Sudah menjadi tradisi di sekolah. Untuk mengisi liburan akhir semester, Nina beserta teman-temanya mengikuti kegiatan berkemah yang diadakan sekolah. Pagi itu mereka berangkat menggunakan bus. Penuh sukacita mereka bernyanyi bersama menuju tempat tujuan. Di tengah-tengah riuh nyanyian, sayup-sayup Nina menangkap sepintas suara gaduh dari kursi paling belakang.
“Reno jangan! Jangan dilempar!”
Tepat saat Nina akan menengok ke belakang, sebuah benda bercorak hitam legam dan panjang nyaris mengenai kepalanya, benda yang mirip karet selebar dua jari dan sepanjang satu meter itu jatuh begitu saja di samping Nina.
Mata nina membelalak, hatinya berbisik, ular! “Aaaaaaggh…!!” Nina menjerit, kakinya meringkuk naik lalu menutup mata serta seluruh mukanya rapat-rapat.
Yang lain sontak melirik Nina dan tertawa lepas nyaris serempak setelah Reno meraih ular mainan itu dari lantai bus. “Eh, Nin. Ini cuma ular boongan,” kata reno sambil menahan tawa. “Bodoooo…! Aku gak mau lihat…!” pekik Nina meronta.
Tanpa komando, hati reno justru liar dan menyodorkan ular mainan itu ke depan Nina, tepatnya sengaja ditempalkan ke tangan mungil Nina. “Aaaaaaaaaagghhh…!!” Nina berteriak lagi, bahkan lebih histeris dan lebih meronta ketakutan, membuat pak Komar sebagai pembina mereka beranjak menghampiri.
Reno yang menyadari pak komar akan mendekat, segera melejit ke tempat duduknya di belakang.
“Sudah Nina tidak apa-apa, itu hanya mainan.” pak komar mencoba menenangkan dengan menepuk bahu Nina pelan-pelan.
Nina yang merasa sudah terbebas dari ancaman, membuka kedua tangan dan matanya pelan-pelan. Pandanganya lalu memutar, kalau-kalau benda yang menyeramkan baginya itu masih ada di sekitar. Setelah dirasa aman, Nina lantas menarik napas dalam-dalam lalu meringis kikuk menatap pak komar di depanya, “terima kasih pak.”
Hari menjelang siang ketika bus yang mereka tumpangi sampai di lokasi perkemahan. Sesuai perintah dari pak Komar, setiap kelompok yang sudah dibagi wajib mendirikan tendanya masing-masing sebagai tempat untuk berteduh dan beristirahat.
Nina beserta kelompoknya lalu bersiap dan mulai mendirikan tenda. Setelah dirasa semua tenda telah didirikan, pak Komar lantas mengumpulkan semua siswa dan memberikan beberapa penjelasan.
Mereka lalu melakukan kegiatan awal dengan mengumpulkan kayu bakar sebagai bahan acara api unggun nanti malam. Dan sebagai kegiatan keduanya di sore hari, para siswa sibuk menanam bibit pohon sebagai penghijauan di sekitaran lokasi perkemahan tersebut.
Namun di tengah-tengah kesibukan Nina dan kelompoknya menanam pohon, Nina kembali dikejutkan oleh benda yang selalu membuat seluruh badanya ngilu dan bergidik, benda itu tiba-tiba jatuh begitu saja di depan Nina. Nina yang tak menyadari itu mainan hanya bisa menutup matanya dan meronta histeris.
Nina mendadak menangis dan mengejang tak karuan. Lalu tiba-tiba suara Nina yang biasanya melengking kemana-kemana itu seakan hilang dan berhenti di lehernya, menyadari itu kepala Nina mendadak pusing dan berkunang-kunang, pandanganya lalu kabur, sedetik kemudian Nina tak mearasakan apa-apa lagi, Nina terjatuh, lalu gelap.
“Nina…!!” “Tolooog…!!” “Pak Komar…!! Toloong…!!
Satu kelompok Nina saling bersahutan berteriak minta tolong dan mengerubungi Nina. Pak Komar dan siswa lainya yang mendengar sontak berlarian mendekat.
Di dalam tenda Nina mulai siuman, teman-teman yang sedari tadi menunggunyapun akhirnya saling menyeringai berucap syukur. “Alhamdulillah.. Kamu sudah sadar, Nin.” pak Komar tersenyum. “Nina, ini minum dulu.” salah satu teman kelompok Nina mengulurkan sebotol mineral. Nina meneguknya sedikit, Namun cukup membuat badan serta kepalanya kembali segar.
“Nina, kamu sepertinya ketakutan sekali melihat ular? Kenapa? Padahal kan cuma mainan.” pertanyaan pak Komar membuat Nina tiba-tiba terdiam sebentar, seperti sedang meningat sesuatu. “Sa.. saya.. Trauma pak,” terbata dan pelan Nina menjawabnya. Semua saling tatap, “Trauma?”
Nina mengangguk pelan, “dulu ayah saya meninggal karena digigit ular, pak. Saat itu saya melihatnya langsung, ular itu menggigit kaki ayah di kebun, hingga akhirnya ayah tak tertolong saat di perjalanan menuju rumah sakit. Semenjak itu saya jadi takut kalau melihat ular.” raut Nina tampak sayu, teringat kembali kenangan bersama ayahnya saat di kebun.
“Ya sudah tidak apa-apa. Tapi kamu mau tidak biar trauma kamu sembuh? Biar kamu lebih berani sama ular? Apalagi kalau cuma mainan. Biar gak pingsan-pingsan lagi. Bapak punya caranya… Mau tahu?” “Mau pak.” jawab Nina bersemangat. “Caranya bagaimana pak?” Tanya beberapa yang lainya.
Pak Komar lalu menyuruh Reno untuk mengambil ular mainanya. “Baik pak.” jawab Reno semangat. Nina yang mengerti maksud pak Komar langsung mengrenyitkan dahi, “tapi maksud pak Komar berarti saya harus…”
Pak Komar hanya tersenyum dan mengangguk. Saat Reno kembali membawa mainannya itu, Nina tak kuasa menahan ketakutanya lagi, namun dia tak berteriak, dia tahu itu cuma mainan, hanya saja Nina tak mau melihatnya, bahunya lalu bergidik sebelum kemudian langsung sigap menutup matanya rapat-rapat. Melihat reaksi Nina, pak Komar hanya tersenyum, sedang yang lainya bersahutan tertawa lagi.
“Nina.. Ayo jangan takut, buka matanya, lihat yang bapak pegang ini, pelan-pelan saja, tidak apa-apa. Inget Nina, ini cuma mainan, yang lain juga berani tuh pada megangin. Masa Nina gak berani?”
Lalu Nina menuruti kata pak Komar, Nina membuka matanya dan perlahan mencoba memberanikan diri menyentuhnya, sekali, dua kali, tiga kali hanya dengan telunjuknya, kemudian entah keberanian dari mana, kini Nina dengan kedua tanganya benar-benar telah menyentuh seluruhnya, mengelus dan memegang ular mainan tersebut tanpa ragu dan takut lagi. Lalu senyum dari bibir Nina merekah.
“Tuh kan berani.” pak Komar tersenyum lega. “Yeei.. Nina udah gak takut ular mainan lagi.” teriak yang lain.
“Nah, ini pelajaran juga buat kalian semua. Kalo punya trauma atau rasa takut dengan sesuatu yang berlebih, obat paling manjur harus dihadapinya. Kita harus berani melawan rasa takut kita sendiri.” pak Komar menjelaskan. “Iya pak.” semuanya menjawab hampir berbarengan.
“Ya sudah sekarang saya mau tanya, siapa di sini yang takut gelap angkat tangan?” tanya pak Komar sambil tersenyum. “Saya pak..” “Saya..” “Saya..” Semua bersemangat mengangkat tanganya tinggi-tinggi. Pak Komar mengusap keringat di kening karena kepanasan.
“Kalo begitu biar gak takut gelap lagi harus apa?” “Harus dilawan pak!” jawab Reno antusias. “Bagus Reno benar.”
“Ok berarti Nanti malam bapak mau mengobati rasa takut kalian. Siapa yang berani diuji nyali ke kuburan nanti malam angkat tangan?” tanya pak Komar sambil menahan tawa.
Semua mendadak diam, suasananya berubah dingin dan merinding, hanya saling tatap satu sama lain tanpa ada yang berani mengangkat tangan. Wajah merekapun berubah menjadi pucat pasi.