Kicauan guru yang sedang mengajar, gumpalan awan putih yang mengambang di langit, udara yang mengalir di seluruh ruangan kelas. Benar benar suasana belajar-mengajar yang damai. Akan tetapi aku hanya membuat coretan coretan aneh di bukuku, karena pelajaran yang sedang diajarkan adalah pelajaran yang paling tidak kusukai, bahasa Indonesia. Kadang juga aku mengusap tangan dan kepalaku dengan tisu, karena selalu membawa tisu kemana pun aku pergi adalah kebiasaanku sejak kecil.
Beberapa menit kemudian pelajaran itu berakhir, seperti biasa, Zidan, teman sebangkuku, selalu berkata “ada yang tidak bisa kau mengerti ya? mau aku ajarkan?”. Tetapi tetap saja, aku selalu menolaknya. Bukanya aku malas, sombong, atau apa, tetapi aku memang orang yang sangat tidak peduli. Bahkan jika ada orang yang hampir jatuh ke sungai mungkin aku membiarkannya, atau mungkin tidak melihatnya sedetik pun.
Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya suara yang ditunggu banyak siswa pun merambat ke telingaku, ya! apa lagi kalau bukan suara bel pulang sekolah. Tentu saja semuanya langsung menuju gerbang untuk pulang ke rumah. Setelah keluar, tak jauh dari gerbang, terlihat pemandangan yang berbeda. Seorang pengemis yang kelihatannya masih muda, sebelumnya tidak ada. Sungguh pemandangan yang miris sekali, pengemis itu memegang perutnya erat erat, sambil jidatnya mengerut, matanya tertutup, punggungnya membungkuk, seperti menahan sakit yang berasal dari perutnya. Walaupun begitu, aku hanya lewat saja, mungkin ini karena sifat ketidak pedulianku. Aku hanya peduli dengan urusanku sendiri.
Beberapa minggu telah terlewati di awal kehidupan SMA ku. Dibalik kegelapan sifat ketidak pedulianku, ada sinar iman yang cukup kuat di dalam diriku ini. 10 hari sebelum hari raya Idul Adha, aku melakukan ibadah yang juga dilakukan banyak muslim di luar sana, puasa Dzulhijah 1-7 Dzulhijah 1440 atau 2-8 Agustus 2019, puasa Tarwiyah 8 Dzulhijah 1440 atau 9 Agustus 2019, dan puasa Arafah 9 Dzulhijah 1440 atau 10 Agustus 2019. Keseharianku pada saat puasa lumayan merepotkan, tapi Alhamdulillah, semua berjalan dengan lancar. Walaupun begitu, ada saja satu kecelakaan.
Pada malam hari sebelum puasa Arafah, sehabis isya, aku sedang mendinginkan makan malamku sambil membaca buku buku pelajaran di kamar, sempat ada debu masuk, karena refleks, tanganku langsung menuju ke mata, dan mata juga refleks menutup. Saat ku membuka kembali mataku, entah bagaimana bisa semuanya sudah bersinar, cahaya matahari yang sedikit demi sedikit masuk lewat jendela. Sontak aku terkejut, aku tambah terkejut 2/3 mati ketika melihat jam, pukul 05:47. Tanpa berfikir 0,1 detik pun, aku langsung bergegas mempersiapkan diri untuk berangkat sekolah, dengan tekad yang sangat sangat kuat untuk melanjutkan puasa arafah ini tanpa makan malam dan sahur.
Cahaya matahari mulai melemparkan warna merahnya secara perlahan, tampak seorang Yasyfi yang benar benar kelelahan 1/2 mati. Setelah sampai di rumah, sudah pasti aku langsung istirahat, berbaring di kasur ditemani dengan kipas yang berputar, untuk melepas semua kelelahan dan kelaparan super hari ini.
Ditengah kesantaian sore hari, tiba-tiba perutku terasa sangat sakit, kupegang perutku erat erat, jidatku sampai mengkerut, mataku sampai tertutup, ku merintih kesakitan di perutku ini, sakit yang belum pernah kualami sebelumnya. “Tenang saja, itu palingan cuma MAAG doang kok” jawab ibu setelah aku melapor tentang keadaanku. Sakit dari perut ini menyiksaku sampai suara adzan maghrib menyentuh telingaku. Sore yang panjang dan menyakitkan itu berakhir. Tak berpikir lagi, aku langsung menyiapkan makan malamku, dan langsung melahapnya tanpa meminum satu tetes air pun. Genggaman sendokku terlepas, mataku sedikit mengeluarkan air mata. “Bagaikan 100 tahun-” tidak, mungkin “bagaikan 1000 tahun aku kembali menyuap makanan, sungguh kenikmatan makan yang belum pernah kurasakan selama ini”, begitulah yang hatiku ucapkan.
Dibawah cahaya matahari yang membakar, kulewati pintu gerbang dengan tujuan pulang sekolah. Masih pemandangan yang sama, seorang pengemis yang terlihat perutnya sedang sakit. Beberapa saat aku memandang pengemis itu, akhirnya aku sadar, gerakan menahan sakitnya meniru gerakanku kemarin, bukan, dia yang memulainya duluan. Kejadian kemarin membuat kakiku memaksa melangkah ke tempat pengemis. Perasaan peduli memenuhi dada, dan perasaan itu semakin lama semakin nyata, hingga tanganku memberi beberapa lembar uang.
Pada saat yang bersamaan, Zidan tiba-tiba muncul sambil memberi uang ke pengemis tersebut sama seperti yang kulakukan. Sempat ada beberapa jalan yang kami lalui bersama saat pulang. Aku yang selalu pulang sendirian, kini pulang bersama teman sebangku, tetapi hanya sebentar.
“Yasyfi, kau sudah tau kan kalau sifat sombong itu sifat tercela, jadi tolong tinggalkanlah sifat seperti itu, contohnya waktu aku minta diajarkan cara menggambar, sebaiknya kau terima, begitu juga sebaliknya.” tampak Zidan yang memulai pembicaraan. “eh aku tidak sombong kok, aku… aku hanya…” balas Yasyfi ragu ragu. “Tidak peduli kan? waktu masih SMP aku juga bersifat seperti itu loh, tetapi aku sadar, kalau aku bersifat seperti itu terus, bakatku tidak akan diakui orang lain, masa depanku terancam, karena itu aku berubah, membuang sifat ketidak pedulianku.” ucap Zidan yang membuat ekspresi Yasyfi kaget. “Bagaimana cara membuang sikap itu?”, yang ingin Yasyfi katakan, tapi sayang, Zidan sudah berbelok ke selatan sebelum kaliamat Yasyfi itu terucap.
Memang hanya peristiwa singkat, Tetapi hal itu merubah segalanya. Hanya dengan 1 kejadian, 1 nyawa pengemis, 1 nyawa teman sebangkuku, beberapa obrolan singkat dengan Zidan, hidupku berubah 180 derajat.
Saat ini sudah ingin bulan desember, mulai terasa udara dingin yang tampak bersahabat. Tapi, karena udara dingin lah muncul penyakit flu. Kadang-kadang aku memberikan tisu temanku yang flu lupa membawa tisu, karena selalu membawa tisu kemana pun aku pergi sudah menjadi kebiasaanku sejak kecil.
Tunggu dulu, seorang Yasyfi peduli dengan keadaan temannya?. Ya, karena saat ini aku sudah berubah, dan mempunyai beberapa teman. Semua ini berkat usahaku dan bantuan dari Zidan. Kini aku juga mendapatkan beberapa dukungan dan diandalkan oleh teman sekelas saat perlombaan menggambar, itu lah yang membuatku semangat. Akhirnya aku sadar, kalau hidup secara berkelompok itu tidak ada ruginya.
Dari Agustus ke November, banyak yang sudah terjadi. Salah satunya adalah langkah pertama dari perubahan sikapku ini, tepat ketika aku memberikan sumbangan kepada pengemis, dan pulang bersama Zidan, keesokan harinya. Suara pintu terbuka, disertai langkah kaki yang semakin lama semakin tidak terdengar. Tampak seorang guru bahasa indonesia yang sudah selesai mengajar. Dengan tangan gemetar, kutunjukan salah satu halaman buku tulisku, menghadap ke arah Zidan, kepala menunduk ke bawah karena malu, terucap kalimat kecil dari mulutku “se-sebenarnya ada yang tidak kumengerti, jadi… jadi mau kah kau mengajariku?”. Itu lah langkah pertama dari perubahaan sikapku ini.