Aku bingung. Kemarin aku lupa untuk menghafal geguritan yang aku pun sampai lupa judulnya. Sementara pembawa acara akan memanggil namaku sebentar lagi. Jika aku mengundurkan diri, aku tak punya alasan lagi untuk ibu. Aku tak mengisi acara hardiknas tahun kemarin. Apa sekarang aku nggak ikut lagi?
Tidak! Aku yakin nanti ibu kecewa padaku. Padahal, aku sudah janji pada ibu untuk ikut mengisi acara peringatan hardiknas tahun ini. “Huuuhh!!! Ini semua nggak bakalan terjadi kalau bukan karena kecerobohanku!!” keluh kesalku dalam hati. Teks geguritanku pagi tadi nggak ada, udah tak cari kemana mana.
Aku menyesal tidak mengikuti nasehat ibu yang selalu mengingatkanku untuk menghafal geguritan. Mataku sembab aku mencari ibu di bangku penonton. Kulihat ibu tersenyum dan melambaikan tangan kepadaku. Aku mulai sedikit bersemangat. “Aku harus bisa! Aku nggak boleh ngecewain ibu!” tekatku dalam hati.
“Kita sambut, Adinda Emilia!” sambut pembawa acara itu. Aku terkejut. Aku berada di urutan setelah adikku, Dinda. Kakiku gemetar. “Ya Tuhan, aku janji tidak akan ceroboh lagi setelah ini, aku mohon berilah aku petunjuk, Tuhan!” doaku pelan yang hampir tak terdengar.
Aku berpikir harus bagaimana. Aku ketakutan. Tak terasa, Dinda hampir selesai. Terbayang hal-hal yang memalukan di depan nanti. Lebih takutnya lagi, ketika penonton sudah bertepuk tangan untuk Dinda. Waktu seakan begitu cepat. Saking takut dan gugupnya aku, tanganku terasa dingin, dan juga ingin buang air kecil. Dinda pun tersenyum lebar. Jelas saja, ia lega karena sudah selesai menembang pangkur.
“Terima kasih, semuanya,” kata penutup yang diucapkan adikku. Pembawa acara itu kemudian memegang mic yang tadi diberikan oleh adikku. Pembawa acara itu memakai suweng hitam. Entah mengapa penglihatanku tertuju pada telinganya tadi. Mmmmhh, sepertinya aku teringat sesuatu pada suweng hitam itu, tapi apa ya? Sepertinya begitu penting, tapi apa?
Oh, ya! Aku baru ingat! Suweng yang dipakai pembawa acara itu, mengingatkanku pada nyanyian yang digunakan untuk permainan tradisional Jawa, yaitu Cublak Cublak Suweng.
“Baiklah, kita sambut, Lutfia Seli!” ucap pembawa acara itu menyambutku untuk tampil. Pertama, aku mengucap salam. Semua penonton menjawab salamku. Aku menjelaskan tentang permainan tradisional Jawa yang tidak boleh hilang. Aku mengingat semua dengan baik apa yang ada di geguritan, yaitu tentang permainan Jawa. Memang aku tidak hafal geguritannya, tetapi aku masih menghafal isinya.
“…permainan itu dimainkan oleh tiga orang atau lebih, dengan menyanyikan lagu Cublak Cublak Suweng, ayo bernyanyi bersama!” jelasku dilanjutkan menyanyi. “Cublak cublak suweng, Suweng teng gelenter, Mambu ketundung gudhel, Pak empong lela lelo, Sopo guyu delekake, Sir sir pong dele gopong 2x” Semua penonton pun ikut menyanyi.
TAMAT