mau mamaparkan hasil diskusi sifat mulia nabi Muhammad saw tentang amanah. Tapi karena sudah dipaparkan oleh kelompok kedua, maka kami akan memaparkan sifat mulia yang belum disebutkan ketiga kelompok sebelumnya.” Sejenak seisi kelas terfokus pada kelompok empat. Sang guru pun masih saja senyum-senyum bangga melihatnya.
“Lanjutkan, nak. Sampaikan apapun dari hasil diskusi kalian,” ucap sang guru.
“Sifat mulia nabi Muhammad saw selanjutnya adalah fatonah..,” ucap kelompok empat. “Fatonah itu artinya cerdas. Nabi Muhammad saw adalah manusia yang cerdas. Sosok manusia yang memiliki perngaruh paling hebat di dunia, manusia nomor satu yang paling berpengaruh.” “Fatonah kan nama ibunya Fauzi,” sahut Iman, teman satu bangku Fauzi. Para siswa pun langsung tertawa, “Hahahahaha…” “Berarti ibunya Fauzi perempuan yang cerdas,” ucap ketua kelompok empat, Lina. “Wuuhhh, iya,” sahut Fauzi. “Jelas cerdas dong, ibuku gitu loh.”
Suasana kelas makin ramai dan sedikit gaduh, bu guru pun menengahi, ia berdiri dan bertepuk tangan dan kelas pun langsung terfokus kepadanya. “Baik nak, silakan duduk,” ucapnya memerintahkan kelompok empat untuk duduk. “Oke cukup anak-anakku yang cerdas, terimakasih atas penyampaian hasil diskusinya. Beri tepuk untuk kita semua.” Seluruh kelas pun bertepuk tangan. Kini kelas semakin gemuruh. Gemuruh keembiraan.
Sang guru berjalan memosisikan dirinya di depan kelas, lalu memberi pesan ke siswa-siswanya, “Nabi Muhammad saw adalah sosok yang sangat mulia, sosok yang patut kita tiru dari segala perbuatan dan ucapannya. Benar yang dikatakan kelompok empat tadi, beliau adalah manusia paling berpengaruh di dunia, bahkan nomor satu paling berpengaruh.” “Aku baca dari bukunya Michael H. Hart punya kakakku, bu. Judulnya 100 Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah,” sahut Lina. Sang guru bangga, “Hebat, nak. Teruslah membaca, perbanyaklah pengetahuanmu dengan banyak membaca. Ingatkah dengan wahyu pertama yang diturun pada nabi Muhammad, apa perintahnya?”
Sejenak suasana kelas hening, para siswa saling tengok, bertanya-tanya. Namun terdengar satu suara, “Iqra, bu.” “Ya, benar sekali, Roni, iqra atau perintah untuk membaca. Sederhana saja, Allah swt memerintahkan Nabi untuk membaca, dan Nabi menyampaikan wahyu itu kepada umatnya termasuk kita. Dan apa manfaat membaca? Jelas, kita akan semakin banyak mengetahui. Dan jika semakin banyak tahu, maka kita akan semakin cerdas. Dan cerdas adalah salah satu sifat mulia nabi Muhammad yang patut kita tiru di kehidupan ini.” Seluruh siswa seakan terhipnotis dengan omongan sang guru, semua terfokus padanya.
“Selain itu, kita yang selalu mengaku sebagai umatnya, sudah sepatutnya untuk mengikuti segala kebaikan yang dilakukan sang Nabi. Terkhusus dari apa yang sudah kalian diskusikan hari ini. Apakah kalian siap menjadi orang-orang yang senantiasa siddiq?” “Siap, bu,” ucap serentak para siswanya. “Dan siapkah untuk menjadi orang-orang yang amanah?” “Siap, bu.” “Ya, kami pasti siap, bu,” ucap Roni. “Lalu siapkah kalian untuk senantiasa menyampaikan, menyampaikan apapun tentang kebaikan?” “Siap, bu guru.”
Mendengar itu, sang guru semakin bahagia, “Kalian adalah siswa-siswiku yang cerdas, yang fatonah. Kelak kalian akan menjadi orang besar, menjadi orang-orang hebat yang akan memajukan negeri ini. Kalian harus menjadi manusia yang baik, berguna bagi bangsa, negara dan agama. Siap?” “Kami siap, bu,” jawab para siswanya lagi.
“Dan ingatlah terus, nak, dengan apa yang sudah kalian pelajari hari ini,” tegas sang guru.